SEJARAH WAKAF DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
PENDAHULUAN
Wakaf mempunyai peranan penting
dalam pembangunan Umat Islam Wakaf juga merupakan ibadah yang bercorak sosial
ekonomi yang cukup penting. Menurut sejarah Islam klasik, wakaf telah memainkan
peran yang sangat signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan kaum muslimin,
baik di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan sosial dan
kepentingan umum, kegiatan keagamaan, pengembangan ilmu pengetahuan serta
peradaban Islam secara umum.
Selain itu, hasil dari wakf juga diperlukan
untuk mmbiayai keprluan pengajaran dan untuk membrrikan tujangan kepada para
pengajar.[1]
Sedangkan dipihak lain, adanya dana wakaf yang dugunakan untuk menggaji
profesor dan syaikh atas tugas dan pengajaran yang telah dilakukan.[2]
Dari situlah peran wakaf dalam pengembangan pendidikan, dalam tulisan ini akan
membahas tentang sejarah klasik dan pertengahan mengenai peran wakaf dalam pengembangan pendidikan Islam.
SEJARAH PERKEMBANGAN WAKAF
Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa
Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan setelah nabi SAW, di Madinah, pada
tahun kedua Hijriyah. Dalam perkembangannya ada dua pendapat yang berkembang di
kalangan ahli fuqaha tentang siapa
yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa
yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW ialah wakaf tanah
milik Nabi SAW untuk dibangun masjid. Pendapat ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata:
Dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin Muad berkata:
“Kami bertanya tentang mula-mula
wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan
orang-orang Ansor mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW."
(Asy-Syaukani: 129).
Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah pernah
mewakafkan ketujuh kebun kurma di Madinah; diantaranya ialah kebon A’raf,
Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebon lainnya. Menurut pendapat sebagian ulama
mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan Syariat Wakaf adalah Umar bin
Khatab.[3]
Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra, ia berkata. Dari
Ibnu Umar ra, berkata: “Bahwa sahabat Umar ra, memperoleh sebidang tanah di
Khaibar, kemudian Umar ra, menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk,
Umar berkata :
“Hai Rasulullah SAW., saya
mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka
apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW. bersabda:
“Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan
(hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar
berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-rang
fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil dan tamu. Dan tidak
dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara
yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud
menumpuk harta” (HR.Muslim).[4]
Kemudian
syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab dususul oleh Abu
Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun “Bairaha”. Selanjutnya
disusul oleh sahabat Nabi SAW. lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan
sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang
datang ke Mekkah. Utsman menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib
mewakafkan tanahnya yang subur. Mu’ads bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang
populer dengan sebutan “Dar Al-Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh
Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan Aisyah Isri Rasulullah
SAW.[5]
Sedangkan praktek
wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah, semua
orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk
orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun
lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para statnya, gaji
para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik
perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk
membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat pada masa itu.
Wakaf pada
mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan kekayaan
yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti.
Namun setelah masyarakat Islam merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka
timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk
lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta
wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu dam keluarga.
Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim
Mesir adalah Taubah bin Ghar Al-Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abd.
Malik. Ia sangat perhatian dan tertarik dengan pengembangan wakaf sehingga
terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya dibawah
pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam
administrasi wakaf di Mesir, bahkan diseluruh negara Islam. Pada saat itu juga,
Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan
lembaga wakaf di bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan
hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan.
Sedangkan pada
masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf
yang disebut dengan “shadr al-Wuquuf” yang mengurus administrasi dan memilih
staf pengelola lembaga wakaf. Demikian
perkembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang manfaatnya
dapat dirasakan oleh masyarakat, sehingga lembaga wakaf berkembang searah
dengan pengaturan administrasinya.
Pada masa
dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan
wakaf cukup menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi
harta wakaf dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (baitul
mal). Ketika Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah Mesir, maka ia bermaksud
mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan
yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti Fathimiyah sebelumnnya.
Pertama kali
orang yang mewakafkan tanah milik nagara (baitul mal) kepada yayasan dan sosial
adalah Raja Nuruddin Asy-Skyahid dengan ketegasan fatwa yang dekeluarkan oleh
seorang ulama pada masa itu ialah Ibnu “Ishrun dan didukung oleh pada ulama
lainnya bahwa mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh (jawaz), dengan
argumentasi (dalil) memelihara dan menjaga kekayaan negara. Sebab harta yang
menjadi milik negara pada dasarnya tidak boleh diwakafkan.
Shalahuddin
Al-Ayyubi banyak mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan,
seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan
madrasah mazhab asy-Syafi’iyah, madrasah al-Malikiyah dan madrasah mazhab
al-Hanafiyah dengan dana melalui model mewakafkan kebun dan lahan pertanian,
seperti pembangunan madrasah mazhab Syafi’iy di samping kuburan Imam Syafi’I
dengan cara mewakafkan kebun pertanian dan pulau al-Fil.
Dalam rangka
mensejahterakan ulama dan kepentingan misi mazhab Sunni Shalahuddin al-Ayyuby
menetapkan kebijakan (1178 M/572 H) bahwa bagi orang Kristen yang datang dari
Iskandar untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Hasilnya dikumpulkan dan
diwakafkan kepada para ahli yurisprudensi (fuqahaa’) dan para keturunannya. Wakaf
telah menjadi sarana bagi dinasti al-Ayyubiyah untuk kepentingan politiknya dan
misi alirannya ialah mazhab Sunni dan mempertahankan kekuasaannya. Dimana harta milik negara (baitul mal)
menjadi modal untuk diwakafkan demi pengembangan mazhab Sunni.
Perkembangan wakaf pada masa dinasti Mamluk sangat pesat dan beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat
diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak
yang diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan
bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Pada
masa Mamluk terdapat wakaf hamba sahaya yang di wakafkan budak untuk memelihara
masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh pengusa dinasti
Ustmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman Basya yang mewakafkan budaknya untuk
merawat masjid.
Manfaat wakaf
pada masa dinasti Mamluk digunakan sebagaimana tujuan wakaf, seperti wakaf
keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf umum untuk kepentingan sosial,
membangun tempat untuk memandikan mayat dan untuk membantu orang-orang fakir
dan miskin. Yang lebih membawa syiar islam adalah wakaf untuk sarana Harmain, ialah
Mekkah dan Madinah, seperti kain ka’bah (kiswatul ka’bah). Sebagaimana yang
dilakukan oleh Raja Shaleh bin al-Nasir yang membeli desa Bisus lalu diwakafkan
untuk membiayai kiswah Ka’bah setiap tahunnya dan mengganti kain kuburan Nabi
SAW dan mimbarnya setiap
Perkembangan
berikutnya yang dirasa manfaat wakaf telah menjadi tulang punggung dalam roda
ekonomi pada masa dinasti Mamluk mendapat perhatian khusus pada masa itu meski
tidak diketahui secara pasti awal mula disahkannya undang-undang wakaf. Namun
menurut berita dan berkas yang terhimpun bahwa perundang-undangan wakaf pada
dinasti Mamluk dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers
al-Bandaq (1260-1277 M/658-676) H) di mana dengan undang-undang tersebut Raja
al-Dzahir memilih hakim dari masing-masing empat mazhab Sunni.
Pada orde
al-Dzahir Bibers perwakafan dapat dibagi menjadi tiga katagori: Pendapat negara
hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yang dianggap
berjasa, wakaf untuk membantu haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan
kepentingan masyarakat umum. Sejak abad
Di antara
undang-undang yang dikeluarkan pada dinasti Utsmani ialah peraturan tentang
pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir
tahun 1280 Hijriyah. Undang-undang
tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan
wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi
wakaf dari sisi administrasi dan perundang-udangan. Pada tahun
1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan
tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus
wakaf.[6]
Lembaga wakaf
menjadi sumber kekuatan keuangan bagi umat Islam. adanya sistem wakaf dalam Islam
disebabkan oleh sistem ekonomi Islam yang menganggap bahwa ekonomi berhubungan
erat dengan akidah dan syari`ah Islam sehingga aktifitas ekonomi memppunyai
tujuan ibadah dan kemaslahatan bersama. Oleh karena itu di saat ekonomi Islam
mencapai kemajuan, umat Islam tidak segan-segan membelanjakan uangnya untuk
kepentingan dan kesejahteraan umat Islam seperti halnya untuk pelaksanaan
pendidikan Islam dan kesejahteraan sosial lainnya.
PEMBERDAYAAN DAN PERAN WAKAF DALAM
PENDIDIKAN ISLAM.
Dalam sejarah Islam, masalah wakaf uang (waqf
an-nuqud) telah berkembang dengan baik pada zaman Bani Mamluk dan
Turki Usmani. Seiring dengan
perkembangannya, wakaf ada yang
berupa uang yang dikenal dengan cash wakaf sudah dilakukan sejak lama di masa
klasik Islam. Bahkan dalam
sejarah Islam, wakaf uang sudah dipraktekkan sejak abad kedua Hijriyah.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Imam az Zuhri (wafat 124 H), salah seorang
ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al hadits, memberikan fatwanya untuk
berwakaf dengan Dinar dan Dirham agar dapat dimanfaatkan sebagai sarana
pembangunan, dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Cara yang dilakukan
adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha (modal produktif)
kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf.[7]
Sesungguhnya Islam punya solusi yang ampuh untuk
gerakan pemberdayaan ummat melalui pendidikan.. Salah satu solusinya adalah
dengan mendayagunakan wakaf secara produktif. Disebut
produktif, karena dana wakaf digunakan (diinvestasikan) untuk
membiayai usaha-usaha produktif sedangkan bagi hasilnya diperuntukkan bagi
kepentingan sosial-ekonomi ummat, seperti beasiswa pendidikan. Dalam
sejarah, wakaf, memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan,
sosial dan kepentingan keagamaan.
Wakaf merupakan ibadah yang bercorak sosial
ekonomi yang cukup penting. Dalam sejarah Islam klasik, wakaf telah memainkan
peran yang sangat signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan kaum muslimin, baik
di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan sosial dan kepentingan
umum, keagamaan, pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam secara umum.[8]
Lembaga wakaf juga menjadi sumber keuangan yang
cukup besar perannya bagi lembaga pendidikan Islam. Oleh karena itu di saat
ekonomi Islam mencapai kemajuan, umat Islam tidak segan-segan membelanjakan
uangnya untuk kepentingan dan kesejahteraan umat Islam seperti halnya untuk
pelaksanaan pendidikan Islam. Dengan dipelopori penguasa Islam yang cinta ilmu
seperti Harun al Rasyid dan al Ma`mun maka berdirilah lembaga-lembaga
pendidikan untuk keilmuan.
Selain itu, adapun peranan wakaf
dalam bidang pendidikan dakwah tercermin dengan adanya pelaksanaan wakaf dalam
masyarakat seperti pembangunan masjid, pendirian yayasan untuk
keperluan riset keislaman dll. Kita tahu akan manfaat masjid bagi umat islam
karena ia merupakan sentral kegiatan bagi pengembangan peradaban dan
pendidikan islam.[9]
Maka wakaf untuk pembangunan masjid mengandung
misi dakwah yang real dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai
contoh adalah jami’ al-Azhar di Cairo. Pada perkembangan
sejarahnya masjid tersebut akhirnya melebarkan perannya dengan mendirikan
universitas-universitas yang pada nantinya menjadi pusat-pusat keilmuan
terkemuka di dunia islam.
Peranan wakaf dalam masyarakat
islam juga berlangsung dan mencapai puncaknya pada masa daulah Utsmaniyyah. Pada waktu itu wakaf berkembang sebagai
suatu badan independen tanpa campur tangan pemerintah secara langsung dan badan
ini menangani berbagai macam bidang. Wakaf disamping
memberikan konstribusi positif dalam bidang dakwah, ia juga berperan dalam
menopang kemajuan pembangunan suatu daerah. Karena dengan terpenuhinya hal
tersebut, stabilitas penduduk dalam suatu daerah akan tercapai.
Pada sisi lain pengoptimalan garapan wakaf seperti
ini juga harus didukung oleh negara. Sebagai contoh pengembangan wakaf
bagi kemajuan pembangunan daerah dan pendidikan dalam sejarah adalah seperti
apa yang ada masa daulah Abbasiyah dan Ayyubiyah. Dimana wakaf lebih berperan
pada pengembangan pendidikan dan kesejahtraan ulama’.
Peranan wakaf dalam pengembangan Pendidikan dalam
sejarah islam dapat kita ketahui dengan jelas mulai abad kelima hijriyah yaitu
ketika madrasah menjadi institusi tersendiri yang lepas dari masjid. Hal ini terjadi ketika wazir
Nidlom al-Mulk mulai membangun madrasah dalam jaringan yang luas di
kota-kota penting seperti Irak, Persia, negara-negara Jazirah Arab dan Diyar
Bakr (Turkey).[10]
Peranan wakaf semakin efektif setelah satu abad
dari perkembangan fiqh siyasi baru. Para ulama fiqh klasik hingga abad 6
H/ 12 M mensayaratkan mauquf harus milik waqif. Namun setelah itu
terjadi perkembangan penting dalam permasalah wakaf yaitu ketika Nuruddin Zanki
dan Sholahuddin al-Ayyubi mendapatkan fatwa dari seorang faqih terkenal
Ibnu Abi ‘Ashrun 482-585 H/1088-1188 M yang menfatwakan bahwa mewakafkan
tanah-tanah bayt al-mal bagi kemaslahatan sosial (khoir) seperti
pembangunan madrasah hukumnya adalah boleh.
Fatwa ini mempunyai dampak positif bagi pengembangan
pendidikan di negara Syam, Mesir pada masa pemerintahan al-Zanki dan al-Ayyubi
disamping juga tentunya dukungan pemerintah bagi terbentuknya jaringan
pendidikan ini. Selepas itu, Nuruddin al-Zanki untuk pertama kalinya mendirikan
madrasah di Damaskus (Dar al-Hadits al-Nuriyyah). Kemudian madrasah-madrasah
lain mulai dibangun di kota-kota Syam yang lain (Himsh, Humah, Ba’labak dan Halab).
Dan di Cairo juga didirikan madrasah-madrasah oleh Sholahuddin semisal madrasah
Nashiriyah dan madrasah Qumhiyah.
Pada masa al-Mamluki peranan
wakaf ini berlangsung terus dalam bidang pendidikan (ta’lim). Sehingga ketika ibnu Bathuthoh (1304-1377 M.) datang ke
Mesir, ia mengatakan bahwa di Mesir banyak madrasah-madrasah yang berdiri.
Begitu juga ibnu Kholdun ( 1332-1406 M), ia memuji perkembangan keilmuan yang
tumbuh berkat peranan wakaf yang sudah dimulai semenjak masa Sholahuddin.
Perkembangan yang lebih
besar lagi, bisa kita
dapatkan pada masa Utsmani yaitu ketika pemerintah mengambil peran ini hingga
pertengahan abad kesembilan hijriyah yaitu ketika untuk pertama kalinya
didirikan wizaroh li al-ma’arif. Disamping pendirian madrasah,
keseriusan penanganan wakaf di bidang kepustakaan juga berperan bagi
pengembangan Pendidikan. Hal ini dipandang perlu karena mahalanya naskah
kitab. Sebagai contoh adalah pembangunan perpustakaan umum yang didirikan ibnu
al-Munjim, sebagaimana juga yang didirikan oleh Ibnu Kallis salah seorang wazir
pada masa pemerintahan Fathimy.
Semenjak abad ke 9 H./15 M
di Balkan juga didirikan perpustakaan umum yang memuat ratusan manuskrip Arab dan
juga hasil wakaf dialokasikan untuk proyek pembuatan ensklopedi islam.[11] Selain beberapa peran tersebut diatas, pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah,
wakaf tidak hanya berperan untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi
wakaf juga mengambil peran biaya oprasional modal untuk membangun sarana dan
pengambangan lembaga pendidikan. Termasuk membangun perpustakaan dan membayar
gaji para statnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa.
KESIMPULAN
Operasional wakaf telah ada sejak zaman dulu baik
pada masa islam maupun sebelumnya (dalam bentuk yang mirip), telah memainkan
peran yang cukup besar dalam mewujudkan
kesejahtraan masyarakat islam. Hal ini dapat dilihat pada masa awal
perkembangan islam. Dalam sejarah tercatat banyak para sahabat yang
berduyun-duyun untuk mewakafkan hartanya. Dengan tujuan pembangunan dan pengembangan
islam terutama di bidang pendidikan. Disamping itu, wakaf juga berperan dalam
kesejahtraan sosial, seperti pelayanan kesehatan, pelayanan sosial dan
kepentingan umum, kegiatan keagamaan, pengembangan ilmu pengetahuan serta
peradaban Islam secara umum.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Daud Ali, Muhammad,Sistem ekonomi islam zakat dan wakaf, Jakarta:
Universitas Indonesia(UI- press), 2004.
Muhammad Muwaffiq
al-Arna`uth Daur al-Waqfi fi al-Mujtama’at al-islamiyyah, Dar al-Fikr,
Damascus, 2000.
Smith, Huston.Ensiklopedi Islam.Terj.
Ghufron A. Mas’adi Jakarta :Raja Grafindo Persada 1996
Kahaf, Mundzir, Manajemen
Wakaf Produktif, diterjemahkan oleh Muhyiddin Mas
Rida, Jakarta: Khalifa Pustaka al-Kautsar Grup, 2005.
Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian
Islam, Rabbani Press, Jakarta (1995).
Internet
Kahf,
M,(1993), Waqf and Its Sociopolitical Aspects,http://www.kahf.net/papers.html.
PMII KOMFAKSYAHUM, (2007), Menggali
Sumber Dana Umat Melalui Wakaf Uang.http://www.PMII KOMFAKSYAHUM
online.com
Makalah:
Wahyudin, Profesionalisasi Ulama’ Dalam Sistem
Pendidikan Islam, (Makalah, disampaikan dalam perkuliahan Magister
Pendidikan Islam Universitas Muhammadiyah Sidoarjo 15 Mei 2010
[1] Ira M.
Lupidus, A Historis of Islamic Societies,
Terj. Gufron A. Masadi, (
[2] Wahyudin,
Profesionalisasi Ulama’ Dalam Sistem Pendidikan Islam, (Makalah,
disampaikan dalam perkuliahan Magister Pendidikan Islam Universitas
Muhammadiyah Sidoarjo 15 Mei 2010)
[3] Huston Smith, Ensiklopedi Islam, Terj. Ghufron A. Mas’adi (Jakarta :Raja Grafindo
Persada, 1996), II, 168-169.
[4] Ibid. , 169.
[5]Kahf, M, Waqf and Its Sociopolitical Aspects, http://www.kahf.net/papers.html.
[6]www.bwhttp://waqffund.com/index.php?mact=News,cntnt01,print,0&cntnt01articleid=4&cntnt01showtemplate=false&cntnt01returnid=15
[7] Agustianto http://ekisopini.blogspot.com
/2010/01/wakaf-uang-dan-peningkatan.html
[8] PMII KOMFAKSYAHUM,.
Menggali Sumber Dana Umat Melalui Wakaf Uang.
http://www.PMIIKOMFAKSYAHUM online.com
[9]______________, Al-Waqof
al-Islami, Mundir Qohf ( Beirut: Dar Al-Fikr) Cet. I. 23-34.
[10] Muhammad Muwaffiq al-Arna`uth,Daur
al-Waqfi fi al-Mujtama’at al-islamiyyah, (Damascus. Dar al-Fikr), 39-40
[11] Ibid. ,
90-91.
No comments:
Post a Comment