STUDI PERBANDINGAN PARA TOKOH PENDIDIKAN ISLAM
Pertumbuhan dan perkembangan Pendidikan Islam sebagai sebuah disiplin ilmu dapat dikatakan
terlambat. Itu
sebabnya hingga saat ini umat islam masih belum banyak memiliki pengetahuan
yang mendalam tentang pendidikan islam. Dari keadaan ini, dapat diduga mengapa
citra dan mutu Pendidikan Islam pada umumnya masih kurang baik dibandingkan
citra dan mutu pendidikan pada umumnya. Memahami keadaan kurangnya pertumbuhan
dan berkembangan Ilmu Pengetahuan Islam itu nampaknya tidak terjadi di masa
sekarang, tetapi juga dimasa yang lalu. Sejak dimasa klasik hingga masa modern
(sekarang), belum banyak pakar ulama’ islam yang meneliti masalah Pendidikan
Islam.
Kondisi
yang demikian itu, tampaknya perlu segera diatasi dengan cara menumbuhkan dan
mengembangkan Ilmu pendidikan Islam melalui serangkaian kajian dan penelitian
sebagaimana yang dilakukan penulis dalam makalah ini. Pembahasan dalam makalah
ini, penulis akan membandingkan para tokoh yang mempunyai pemikiran tentang pendidikan
menurut konsep masing-masing.
Melalui
analisis dan kajian sederhana, penulis dalam makalah ini akan menyajikan
pemikiran-pemikiran tokoh tersebut (Ibn Maskawaih, Al-Qobisi dan Al-Mawardi).
Kemudian penulis akan membandingkan pemikiran pendidikan ketiga tokoh tersebut,
dengan tujuan sebagai sumbangsih, dimana umat islam saat ini sedang mencari
model pendidikan yang unggul dan terpadu sebagai upaya menjawab
persoalan-persoalan agama dan kebutuhan masyarakat, agaknya pemikiran para
tokoh pendidikan yang dikaji dalam makalah ini patut dijadikan bahan
perbandingan.
A. Konsep Pendidikan Ibn Miskawaih
Nama
lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ya’kub Ibn Miskawaih. Ia lahir pada tahun
320 H/932 M. di Rayy, dan meninggal di Isfahan pada tanggal 9 Shafar tahun 412
H./16 Pebruari 1030 M. Ibn Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti
Buwaihi (320-450 H./932-1062 M.) yang sebagian besar pemukanya bermazhab Syiah.
Latar belakang pendidikannya tidak terlacak secara rinci. Tetapi ditemukan
keterangan, bahwa ia mempelajari sejarah dari Abu Bakr Ahmad Ibn Kamil al-Qadi,
mempelajari Filsafat dari Ibn al-Akhmar, dan mempelajari Kimia dari Abu
Thayyib.
Pekerjaan
utama Ibn Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan pendidik
anak para pemuka dinasti Buwaihi. Selain akrab dengan penguasa, ia juga
banyak bergaul dengan para ilmuwan seperti Abu Hayyan at-Tauhidi, Yahya Ibn
‘Adi dan Ibn Sina. Ibn Miskawaih juga dikenal sebagai sejarawan besar yang
kemasyhurannya melebihi pendahulunya, At-Thabari (w. 310 H./923 M.).
Selanjutnya ia juga dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa.
Konsep pemikiran pendidikan Ibn Miskawaih dilandasai
oleh konsep pemikirannya tentang manusia dan akhlak.
1. Dasar
Pemikirannya
a. Konsep manusia
Ibn
Miskawaih memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki macam-macam daya.
Menurutnya ada tiga macam daya yang ada pada diri manusia, yaitu: (1) Daya
bernafsu (an-nafs al-bahimiyyat) sebagai daya terendah; (2) Daya berani
(an-nafs as-sabu’iyyat) sebagai daya pertengahan, dan (3) Daya berpikir
(an-nafs an-nathiqah) sebagai daya tertinggi. Ketiga daya ini merupakan
unsur rohani manusia yang asal kejadiannya berbeda. An-Nafs al-bahimiyyat dan
an-Nafs as-sabu’iyyat berasal dari unsur materi, sedangkan an-nafs an-nathiqat
berasal dari ruh Tuhan. Karena kedua an-nafs yang berasal dari materi akan
hancur bersama hancurnya badan dan an-nafs an-nathiqat tidak akan mengalami
kehancuran.
b. Konsep
Akhlak
Konsep
akhlak Ibnu Miskawaih adalah doktrin jalan tengah. Ibn Miskawaih memberi
pengertian pertengahan tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat,
harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antara dua ekstrem. Akan tetapi ia
tampak cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan
sebagai posisi tengah antara ekstrim kelebihan dan ekstrim kekurangan
masing-masing jiwa manusia. Ada empat keutamaan akhlak (al-iffah, as-saja’ah,
al-hikmah, dan al-‘adalah) merupakan pokok atau induk akhlak yang mulia. Akhlak
yang lainnya merupakan cabang dari empat akhlak mulia tersebut.
2. Konsep Pendidikan
Ibn
Miskawaih membangun konsep pendidikan pada pendidikan akhlak. Selengkapnya
dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan
pendidikan akhlak yang dirumuskannya adalah terwujudnya sikap bathin yang mampu
mendorong serta spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik,
sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna. Dengan
demikian, tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibn Maiskawaih bersifat
menyeluruh, yakni mencakup kebahagiaan hidup manusia dalam arti yang
seluas-luasnya.
b. Materi Pendidikan Akhlak
Ibn
Miskawaih menyebut tiga hal pokok menjadi materi pendidikan akhlaknya. Tiga hal
tersebut adalah: (1) hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, misalnya
shalat, puasa dan sa’i(2) hal-hal yang wajib bagi jiwa, misalnya mengesakan
Allah serta motivasi senang kepada ilmu dan (3) hal-hal yang wajib bagi
hubungannya dengan sesama manusia, misalnya ilmu muamalat, pertanian,
perkawinan, saling menasehati, peperangan dan lain-lain.
Ketiga
materi pokok tersebut dapat diperoleh dari ilmu-ilmu yang secara garis besar
dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
pemikiran (al-ulum al-fikriyah), dan kedua, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan indera
(al-ulum al-bissiyat).
c. Pendidik dan Anak Didik
Pendidik,
dalam hal ini guru, instruktur, ustadz atau dosen memegang peranan penting
dalam keberlangsungan kegiatan pengajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan
pendidikan yang ditetapkan. Sedangkan anak didik yang selanjutnya disebut murid,
siswa, peserta didik atau mahasiswa merupakan sasaran kegiatan pengajaran dan
pendidikan merupakan bagian yang perlu mendapatkan perhatian yang seksama.
Perbedaan anak didik dapat menyebabkan terjadinya perbedaan materi, metode,
pendekatan dan sebagainya. Orang tua, merupakan pendidik yang pertama bagi
anak-anaknya dengan syariat sebagian acuan utama materi pendidikannya. Kegiatan
ini harus dilandasi dengan hubungan yang harmonis dan cinta kasih. Guru
berfungsi sebagai orang tua atau bapak rohani, orang yang dimuliakan dan
kebaikan yang diberikan adalah kebaikan Ilahi.
d. Lingkungan Pendidikan
Sebagai
makhluk sosial, manusia memerlukan kondisi yang baik dari luar dirinya.
Selanjutnya ia menyatakan, bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang berbuat
baik terhadap keluarga dan orang-orang yang masih ada kaitan dengannya mulai
dari saudara, anak atau orang yang masih ada hubungan dengannya.
Untuk mencapai keadaan lingkungan yang demikian itu, perlu ada polical will
dari pemerintah. Kepala negara dan aparatnya mempunyai kewajiban untuk
menciptakannya. Agama da negara ibarat dua saudara yang saling melengkapi, satu
dengan lainnya saling menyempurnakan. Cinta kasih kepala negara (pemimpin)
terhadap rakyatnya semisal cinta kasih orang tua terhadap anak-anaknya. Terhadap
pemimpin demikian, rakyat wajib mencintainya semisal cinta anak terhadap orang
tuanya.
e. Metodologi Pendidikan
Beberapa
metode yang diajukannya untuk mencapai akhlak yang baik adalah pertama, adanya
kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus-menerus dan menahan diri
(al-‘adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya
sesuai dengan keutamaan jiwa. Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan
pengalaman orang lain sebagai cermin bagi diriny
B.
Konsep Pendidikan Al-Qabisi
Nama
lengkapnya adalah Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad Khalaf al-Ma’afiri al-Qabisi.
Ia lahir di Kairawan, Tunisia, pada bulan Rajab, tahun 224 H. bertepatan dengan
13 Mei tahun 936 M. Ia pernah merantau ke beberapa negara Timur Tengah pada
tahun 353 H./963 M. selama 5 tahun, kemudian kembali ke negeri asalnya dan
meninggal dunia pada tanggal 3 Rabiul Awal 403 H. bertepatan dengan tanggal 23
Oktober 1012 M.
Riwayat
pendidikannya, ia pernah berguru kepada salah seorang ulama di Iskandariyah.
Dia emperdalam ilmu agama dan hadits dari ulama-ulama terkenal dari Afrika
Utara, seperti Abul Abbas al-Ibyani dan Abu Hasan bin Masruf ad-Dhibaghi, serta
Abu Abdillah bin Masrur al-Assa’ali dan sebagainya. Ketika berada di Kairawan,
Tunisia, ia berguru mengenai ilmu fiqh kepada ulama mazhab Malikiyah yang
berkembang di daerah itu, sehingga ia menjadi orang yang juga ahli di bidang
fiqh. Para pengamat sepakat bahwa al-Qabisi termasuk salah seorang ulama hadits
dan fiqh yang terkemuka pada zamannya.
Beberapa
pemikirannya tentang pendidikan adalah:
1. Pendidikan Anak-anak
Al-Qabisi
memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-anak yang berlangsung di
kuttab-kuttab. Menurutnya bahwa mendidik anak-anak merupakan upaya amat
strategis dalam rangka menjaga kelangsungan bangsa dan negara. Oleh karena itu
pendidikan anak harus dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan ketekunan yang
tinggi.
2. Tujuan Pendidikan
Al-Qabisi
menghendaki agar pendidikan dan pengajaran dapat menumbuhkembangkan pribadi
anak yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang benar. Lebih spesifik tujuan
pendidikannya adalah mengembangkan kekuatan akhlak anak, menmbuhkan rasa cinta
agama, berpegang teguh kepada ajaran-ajarannya, serta berperilaku yang sesuai
dengan nilai-nilai agama yang murni. Di ssamping itu juga al-Qabisi mengarahkan
dalam tujuan pendidikannya agar anak memiliki keterampilan da keahlian
pragmatis yang dapat mendukung kemampuanya mencari nafkah.
3. Kurikulum
Al-Qabisi membagi kurikulum menjadi dua bagian:
a. Kurikulum Ijbari
Kurikulum ijbari secara harfiah
berarti kurikulum (mata pelajaran) yang merupakan keharusan atau kewajiban bagi
setiap anak. Kurikulum model ini terdiri dari kandungan ayat-ayat al-Quran
seperti sembahyang dan doa-doa, ilmu nahwu dan bahasa Arab.
b. Kurikulum Ikhtiyari (Tidak Wajib/Pilihan)
Kurikulum ini berisi ilmu
hitung dan seluruh ilmu nahwu, bahasa Arab, syair, kisah-kisah masyarakat Arab,
sejarah Islam, ilmu nahwu (grammer) dan bahasa Arab lengkap. Dalam kurikulum
ini juga dimasukkan pelajaran keterampilan yang dapat menghasilkan produksi
kerja.
4. Metode dan Teknik Belajar
Selain
membicarakan materi, ia juga berbicara mengenai teknik dan langkah mempelajari
ilmu itu. Misalnya menghafal al-Quran dan belajar menulis langkah-langkah
adalah berdasarkan pemilihan waktu-waktu yang terbaik, yaitu waktu pagi-pagi
selama seminggu terus-menerus dan baru beristirahat sejak waktu dhuhur hari
Kamis sampai dengan hari Jum’at. Kemudian belajar lagi pada hari Sabtu pagi
hingga minggu berikutnya. Al-Qibasi juga mengemukakan metode belajar yang
efektif, yaitu menghafal, melakukan latihan dan demonstrasi.
5. Percampuran Belajar antara Murid Laki-Laki
dan Perempuan
Percampuran
belajar antara murid laki-laki dan perempuan dalam satu tempat atau
co-educational classes juga menjadi perhatian al-Qabisi. Ia tidak setuju bila
murid laki-laki dan perempuan dicampur dalam kuttab, hingga anak itu belajar sampai
usia baligh (dewasa).
6. Demokrasi dalam Pendidikan
Menurut
al-Qabisi bahwa anak-anak yang masuk di Kuttab tidak ada perbedaan derajat atau
martabat. Baginya pendidikan adalah hak semua orang tanpa ada pengecualian.
C.
Konsep Pendidikan Al-Mawardi
Nama
lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Basry. Ia
dilahirkan di Basrah pada tahun 364 H. bertepatan dengan tahun 974 M. dan wafat
di Baghdad pada tahun 450 H. bertepatan dengan tahun 1058 M. Al-Mawardi hidup
pada masa puncak kejayaan ummat Islam. Hingga tidak mengherankan ia tumbuh
sebagai pemikir Islam yang ahli dalam bidang fiqh dan sastrawan di samping juga
sebagai politikus yang paiwai.
Pendidikannya
ditempuh di negeri kelahirannya, Basrah. Di kota itu ia sempat belajar hadits
dari beberapa ulama terkenal seperti al-Hasan Ibn Ali Ibn Muhammad Ibn
al-Jabaly. Abu Khalifah al-Jumhy, Muhammad Ibn ‘Adiy Ibn Zuhar al-Marqy,
Muhammad Ibn al-Ma’ally al-Azdy serta Ja’far bin Muhammad ibn al-Fadl
al-Baghdadi. Di samping ahli hadits, ia juga ahli fiqh terkemuka dari mazhab
Syafi’i, sastra dan syair, nahwu, filsafat, dan ilmu sosial.
Pemikiran
al-Mawardi dalam bidang pendidikan sebagian besar terkonsentrasi pada masalah
etika hubungan guru dan murid dalam proses belajar mengajar. Pemikiran ini
dapat dipahami, karena dari seluruh aspek pendidikan, guru memegang peranan
amat penting, bahkan berada pada garda terdepan.
Al-Mawardi
memandang penting seorang guru yang memiliki sikap tawadlu (rendah hati),
ikhlas serta menjauhi sikap ujub (besar kepala). Sikap tawadlu akan menyebabkan
guru bersikap demokratis dalam menghadapi murid-muridnya. Sikap demokratis ini
mengandung makna bahwa guru berusaha mengembangkan individu seoptimal mungkin.
Guru menempatkan dirinya sebagai pemimpin dan pembimbing dalam proses belajar
mengajar. Dengan keikhlasan, guru akan tampil melaksanakan tugasnya secara
profesional. Hal ini ditandai oleh beberapa sikap sebagai berikut:
Pertama, selalu mempersiapkan sesuatu yang
diperlukan guna mendukung PBM. Kedua, disiplin terhadap peraturan
dan waktu. Ketiga, penggunaan waktu luangnya akan diarahkan untuk
kepentingan profesional. Keempat, ketekunan dan keuletan
dalam bekerja. Kelima, memiliki daya kreasi
dan inovasi yang tinggi
No comments:
Post a Comment