STUDI HADIST
(Studi Analisis Hadist tentang Larangan
Perempuan Menjadi Pemimpin)
A. Pendahuluan
Peranan wanita dalam masyarakat merupakan pokok
persoalan. Dimana kecenderungan penilaian bahwa normativitas
Islam menghambat ruang gerak wanita dalam masyarakat. Hal ini
didukung oleh pemahaman bahwa tempat terbaik bagi
wanita adalah di rumah, sedangkan di luar rumah banyak terjadi
kemudharatan.
Pandangan yang paling umum adalah bahwa keluarnya wanita
dari rumah untuk maksud tertentu dihukumi dengan
subhat, antara diperbolehkan dan tidak. Dalam bahasan
fiqh ibadah, jika subhat lebih baik ditinggalkan. Sedangkan dalam
fiqh muamallah bisa dijalankan dengan rukhshah darurat. Akan
tetapi menurut pandangan Qardhawy, bahwa keluarnya wanita dari rumah untuk
keperluan tertentu adalah diperbolehkan. Bahkan menahan wanita
di dalam rumah hanyalah bentuk perkecualian dalam jangka
waktutertentu sebagai bentuk penghukuman.
|
B. Pembahasan
1. Hadist Pertama
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ
حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي
اللَّهُ بِكَلِمَةٍ أَيَّامَ الْجَمَلِ لَمَّا بَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ فَارِسًا مَلَّكُوا ابْنَةَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ
قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً (رواه البخاري)
Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Utsman bin Al Haitsam] telah
menceritakan kepada kami ['Auf] dari [Al Hasan] dari [Abu Bakrah] mengatakan;
Dikala berlangsung hari-hari perang jamal, aku telah memperoleh pelajaran dari
pesan baginda Nabi, tepatnya ketika beliau Shallallahu'alaihiwasallam tahu
kerajaan Persia mengangkat anak perempuan Kisra sebagai raja, beliau langsung
bersabda: "Tak akan baik keadaan sebuah kaum yang mengangkat wanita
sebagai pemimpin urusan mereka."
HR. Bukhari)
Sanad hadist, bermula dari Abu Bakrah yang mendengar
lansung dari Nabi, kemudian Al-Hasan, “Auf serta Utsman bin Al Haitsam dan
diriwayatkan oleh imam al-Bukhari. Abu bakrah adalah sahabat Nabi, kemudian al-Hasan
sendiri dari kalangan Tabi’in sebagai thobaqot yang
meriwayatkan hadist dari sejumlah Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta
“Auf adalah golongan Tabi’ut Tabi’in kemudian diikuti oleh Utsman bin Al
Haitsam dan diriwayatkan oleh imam al-Bukhari.
Al-Bukhari
lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al
Bukhari, namun beliau lebih dikenal Imam Bukhari seorang ahli hadits yang termasyhur
diantara para ahli hadits. Berdasarkan analisis singkat para perawi atau sanad
hadist tersebut dapat dikategorikan bahwa sanad hadist tersebut shahih
dimungkinkan adanya keteesambungan ganerasi anatara perawi. Berikut skema sanad
hadist tersebut:
|
2. Hadist Kedua
حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ
الْمَرْوَزِيُّ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ
الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنَا سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ
رَضِيَ اللَّهُ َنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَزَادَ اللَّيْثُ الَ يُونُسُ كَتَبَ رُزَيْقُ إِلَى
ابْنِ شِهَابٍ وَأَنَا مَعَهُ يَوْمَئِذٍ بِوَادِي الْقُرَى هَلْ تَرَى أَنْ
أُجَمِّعَ َرُزَيْقٌ عَامِلٌ عَلَى أَرْضٍ يَعْمَلُهَا وَفِيهَا جَمَاعَةٌ مِنْ
السُّودَانِ وَغَيْرِهِمْ َرُزَيْقٌ يَوْمَئِذٍ عَلَى أَيْلَةَ فَكَتَبَ ابْنُ
شِهَابٍ وَأَنَا أَسْمَعُ يَأْمُرُهُ أَنْ يُجَمِّعَ ُخْبِرُهُ أَنَّ سَالِمًا حَدَّثَهُ أَنَّ
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ َنْ
رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي
أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ
زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا َالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ
وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ قَالَ وَحَسِبْتُ أَنْ قَدْ قَالَ َالرَّجُلُ رَاعٍ
فِي مَالِ أَبِيهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ
عَنْ رَعِيَّتِهِ (رواه البخاري)
Artinya: Telah
menceritakan kepada kami [Bisyr bin Muhammad Al Marwazi] berkata, telah
mengabarkan kepada kami ['Abdullah] berkata, telah mengabarkan kepada kami
[Yunus] dari [Az Zuhri] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Salim bin
'Abdullah] dari [Ibnu 'Umar] radliallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin." [Al
Laits] menambahkan; [Yunus] berkata; Ruzaiq bin Hukaim menulis surat
kepada [Ibnu Syihab], dan pada saat itu aku bersamanya di Wadi Qura (pinggiran kota), "Apa
pendapatmu jika aku mengumpulkan orang untuk shalat Jum'at?" -Saat itu
Ruzaiq bertugas di suatu tempat dimana banyak jama'ah dari negeri Sudan
dan yang lainnya, yaitu di negeri Ailah-. Maka Ibnu Syihab membalasnya dan aku
mendengar dia memerintahkan (Ruzaiq) untuk mendirikan shalat Jum'at. Lalu
mengabarkan bahwa [Salim] telah menceritakan kepadanya, bahwa ['Abdullah bin
'Umar] berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai
pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan
diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan
akan dimintai pertanggung jawaban atas keluarganya. Seorang isteri adalah
pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggung
jawaban atas urusan rumah tangga tersebut. Seorang pembantu adalah pemimpin
dalam urusan harta tuannya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan
tanggung jawabnya tersebut." Aku menduga Ibnu 'Umar menyebutkan: "Dan
seorang laki-laki adalah pemimpin atas harta bapaknya, dan akan dimintai
pertanggung jawaban atasnya. Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin
akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya." (HR. Bukhari)
Sanad hadist yang kedua ini, dari Ibn Umar, Salim bin
'Abdullah, Az Zuhri seringkali meriwayatkan hadist dari
Tabi’in, kemudian Yunus adalah tobaqhot kecil dari Tabi’in, 'Abdullah serta Bisyr
bin Muhammad Al Marwazi dan hadist ini diriwatkan oleh Bukhari. Dalam analisis
sanad Hadist kedua ini, penulis mengambil pendapat al-Bukhari yang mengatakan
bahwa sanad hadist ini berkualitas shahih. Lebih jelasnya berikut skema sanad
dari hadist yang kedua:
Kedua hadist yang dipaparkan diatas, dipahami sebagai
isyarat bahwa perempuan tidak boleh dijadikan pemimpin dalam urusan
pemerintahan atau politik serta rumah tangga. Oleh karenanya banyak ulama yang
menyatakan seorang perempuan tidak sah menjadi khalifah/imam. Para
ulama tersebut menanggapi hadis ini sebagai ketentuan yang bersifat
baku-universal, tanpa melihat aspek-aspek yang terkait dengan hadis, seperti
kapasitas diri Nabi SAW ketika mengucapkan hadis, suasana yang melatarbelakangi
munculnya hadis, setting sosial yang melingkupi sebuah hadis. Padahal,
segi-segi yang berkaitan dengan diri Nabi SAW dan suasana yang melatarbelakangi
atau menyebabkan terjadinya hadis mempunyai kedudukan penting dalam pemahaman hadis
secara utuh.
3.
Kritik Matan
Dari kalangan ulama’ atas masalah yang berkaitan
dengan hadist kedua diatas, meskipun dari segi sanad dinilai shahih. Akan
tetapi sebagian banyak yang mangkritisi matan atau isi dari hadist tersebut,
seperti yang akan penulis paparkan dibawah ini:
a.
Hadist pertama
Hadist pertama, jumhur ulama’ memahami hadist tersebut
secara tektual. Mereka berpendapat berdasarkan hadist tersebut perempuan
dilarang memegang jabatan menjadi kepala Negara, hakin dan lain-lain. Akan
tetapi perempuan hanya diberi tangung jawab untuk menjaga harta suaminya.
Kemudian sebagian pendapat ulama’ mengatakan bahwa
hadist tersebut semestinya dipahami secara kontekstual yaitu dengan cara
memahami bagaimana hadist tersebut keluar. Antara lain memahami kondisi
masyarakat dan system politik pada waktu itu. Sehingga hadist tersebut dapat
diterapkan pada situasi yang diinginkan Nabi Muhammad dan ditinggalkan pada
kondisi yang berbeda.
Maksudnya dengan
metode ini atau pendekatan kontekstual adalah memahami hadits berdasarkan
dengan peristiwa-peristiwa situasi ketika hadits itu disampaikan, dan kepada
siapa pula ditujukan. Dengan lain perkataan, bahwa dengan metode kontekstual
itu diperlukan sabab al-wurud al-hadits.
Jika dipahami secara
tekstual, maka akan timbul kesan diskriminasi antara antara hak laki-laki dan
perrempuan, secara konteks saat itu, secara sosiologis wanita kurang dihargai
dan memperoleh hak-haknya, bahkan tertindas akibat warisan-warisan jahiliyah
atas tradisi yang melekat dari bangsa Arab saat itu.
Dari paparan di
atas, hingga saat ini beberapa pemikir juga tetap
banyak yang mengaplikasikannya. Seperti Muhammad al-Ghazali dalam
kitabnya. Selanjutnya dalam menganalisis hadist ini, penulis mengadopsi pendapat imam al-Ghazali, ketika Nabi mengucapkan hadist tersebut pasukan Persia telah dipaksa mundur dan luas wilayahnya makin menyempit. Dari pernyataan al-Ghazali tersebut, memberikan isyarat bahwa perempuan tidak diserahi tugas sebagai pemimpin oleh Nabi adalah perempuan yang tidak memenuhi syarat kepemimpinan, baik dilihat dari segi kepakaran maupun dari segi budaya setempat. Jadi hadist pertama tidak bisa dijadikan alasan penolakan untuk menjadikan perempuan sebagai pemimpin.
banyak yang mengaplikasikannya. Seperti Muhammad al-Ghazali dalam
kitabnya. Selanjutnya dalam menganalisis hadist ini, penulis mengadopsi pendapat imam al-Ghazali, ketika Nabi mengucapkan hadist tersebut pasukan Persia telah dipaksa mundur dan luas wilayahnya makin menyempit. Dari pernyataan al-Ghazali tersebut, memberikan isyarat bahwa perempuan tidak diserahi tugas sebagai pemimpin oleh Nabi adalah perempuan yang tidak memenuhi syarat kepemimpinan, baik dilihat dari segi kepakaran maupun dari segi budaya setempat. Jadi hadist pertama tidak bisa dijadikan alasan penolakan untuk menjadikan perempuan sebagai pemimpin.
b.
Hadist kedua,
hadist ini terdapat dalam lima kitab hadist dengan enam belas jalur
sanad. terhadap hadist ini al-Ghazali sepakat dengan Muhadditsin bahwa dari
segi sanad maupun matan hadist ini berkualitas shahih. Namun al-Ghazali dalam
hadist ini lebih memfokuskan pada matan hadist bahwa ia hanya focus menyoroti
kata “perempuan adalah pemimpin dalam urusan rumah tangga suaminya”.
Akan tetapi, menurut al-Ghazali perempuan boleh
mengerjakan pekerjaan diluar rumah, namun tetap diingatkan bahwa tugas utama
perempuan adalah dalam rumah tangganya dan apat melaksanakan kewajiban tersebut
terlabih dahulu dan diliputi rasa ketaqwaan.
C. Penutup
Berkaitan
dengan hadis kepemimpinan perempuan di atas, dapat dikatakan bahwa Nabi SAW
saat menyampaikan hadis tersebut bukan dalam kapasitas sebagai nabi dan rasul
yang pembicaraannya pasti mengandung kebenaran dan dibimbing wahyu, tetapi
harus dipahami bahwa pendapat Nabi SAW yang demikian itu disabdakan dalam
kapasitas beliau sebagai manusia. biasa (pribadi) yang mengungkap realitas
sosial keberadaan masyarakat (bayan al-waqi') pada saat hadis tersebut
disabdakan dalam rangka mengantisipasi kemungkinan buruk yang terjadi di
kemudian hari andai pemimpin itu diserahkan pada perempuan yang secara sosial
tidak mendapat legitimasi dari masyarakat.
Dengan
demikian, hadis tentang pernyataan Nabi SAW dalam kepemimpinan perempuan
tersebut sama sekali tidak terkait dengan wacana persyaratan syar’i kepala
negara; namun hanya merupakan informasi mengenai pendapat pribadi Nabi SAW yang
memberikan peluang adanya 2 (dua) kemungkinan. Pertama, boleh jadi sabda Nabi
SAW tersebut merupakan do'a agar pemimpin sukses dan sebagaimana sikap dan tindakan
yang pernah beliau tunjukkan pula pada saat menerima kabar tentang dirobeknya
surat Nabi SAW oleh Kisra Persia. Kedua, boleh jadi hal tersebut merupakan
pendapat Nabi SAW yang didasarkan pada fakta realitas tradisi masyarakat yang
pada saat itu.
Daftar Bacaan:
Azami, M. M. . Memahami Ilmu Hadist ( Tela’ah Metodologi & Literatur
Hadist) Jakarta: Lentera, 1997.
Bustamin, M. Isa H. A. Salam. Metodologi Kritik Hadist. Jakarta Raja
Grafindo Persada, 2004.
Ismail, M. Syahudi. Metodologi Penelitian Hadist Nabi.
Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Majid Khon, Abdul. Ulumul Hadist. Ed. Achmad
Zirzis, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadist. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002.