Thursday, June 11, 2020

KURIKULUM 2013 : Era Milenial, Guru dan Siswa Harus “HOTS”

Era Milenial, Guru dan Siswa Harus “HOTS”

 

Keterampilan berpikir tingkat tinggi yang dalam bahasa umum dikenal sebagai Higher Order Thinking Skill (HOTS) dipicu oleh empat kondisi. Pertama, sebuah situasi belajar tertentu yang memerlukan strategi pembelajaran yang spesifik dan tidak dapat digunakan di situasi belajar lainnya. Kedua, kecerdasan yang tidak lagi dipandang sebagai kemampuan yang tidak dapat diubah, melainkan kesatuan pengetahuan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terdiri dari lingkungan belajar, strategi dan kesadaran dalam belajar. Ketiga, pemahaman pandangan yang telah bergeser dari unidimensi, linier, hirarki atau spiral menuju pemahaman pandangan ke multidimensi dan interaktif. Keempat, keterampilan berpikir tingkat tinggi yang lebih spesifik seperti penalaran, kemampuan analisis, pemecahan masalah, dan keterampilan berpikir kritis dan kreatif.

Guru HOTS

Menurut beberapa ahli, definisi keterampilan berpikir tingkat tinggi salah satunya dari Resnick (1987) adalah proses berpikir kompleks dalam menguraikan materi, membuat kesimpulan, membangun representasi, menganalisis, dan membangun hubungan dengan melibatkan aktivitas mental yang paling dasar. Keterampilan ini juga digunakan untuk menggaris bawahi berbagai proses tingkat tinggi menurut jenjang taksonomi Bloom. Menurut Bloom, keterampilan dibagi menjadi dua bagian. Pertama adalah keterampilan tingkat rendah yang penting dalam proses pembelajaran, yaitu mengingat (remembering), memahami (understanding), dan menerapkan (applying), dan kedua adalah yang diklasifikasikan ke dalam keterampilan berpikir tingkat tinggi berupa keterampilan menganalisis (analysing), mengevaluasi (evaluating), dan mencipta (creating).

Alasan ini guru harus mampu menciptakan dan mengambangkan proses pembelajaran dengan keterampilan berpikir tingkat tinggi erat kaitannya dengan keterampilan berpikir sesuai dengan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor yang menjadi satu kesatuan dalam proses belajar dan mengajar. Ranah kognitif meliputi kemampuan dari peserta didik dalam mengulang atau menyatakan kembali konsep/prinsip yang telah dipelajari dalam proses pembelajaran yang telah didapatnya. Proses ini berkenaan dengan kemampuan dalam berpikir, kompetensi dalam mengembangkan pengetahuan, pengenalan, pemahaman, konseptualisasi, penentuan dan penalaran.

Anderson dan Krathwoll melalui taksonomi yang direvisi memiliki rangkaian proses-proses yang menunjukkan kompleksitas kognitif dengan menambahkan dimensi pengetahuan, seperti Pengetahuan faktual, Pengetahuan faktual berisi elemen-elemen dasar yang harus diketahui para peserta didik jika mereka akan dikenalkan dengan suatu disiplin atau untuk memecahkan masalah apapun di dalamnya. Pengetahuan konseptual, Pengetahuan konseptual meliputi skema-skema, model-model mental, atau teori-teori eksplisit dan implisit dalam model-model psikologi kognitif yang berbeda. Pengetahuan prosedural, "pengetahuan mengenai bagaimana" melakukan sesuatu. Hal ini dapat berkisar dari melengkapi latihan-latihan yang cukup rutin hingga memecahkan masalah-masalah baru. Pengetahuan metakognitif, Pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan mengenai kesadaran secara umum sama halnya dengan kewaspadaan dan pengetahuan tentang kesadaran pribadi seseorang.

Ranah Afektif Kartwohl & Bloom juga menjelaskan bahwa selain kognitif, terdapat ranah afektif yang berhubungan dengan sikap, nilai, perasaan, emosi serta derajat penerimaan atau penolakan suatu objek dalam kegiatan pembelajaran dan membagi ranah afektif menjadi 5 kategori, yaitu Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi sebagai Critical and Creative Thinking. John Dewey mengemukakan bahwa berpikir kritis secara esensial sebagai sebuah proses aktif, dimana seseorang berpikir segala hal secara mendalam, mengajukan berbagai pertanyaan, menemukan informasi yang relevan daripada menunggu informasi secara pasif (Fisher, 2009).

Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi sebagai Problem Solving Keterampilan berpikir tingkat tinggi sebagai problem solving diperlukan dalam proses pembelajaran, karena pembelajaran yang dirancang dengan pendekatan pembelajaran berorientasi pada keterampilan tingkat tinggi tidak dapat dipisahkan dari kombinasi keterampilan berpikir dan keterampilan kreativitas untuk pemecahan masalah. Menurut Mourtos, Okamoto dan Rhee (2004) ada enam aspek yang dapat digunakan untuk mengukur sejauh mana keterampilan pemecahan masalah peserta didik, yaitu: 1) Menentukan masalah, dengan mendefinisikan masalah, menjelaskan permasalahan menentukan kebutuhan data dan informasi yang harus diketahui sebelum digunakan untuk mendefinisikan masalah sehingga menjadi lebih detail, dan mempersiapkan kriteria untuk menentukan hasil pembahasan dari masalah yang dihadapi. 2) Mengeksplorasi masalah, dengan menentukan objek yang berhubungan dengan masalah, memeriksa masalah yang terkait dengan asumsi dan menyatakan hipotesis yang terkait dengan masalah. 3) Merencanakan solusi dimana peserta didik mengembangkan rencana untuk memecahkan masalah, memetakan sub-materi yang terkait dengan masalah, memilih teori prinsip dan pendekatan yang sesuai dengan masalah, dan menentukan informasi untuk menemukan solusi. 4) Melaksanakan rencana, pada tahap ini peserta didik menerapkan rencana yang telah ditetapkan. 5) Memeriksa solusi, mengevaluasi solusi yang digunakan untuk memecahkan masalah. 6) Mengevaluasi, dalam langkah ini, solusi diperiksa, asumsi yang terkait dengan solusi dibuat, memperkirakan hasil yang diperoleh ketika mengimplementasikan solusi dan mengkomunikasikan solusi yang telah dibuat.

Peran guru profesional dalam pembelajaran sangat penting sebagai kunci keberhasilan belajar peserta didik dan mengahasilkan lulusan yang berkualitas. Guru profesional adalah guru yang kompeten dalam membangun dan mengembangkan proses pembelajaran yang baik dan efektif sehingga dapat menghasilkan peserta didik yang pintar dan pendidikan yang berkualitas. Hal tersebut menjadikan kualitas pembelajaran sebagai komponen yang menjadi fokus perhatian pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam meningkatkan mutu pendidikan terutama menyangkut kualitas lulusan peserta didik. Pengembangan pembelajaran berorientasi pada keterampilan berpikir tingkat tinggi atau Higher Order Thinking Skill (HOTS) dikembangkan sebagai upaya peningkatan kualitas pembelajaran dan meningkatkan kualitas lulusan dan mengembangkan Penguatan Pendidikan Karakter dan pembelajaran berorientasi pada Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi atau Higher Order Thinking Skill (HOTS) dalam menghadapi era revolusi industry 4.0 (abad 21).

 

Peserta Didik HOTS

Peserta Didik (HOTS) High Order Thinking Skills merupakan suatu proses berpikir peserta didik dalam level kognitif yang lebih tinggi yang dikembangkan dari berbagai konsep dan metode kognitif dan taksonomi pembelajaran seperti metode problem solving, taksonomi bloom, dan taksonomi pembelajaran, pengajaran, dan penilaian (Saputra, 2016). High order thinking skills ini meliputi di dalamnya kemampuan pemecahan masalah, kemampuan berpikir kreatif, berpikir kritis, kemampuan berargumen, dan kemampuan mengambil keputusan. Menurut King, high order thinking skills termasuk di dalamnya berpikir kritis, logis, reflektif, metakognitif, dan kreatif, sedangkan menurut Newman dan Wehlage (Widodo, 2013) dengan high order thinking peserta didik akan dapat membedakan ide atau gagasan secara jelas, berargumen dengan baik, mampu memecahkan masalah, mampu mengkonstruksi penjelasan, mampu berhipotesis dan memahami hal-hal kompleks menjadi lebih jelas. Menurut Vui (Kurniati, 2014) high order thinking skills akan terjadi ketika seseorang mengaitkan informasi baru dengan infromasi yang sudah tersimpan di dalam ingatannya dan mengaitkannya dan/atau menata ulang serta mengembangkan informasi tersebut untuk mencapai suatu tujuan atau menemukan suatu penyelesaian dari suatu keadaan yang sulit dipecahkan.

Tujuan utama dari high order thinking skills adalah bagaimana peserta didik meningkatkan kemampuan berpikir pada level yang lebih tinggi, terutama yang berkaitan dengan kemampuan untuk berpikir secara kritis dalam menerima berbagai jenis informasi, berpikir kreatif dalam memecahkan suatu masalah menggunakan pengetahuan yang dimiliki serta membuat keputusan dalam situasi-situasi yang kompleks (Saputra, 2016). Proses dimulai dengan membandingkan dan menyimpulkan kemudian peserta didik harus memadukan apa yang telah dipelajari dan menerapkannya pada situasi baru. Pola pemecahan masalah menurut pandangan Krulik & Rudnick dijabarkan dalam langkah-langkah yang dapat diajarkan kepada peserta didik, yaitu, (1) membaca sebuah permasalahan, (2) mengembangkan informasi, (3) memilih strategi, (4) menyelesaikan masalah, dan (5) memeriksa kembali dan meluaskan. Menurut Krathwohl (2002) dalam A revision of Bloom’s Taxonomy, menyatakan bahwa indikator untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi meliputi menganalisis (C4) yaitu kemampuan memisahkan konsep ke dalam beberapa komponen dan menghubungkan satu sama lain untuk memperoleh pemahaman atas konsep secara utuh, mengevaluasi (C5) yaitu kemampua menetapkan derajat sesuatu berdasarkan norma, kriteria atau patokan tertentu, dan mencipta (C6) yaitu kemampuan memadukan unsur-unsur menjadi sesuatu bentuk baru yang utuh dan luas, atau membuat sesuatu yang orisinil.