Era Milenial, Guru
dan Siswa Harus “HOTS”
Keterampilan berpikir tingkat tinggi yang
dalam bahasa umum dikenal sebagai Higher Order Thinking Skill (HOTS)
dipicu oleh empat kondisi. Pertama, sebuah
situasi belajar tertentu yang memerlukan strategi pembelajaran yang spesifik
dan tidak dapat digunakan di situasi belajar lainnya. Kedua, kecerdasan yang tidak lagi dipandang sebagai kemampuan yang
tidak dapat diubah, melainkan kesatuan pengetahuan yang dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang terdiri dari lingkungan belajar, strategi dan kesadaran
dalam belajar. Ketiga, pemahaman pandangan yang telah bergeser dari unidimensi,
linier, hirarki atau spiral menuju pemahaman pandangan ke multidimensi dan
interaktif. Keempat, keterampilan berpikir tingkat tinggi yang lebih spesifik
seperti penalaran, kemampuan analisis, pemecahan masalah, dan keterampilan
berpikir kritis dan kreatif.
Guru HOTS
Menurut beberapa ahli, definisi
keterampilan berpikir tingkat tinggi salah satunya dari Resnick (1987) adalah proses
berpikir kompleks dalam menguraikan materi, membuat kesimpulan, membangun
representasi, menganalisis, dan membangun hubungan dengan melibatkan aktivitas
mental yang paling dasar. Keterampilan ini juga digunakan untuk menggaris bawahi
berbagai proses tingkat tinggi menurut jenjang taksonomi Bloom. Menurut Bloom,
keterampilan dibagi menjadi dua bagian. Pertama adalah keterampilan
tingkat rendah yang penting dalam proses pembelajaran, yaitu mengingat (remembering),
memahami (understanding), dan menerapkan (applying), dan kedua
adalah yang diklasifikasikan ke dalam keterampilan berpikir tingkat tinggi
berupa keterampilan menganalisis (analysing), mengevaluasi (evaluating),
dan mencipta (creating).
Alasan ini guru
harus mampu menciptakan dan mengambangkan proses pembelajaran dengan keterampilan
berpikir tingkat tinggi erat kaitannya dengan keterampilan berpikir sesuai
dengan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor yang menjadi satu kesatuan dalam
proses belajar dan mengajar. Ranah kognitif meliputi kemampuan
dari peserta didik dalam mengulang atau menyatakan kembali konsep/prinsip yang
telah dipelajari dalam proses pembelajaran yang telah didapatnya. Proses ini
berkenaan dengan kemampuan dalam berpikir, kompetensi dalam mengembangkan
pengetahuan, pengenalan, pemahaman, konseptualisasi, penentuan dan penalaran.
Anderson dan
Krathwoll melalui taksonomi yang direvisi memiliki rangkaian proses-proses yang
menunjukkan kompleksitas kognitif dengan menambahkan dimensi pengetahuan,
seperti Pengetahuan faktual,
Pengetahuan faktual berisi elemen-elemen dasar yang harus diketahui para
peserta didik jika mereka akan dikenalkan dengan suatu disiplin atau untuk
memecahkan masalah apapun di dalamnya. Pengetahuan
konseptual, Pengetahuan konseptual meliputi skema-skema, model-model
mental, atau teori-teori eksplisit dan implisit dalam model-model psikologi
kognitif yang berbeda. Pengetahuan
prosedural, "pengetahuan mengenai bagaimana" melakukan sesuatu.
Hal ini dapat berkisar dari melengkapi latihan-latihan yang cukup rutin hingga
memecahkan masalah-masalah baru. Pengetahuan
metakognitif, Pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan mengenai
kesadaran secara umum sama halnya dengan kewaspadaan dan pengetahuan tentang
kesadaran pribadi seseorang.
Ranah Afektif Kartwohl & Bloom juga menjelaskan bahwa
selain kognitif, terdapat ranah afektif yang berhubungan dengan sikap, nilai,
perasaan, emosi serta derajat penerimaan atau penolakan suatu objek dalam
kegiatan pembelajaran dan membagi ranah afektif menjadi 5 kategori, yaitu Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi sebagai
Critical and Creative Thinking. John
Dewey mengemukakan bahwa berpikir kritis secara esensial sebagai sebuah proses
aktif, dimana seseorang berpikir segala hal secara mendalam, mengajukan
berbagai pertanyaan, menemukan informasi yang relevan daripada menunggu
informasi secara pasif (Fisher, 2009).
Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi sebagai Problem Solving Keterampilan berpikir tingkat tinggi sebagai problem
solving diperlukan dalam proses pembelajaran, karena pembelajaran yang
dirancang dengan pendekatan pembelajaran berorientasi pada keterampilan tingkat
tinggi tidak dapat dipisahkan dari kombinasi keterampilan berpikir dan
keterampilan kreativitas untuk pemecahan masalah. Menurut Mourtos, Okamoto dan
Rhee (2004) ada enam aspek yang dapat digunakan untuk mengukur sejauh mana
keterampilan pemecahan masalah peserta didik, yaitu: 1) Menentukan masalah, dengan mendefinisikan masalah, menjelaskan
permasalahan menentukan kebutuhan data dan informasi yang harus diketahui
sebelum digunakan untuk mendefinisikan masalah sehingga menjadi lebih detail,
dan mempersiapkan kriteria untuk menentukan hasil pembahasan dari masalah yang
dihadapi. 2) Mengeksplorasi masalah,
dengan menentukan objek yang berhubungan dengan masalah, memeriksa masalah yang
terkait dengan asumsi dan menyatakan hipotesis
yang terkait dengan masalah. 3) Merencanakan solusi dimana peserta
didik mengembangkan rencana untuk memecahkan masalah, memetakan sub-materi yang
terkait dengan masalah, memilih teori prinsip dan pendekatan yang sesuai dengan
masalah, dan menentukan informasi untuk menemukan solusi. 4) Melaksanakan rencana,
pada tahap ini peserta didik menerapkan rencana yang telah ditetapkan. 5) Memeriksa solusi, mengevaluasi solusi yang
digunakan untuk memecahkan masalah. 6) Mengevaluasi, dalam langkah ini, solusi
diperiksa, asumsi yang terkait dengan solusi dibuat, memperkirakan hasil yang
diperoleh ketika mengimplementasikan solusi dan
mengkomunikasikan solusi yang telah
dibuat.
Peran guru
profesional dalam pembelajaran sangat penting sebagai kunci keberhasilan
belajar peserta didik dan mengahasilkan lulusan yang berkualitas. Guru
profesional adalah guru yang kompeten dalam membangun dan mengembangkan proses
pembelajaran yang baik dan efektif sehingga dapat menghasilkan peserta didik
yang pintar dan pendidikan yang berkualitas. Hal tersebut menjadikan kualitas
pembelajaran sebagai komponen yang menjadi fokus perhatian pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah dalam meningkatkan mutu pendidikan terutama menyangkut kualitas
lulusan peserta didik. Pengembangan pembelajaran berorientasi pada keterampilan
berpikir tingkat tinggi atau Higher Order Thinking Skill (HOTS)
dikembangkan sebagai upaya peningkatan kualitas pembelajaran dan meningkatkan
kualitas lulusan dan mengembangkan Penguatan Pendidikan Karakter dan
pembelajaran berorientasi pada Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi atau Higher
Order Thinking Skill (HOTS) dalam menghadapi era revolusi industry 4.0
(abad 21).
Peserta Didik HOTS
Peserta Didik (HOTS)
High Order Thinking Skills merupakan
suatu proses berpikir peserta didik dalam level kognitif yang lebih tinggi yang
dikembangkan dari berbagai konsep dan metode kognitif dan taksonomi pembelajaran
seperti metode problem solving, taksonomi bloom, dan taksonomi pembelajaran,
pengajaran, dan penilaian (Saputra, 2016). High
order thinking skills ini meliputi di dalamnya kemampuan pemecahan masalah,
kemampuan berpikir kreatif, berpikir kritis, kemampuan berargumen, dan
kemampuan mengambil keputusan. Menurut King, high order thinking skills termasuk di dalamnya berpikir kritis,
logis, reflektif, metakognitif, dan kreatif, sedangkan menurut Newman dan
Wehlage (Widodo, 2013) dengan high order
thinking peserta didik akan dapat membedakan ide atau gagasan secara jelas,
berargumen dengan baik, mampu memecahkan masalah, mampu mengkonstruksi
penjelasan, mampu berhipotesis dan memahami hal-hal kompleks menjadi lebih
jelas. Menurut Vui (Kurniati, 2014) high
order thinking skills akan terjadi ketika seseorang mengaitkan informasi
baru dengan infromasi yang sudah tersimpan di dalam ingatannya dan
mengaitkannya dan/atau menata ulang serta mengembangkan informasi tersebut
untuk mencapai suatu tujuan atau menemukan suatu penyelesaian dari suatu
keadaan yang sulit dipecahkan.
Tujuan utama dari high order thinking skills adalah
bagaimana peserta didik meningkatkan kemampuan berpikir pada level yang lebih
tinggi, terutama yang berkaitan dengan kemampuan untuk berpikir secara kritis
dalam menerima berbagai jenis informasi, berpikir kreatif dalam memecahkan
suatu masalah menggunakan pengetahuan yang dimiliki serta membuat keputusan
dalam situasi-situasi yang kompleks (Saputra, 2016). Proses dimulai dengan
membandingkan dan menyimpulkan kemudian peserta didik harus memadukan apa yang
telah dipelajari dan menerapkannya pada situasi baru. Pola pemecahan masalah
menurut pandangan Krulik & Rudnick dijabarkan dalam langkah-langkah yang
dapat diajarkan kepada peserta didik, yaitu, (1) membaca sebuah permasalahan,
(2) mengembangkan informasi, (3) memilih strategi, (4) menyelesaikan masalah,
dan (5) memeriksa kembali dan meluaskan. Menurut Krathwohl (2002) dalam A
revision of Bloom’s Taxonomy, menyatakan bahwa indikator untuk mengukur kemampuan
berpikir tingkat tinggi meliputi menganalisis (C4) yaitu kemampuan memisahkan
konsep ke dalam beberapa komponen dan menghubungkan satu sama lain untuk
memperoleh pemahaman atas konsep secara utuh, mengevaluasi (C5) yaitu kemampua
menetapkan derajat sesuatu berdasarkan norma, kriteria atau patokan tertentu,
dan mencipta (C6) yaitu kemampuan memadukan unsur-unsur menjadi sesuatu bentuk
baru yang utuh dan luas, atau membuat sesuatu yang orisinil.