Wednesday, June 17, 2020

WAKAF DAN PENDIDIKAN : SEJARAH WAKAF DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM

SEJARAH WAKAF DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM

 

PENDAHULUAN

Wakaf mempunyai peranan penting dalam pembangunan Umat Islam Wakaf juga merupakan ibadah yang bercorak sosial ekonomi yang cukup penting. Menurut sejarah Islam klasik, wakaf telah memainkan peran yang sangat signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan kaum muslimin, baik di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan sosial dan kepentingan umum, kegiatan keagamaan, pengembangan ilmu pengetahuan serta peradaban Islam secara umum.

Selain itu, hasil dari wakf juga diperlukan untuk mmbiayai keprluan pengajaran dan untuk membrrikan tujangan kepada para pengajar.[1] Sedangkan dipihak lain, adanya dana wakaf yang dugunakan untuk menggaji profesor dan syaikh atas tugas dan pengajaran yang telah dilakukan.[2] Dari situlah peran wakaf dalam pengembangan pendidikan, dalam tulisan ini akan membahas tentang sejarah klasik dan pertengahan mengenai peran  wakaf dalam pengembangan pendidikan Islam.

 

SEJARAH PERKEMBANGAN WAKAF

Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan setelah nabi SAW, di Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Dalam perkembangannya ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli fuqaha tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW ialah wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata: Dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin Muad berkata:

 

Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Ansor mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW." (Asy-Syaukani: 129).

 

Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah pernah mewakafkan ketujuh kebun kurma di Madinah; diantaranya ialah kebon A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebon lainnya. Menurut pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan Syariat Wakaf adalah Umar bin Khatab.[3] Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra, ia berkata. Dari Ibnu Umar ra, berkata: “Bahwa sahabat Umar ra, memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra, menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk, Umar berkata :

 

“Hai Rasulullah SAW., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW. bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-rang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (HR.Muslim).[4]

 

Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab dususul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun “Bairaha”. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi SAW. lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur. Mu’ads bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan sebutan “Dar Al-Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan Aisyah Isri Rasulullah SAW.[5]

Sedangkan praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para statnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat pada masa itu.

Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun setelah masyarakat Islam merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu dam keluarga.

Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar Al-Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abd. Malik. Ia sangat perhatian dan tertarik dengan pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya dibawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan diseluruh negara Islam. Pada saat itu juga, Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan lembaga wakaf di bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan.

Sedangkan pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “shadr al-Wuquuf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Demikian perkembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat, sehingga lembaga wakaf berkembang searah dengan pengaturan administrasinya.

Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (baitul mal). Ketika Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah Mesir, maka ia bermaksud mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti Fathimiyah sebelumnnya.

Pertama kali orang yang mewakafkan tanah milik nagara (baitul mal) kepada yayasan dan sosial adalah Raja Nuruddin Asy-Skyahid dengan ketegasan fatwa yang dekeluarkan oleh seorang ulama pada masa itu ialah Ibnu “Ishrun dan didukung oleh pada ulama lainnya bahwa mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh (jawaz), dengan argumentasi (dalil) memelihara dan menjaga kekayaan negara. Sebab harta yang menjadi milik negara pada dasarnya tidak boleh diwakafkan.

Shalahuddin Al-Ayyubi banyak mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan madrasah mazhab asy-Syafi’iyah, madrasah al-Malikiyah dan madrasah mazhab al-Hanafiyah dengan dana melalui model mewakafkan kebun dan lahan pertanian, seperti pembangunan madrasah mazhab Syafi’iy di samping kuburan Imam Syafi’I dengan cara mewakafkan kebun pertanian dan pulau al-Fil.

Dalam rangka mensejahterakan ulama dan kepentingan misi mazhab Sunni Shalahuddin al-Ayyuby menetapkan kebijakan (1178 M/572 H) bahwa bagi orang Kristen yang datang dari Iskandar untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Hasilnya dikumpulkan dan diwakafkan kepada para ahli yurisprudensi (fuqahaa’) dan para keturunannya. Wakaf telah menjadi sarana bagi dinasti al-Ayyubiyah untuk kepentingan politiknya dan misi alirannya ialah mazhab Sunni dan mempertahankan kekuasaannya. Dimana harta milik negara (baitul mal) menjadi modal untuk diwakafkan demi pengembangan mazhab Sunni.

Perkembangan wakaf pada masa dinasti Mamluk sangat pesat dan beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Pada masa Mamluk terdapat wakaf hamba sahaya yang di wakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh pengusa dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman Basya yang mewakafkan budaknya untuk merawat masjid.

Manfaat wakaf pada masa dinasti Mamluk digunakan sebagaimana tujuan wakaf, seperti wakaf keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf umum untuk kepentingan sosial, membangun tempat untuk memandikan mayat dan untuk membantu orang-orang fakir dan miskin. Yang lebih membawa syiar islam adalah wakaf untuk sarana Harmain, ialah Mekkah dan Madinah, seperti kain ka’bah (kiswatul ka’bah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Shaleh bin al-Nasir yang membeli desa Bisus lalu diwakafkan untuk membiayai kiswah Ka’bah setiap tahunnya dan mengganti kain kuburan Nabi SAW dan mimbarnya setiap lima tahun sekali.

Perkembangan berikutnya yang dirasa manfaat wakaf telah menjadi tulang punggung dalam roda ekonomi pada masa dinasti Mamluk mendapat perhatian khusus pada masa itu meski tidak diketahui secara pasti awal mula disahkannya undang-undang wakaf. Namun menurut berita dan berkas yang terhimpun bahwa perundang-undangan wakaf pada dinasti Mamluk dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq (1260-1277 M/658-676) H) di mana dengan undang-undang tersebut Raja al-Dzahir memilih hakim dari masing-masing empat mazhab Sunni.

Pada orde al-Dzahir Bibers perwakafan dapat dibagi menjadi tiga katagori: Pendapat negara hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yang dianggap berjasa, wakaf untuk membantu haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan masyarakat umum. Sejak abad lima belas, kerajaan Turki Utsmani dapat memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah negara Arab. Kekuasaan politik yang diraih oleh dinasti Utsmani secara otomatis mempermudah untuk merapkan Syari’at Islam, diantaranya ialah peraturan tentang perwakafan.

Di antara undang-undang yang dikeluarkan pada dinasti Utsmani ialah peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 Hijriyah. Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi administrasi dan perundang-udangan. Pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf.[6]

Lembaga wakaf menjadi sumber kekuatan keuangan bagi umat Islam. adanya sistem wakaf dalam Islam disebabkan oleh sistem ekonomi Islam yang menganggap bahwa ekonomi berhubungan erat dengan akidah dan syari`ah Islam sehingga aktifitas ekonomi memppunyai tujuan ibadah dan kemaslahatan bersama. Oleh karena itu di saat ekonomi Islam mencapai kemajuan, umat Islam tidak segan-segan membelanjakan uangnya untuk kepentingan dan kesejahteraan umat Islam seperti halnya untuk pelaksanaan pendidikan Islam dan kesejahteraan sosial lainnya.

 

PEMBERDAYAAN DAN PERAN WAKAF DALAM PENDIDIKAN  ISLAM.

Dalam sejarah Islam, masalah wakaf uang (waqf an-nuqud) telah berkembang dengan baik pada zaman Bani Mamluk dan Turki Usmani. Seiring dengan  perkembangannya,  wakaf ada yang berupa uang yang dikenal dengan cash wakaf sudah dilakukan sejak lama di masa klasik Islam. Bahkan dalam sejarah Islam, wakaf uang sudah dipraktekkan sejak abad kedua Hijriyah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Imam az Zuhri (wafat 124 H), salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al hadits, memberikan fatwanya untuk berwakaf dengan Dinar dan Dirham agar dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembangunan, dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Cara yang dilakukan adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha (modal produktif) kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf.[7]

Sesungguhnya Islam punya solusi yang ampuh untuk gerakan pemberdayaan ummat melalui pendidikan.. Salah satu solusinya adalah dengan mendayagunakan wakaf secara produktif. Disebut produktif, karena dana wakaf digunakan (diinvestasikan) untuk membiayai usaha-usaha produktif sedangkan bagi hasilnya diperuntukkan bagi kepentingan sosial-ekonomi ummat, seperti beasiswa pendidikan.  Dalam sejarah, wakaf, memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial dan kepentingan keagamaan.

Wakaf merupakan ibadah yang bercorak sosial ekonomi yang cukup penting. Dalam sejarah Islam klasik, wakaf telah memainkan peran yang sangat signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan kaum muslimin, baik di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan sosial dan kepentingan umum, keagamaan, pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam secara umum.[8]

Lembaga wakaf juga menjadi sumber keuangan yang cukup besar perannya bagi lembaga pendidikan Islam. Oleh karena itu di saat ekonomi Islam mencapai kemajuan, umat Islam tidak segan-segan membelanjakan uangnya untuk kepentingan dan kesejahteraan umat Islam seperti halnya untuk pelaksanaan pendidikan Islam. Dengan dipelopori penguasa Islam yang cinta ilmu seperti Harun al Rasyid dan al Ma`mun maka berdirilah lembaga-lembaga pendidikan untuk keilmuan.

Selain itu, adapun peranan wakaf dalam bidang pendidikan dakwah tercermin dengan adanya pelaksanaan wakaf dalam masyarakat seperti pembangunan masjid, pendirian yayasan untuk keperluan riset keislaman dll. Kita tahu akan manfaat masjid bagi umat islam karena ia merupakan  sentral kegiatan bagi pengembangan peradaban dan pendidikan islam.[9]

Maka wakaf untuk pembangunan masjid mengandung misi dakwah yang real dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh adalah jami’ al-Azhar di Cairo. Pada perkembangan sejarahnya masjid tersebut akhirnya melebarkan perannya dengan mendirikan universitas-universitas yang pada nantinya menjadi pusat-pusat keilmuan terkemuka di dunia islam.

Peranan wakaf dalam masyarakat islam juga berlangsung dan mencapai puncaknya pada masa daulah Utsmaniyyah. Pada waktu itu wakaf berkembang sebagai suatu badan independen tanpa campur tangan pemerintah secara langsung dan badan ini menangani berbagai macam bidang. Wakaf disamping memberikan konstribusi positif dalam bidang dakwah, ia juga berperan dalam menopang kemajuan pembangunan suatu daerah. Karena dengan terpenuhinya hal tersebut, stabilitas penduduk dalam suatu daerah akan tercapai.

Pada sisi lain pengoptimalan garapan wakaf seperti ini juga harus didukung  oleh negara. Sebagai contoh pengembangan wakaf bagi kemajuan pembangunan daerah dan pendidikan dalam sejarah adalah seperti apa yang ada masa daulah Abbasiyah dan Ayyubiyah. Dimana wakaf lebih berperan pada pengembangan pendidikan dan kesejahtraan ulama’.

Peranan wakaf dalam pengembangan Pendidikan dalam sejarah islam dapat kita ketahui dengan jelas mulai abad kelima hijriyah yaitu ketika madrasah menjadi institusi tersendiri yang lepas dari masjid. Hal ini terjadi ketika wazir Nidlom al-Mulk mulai membangun madrasah dalam jaringan yang luas di kota-kota penting seperti Irak, Persia, negara-negara Jazirah Arab dan Diyar Bakr (Turkey).[10]

Peranan wakaf semakin efektif setelah satu abad dari perkembangan fiqh siyasi baru. Para ulama fiqh klasik hingga abad 6 H/ 12 M mensayaratkan mauquf harus milik waqif. Namun setelah itu terjadi perkembangan penting dalam permasalah wakaf yaitu ketika Nuruddin Zanki dan Sholahuddin al-Ayyubi mendapatkan fatwa dari seorang faqih terkenal Ibnu Abi ‘Ashrun 482-585 H/1088-1188 M yang menfatwakan bahwa mewakafkan tanah-tanah bayt al-mal bagi kemaslahatan sosial (khoir) seperti pembangunan madrasah hukumnya adalah boleh.

Fatwa ini mempunyai dampak positif bagi pengembangan pendidikan di negara Syam, Mesir pada masa pemerintahan al-Zanki dan al-Ayyubi disamping juga tentunya dukungan pemerintah bagi terbentuknya jaringan pendidikan ini. Selepas itu, Nuruddin al-Zanki untuk pertama kalinya mendirikan madrasah di Damaskus (Dar al-Hadits al-Nuriyyah). Kemudian madrasah-madrasah lain mulai dibangun di kota-kota Syam yang lain (Himsh, Humah, Ba’labak dan Halab). Dan di Cairo juga didirikan madrasah-madrasah oleh Sholahuddin semisal madrasah Nashiriyah dan madrasah Qumhiyah.

 

 

 

Pada masa al-Mamluki peranan wakaf ini berlangsung terus dalam bidang pendidikan (ta’lim). Sehingga ketika ibnu Bathuthoh (1304-1377 M.) datang ke Mesir, ia mengatakan bahwa di Mesir banyak madrasah-madrasah yang berdiri. Begitu juga ibnu Kholdun ( 1332-1406 M), ia memuji perkembangan keilmuan yang tumbuh berkat peranan wakaf yang sudah dimulai semenjak masa Sholahuddin.

Perkembangan yang lebih besar lagi, bisa kita dapatkan pada masa Utsmani yaitu ketika pemerintah mengambil peran ini hingga pertengahan abad kesembilan hijriyah yaitu ketika untuk pertama kalinya didirikan wizaroh li al-ma’arif. Disamping pendirian madrasah, keseriusan penanganan wakaf di bidang kepustakaan juga berperan bagi pengembangan Pendidikan. Hal ini dipandang perlu karena mahalanya naskah kitab. Sebagai contoh adalah pembangunan perpustakaan umum yang didirikan ibnu al-Munjim, sebagaimana juga yang didirikan oleh Ibnu Kallis salah seorang wazir pada masa pemerintahan Fathimy.

Semenjak abad ke 9 H./15 M di Balkan juga didirikan perpustakaan umum yang memuat ratusan manuskrip Arab dan juga hasil wakaf dialokasikan untuk proyek pembuatan ensklopedi islam.[11] Selain beberapa peran tersebut diatas, pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah, wakaf tidak hanya berperan untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf juga mengambil peran biaya oprasional modal untuk membangun sarana dan pengambangan lembaga pendidikan. Termasuk membangun perpustakaan dan membayar gaji para statnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa.

 

KESIMPULAN

Operasional wakaf telah ada sejak zaman dulu baik pada masa islam maupun sebelumnya (dalam bentuk yang mirip), telah memainkan peran yang cukup besar  dalam mewujudkan kesejahtraan masyarakat islam. Hal ini dapat dilihat pada masa awal perkembangan islam. Dalam sejarah tercatat banyak para sahabat yang berduyun-duyun untuk mewakafkan hartanya. Dengan tujuan pembangunan dan pengembangan islam terutama di bidang pendidikan. Disamping itu, wakaf juga berperan dalam kesejahtraan sosial, seperti pelayanan kesehatan, pelayanan sosial dan kepentingan umum, kegiatan keagamaan, pengembangan ilmu pengetahuan serta peradaban Islam secara umum.

 

DAFTAR PUSTAKA

Buku

 

Daud Ali, Muhammad,Sistem ekonomi islam zakat dan wakaf, Jakarta: Universitas Indonesia(UI- press), 2004.

Muhammad Muwaffiq al-Arna`uth Daur al-Waqfi fi al-Mujtama’at al-islamiyyah, Dar al-Fikr, Damascus, 2000.

Smith, Huston.Ensiklopedi Islam.Terj. Ghufron A. Mas’adi Jakarta :Raja Grafindo Persada 1996

Kahaf, Mundzir, Manajemen Wakaf Produktif, diterjemahkan oleh Muhyiddin Mas

Rida, Jakarta: Khalifa Pustaka al-Kautsar Grup, 2005.

Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Rabbani Press, Jakarta (1995).

 

Internet

Kahf, M,(1993), Waqf and Its Sociopolitical Aspects,http://www.kahf.net/papers.html.

PMII KOMFAKSYAHUM, (2007), Menggali Sumber Dana Umat Melalui Wakaf Uang.http://www.PMII KOMFAKSYAHUM online.com

www.bwhttp://waqffund.com/index.php?mact=News,cntnt01,print,0&cntnt01articleid=4&cntnt01showtemplate=false&cntnt01returnid=15

 

Makalah:

Wahyudin, Profesionalisasi Ulama’ Dalam Sistem Pendidikan Islam, (Makalah, disampaikan dalam perkuliahan Magister Pendidikan Islam Universitas Muhammadiyah Sidoarjo 15 Mei 2010

 

 



[1] Ira M. Lupidus, A Historis of Islamic Societies, Terj. Gufron A. Masadi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 525.

[2]  Wahyudin, Profesionalisasi Ulama’ Dalam Sistem Pendidikan Islam, (Makalah, disampaikan dalam perkuliahan Magister Pendidikan Islam Universitas Muhammadiyah Sidoarjo 15 Mei 2010)

[3] Huston Smith, Ensiklopedi Islam, Terj. Ghufron A. Mas’adi (Jakarta :Raja Grafindo Persada, 1996), II, 168-169.

[4] Ibid. , 169.

[5]Kahf, M, Waqf and Its Sociopolitical Aspects, http://www.kahf.net/papers.html.

[6]www.bwhttp://waqffund.com/index.php?mact=News,cntnt01,print,0&cntnt01articleid=4&cntnt01showtemplate=false&cntnt01returnid=15

[7] Agustianto  http://ekisopini.blogspot.com /2010/01/wakaf-uang-dan-peningkatan.html

[8] PMII KOMFAKSYAHUM,. Menggali Sumber Dana Umat Melalui Wakaf Uang.   http://www.PMIIKOMFAKSYAHUM online.com

[9]______________, Al-Waqof al-Islami, Mundir Qohf ( Beirut: Dar Al-Fikr) Cet. I. 23-34.

[10] Muhammad Muwaffiq al-Arna`uth,Daur al-Waqfi fi al-Mujtama’at al-islamiyyah, (Damascus. Dar al-Fikr), 39-40

 

[11] Ibid. , 90-91.


No comments: