Wednesday, December 5, 2012

MAKALAH DAN STUDI HADITS TENTANG LARANGAN PEREMPUAN MENJADI PEMIMPIN


STUDI HADIST
(Studi Analisis Hadist tentang Larangan Perempuan Menjadi Pemimpin)

A.    Pendahuluan
Peranan  wanita  dalam  masyarakat  merupakan pokok persoalan. Dimana  kecenderungan  penilaian bahwa normativitas Islam menghambat ruang gerak wanita  dalam masyarakat.  Hal  ini  didukung  oleh  pemahaman  bahwa tempat  terbaik bagi wanita adalah di rumah,  sedangkan di luar rumah banyak terjadi  kemudharatan. 
Pandangan yang paling  umum adalah bahwa keluarnya  wanita  dari rumah untuk  maksud tertentu dihukumi  dengan  subhat, antara diperbolehkan  dan tidak.  Dalam  bahasan  fiqh ibadah, jika subhat lebih baik ditinggalkan.  Sedangkan dalam  fiqh muamallah bisa dijalankan  dengan  rukhshah darurat. Akan tetapi menurut pandangan Qardhawy, bahwa keluarnya wanita dari rumah untuk  keperluan  tertentu adalah diperbolehkan. Bahkan menahan wanita  di  dalam rumah hanyalah bentuk perkecualian dalam jangka  waktutertentu sebagai bentuk penghukuman.
1
 
Meski banyak pendapat yang mengatakan hadis larangan kepempimpinan politik perempuan dinilai sahih, ternyata masih dapat didiskusikan. Di kalangan ulama ada yang tidak sepakat terhadap pemakaian hadis tersebut bertalian dengan masalah perempuan dan politik. Tetapi banyak juga yang menggunakan hadis tersebut sebagai argumen untuk menggusur perempuan dari proses. pengambilan keputusan. Benarkah demikian, dari pembahasan makalah ini akan kami sebutkan beberapa hadist yang berkaitan dengan hal tersebut sebagaiman yang akan diuraikan dalam makalah ini.

B.     Pembahasan
1.      Hadist Pertama
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ أَيَّامَ الْجَمَلِ لَمَّا بَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ فَارِسًا مَلَّكُوا ابْنَةَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً (رواه البخاري)
Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Utsman bin Al Haitsam] telah menceritakan kepada kami ['Auf] dari [Al Hasan] dari [Abu Bakrah] mengatakan; Dikala berlangsung hari-hari perang jamal, aku telah memperoleh pelajaran dari pesan baginda Nabi, tepatnya ketika beliau Shallallahu'alaihiwasallam tahu kerajaan Persia mengangkat anak perempuan Kisra sebagai raja, beliau langsung bersabda: "Tak akan baik keadaan sebuah kaum yang mengangkat wanita sebagai pemimpin urusan mereka."  HR. Bukhari)

Sanad hadist, bermula dari Abu Bakrah yang mendengar lansung dari Nabi, kemudian Al-Hasan, “Auf serta Utsman bin Al Haitsam dan diriwayatkan oleh imam al-Bukhari. Abu bakrah adalah sahabat Nabi, kemudian al-Hasan sendiri dari kalangan Tabi’in sebagai thobaqot yang meriwayatkan hadist dari sejumlah Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta “Auf adalah golongan Tabi’ut Tabi’in kemudian diikuti oleh  Utsman bin Al Haitsam dan diriwayatkan oleh imam al-Bukhari.
Al-Bukhari lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal Imam Bukhari seorang ahli hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits. Berdasarkan analisis singkat para perawi atau sanad hadist tersebut dapat dikategorikan bahwa sanad hadist tersebut shahih dimungkinkan adanya keteesambungan ganerasi anatara perawi. Berikut skema sanad hadist tersebut:



 



‘Auf
 




 








2.      Hadist Kedua
حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْمَرْوَزِيُّ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنَا سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ َنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَزَادَ اللَّيْثُ الَ يُونُسُ كَتَبَ رُزَيْقُ إِلَى ابْنِ شِهَابٍ وَأَنَا مَعَهُ يَوْمَئِذٍ بِوَادِي الْقُرَى هَلْ تَرَى أَنْ أُجَمِّعَ َرُزَيْقٌ عَامِلٌ عَلَى أَرْضٍ يَعْمَلُهَا وَفِيهَا جَمَاعَةٌ مِنْ السُّودَانِ وَغَيْرِهِمْ َرُزَيْقٌ يَوْمَئِذٍ عَلَى أَيْلَةَ فَكَتَبَ ابْنُ شِهَابٍ وَأَنَا أَسْمَعُ يَأْمُرُهُ أَنْ يُجَمِّعَ  ُخْبِرُهُ أَنَّ سَالِمًا حَدَّثَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ َنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا َالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ قَالَ وَحَسِبْتُ أَنْ قَدْ قَالَ َالرَّجُلُ رَاعٍ فِي مَالِ أَبِيهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (رواه البخاري)
Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Bisyr bin Muhammad Al Marwazi] berkata, telah mengabarkan kepada kami ['Abdullah] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Yunus] dari [Az Zuhri] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Salim bin 'Abdullah] dari [Ibnu 'Umar] radliallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin." [Al Laits] menambahkan; [Yunus] berkata; Ruzaiq bin Hukaim menulis surat kepada [Ibnu Syihab], dan pada saat itu aku bersamanya di Wadi Qura (pinggiran kota), "Apa pendapatmu jika aku mengumpulkan orang untuk shalat Jum'at?" -Saat itu Ruzaiq bertugas di suatu tempat dimana banyak jama'ah dari negeri Sudan dan yang lainnya, yaitu di negeri Ailah-. Maka Ibnu Syihab membalasnya dan aku mendengar dia memerintahkan (Ruzaiq) untuk mendirikan shalat Jum'at. Lalu mengabarkan bahwa [Salim] telah menceritakan kepadanya, bahwa ['Abdullah bin 'Umar] berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas keluarganya. Seorang isteri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rumah tangga tersebut. Seorang pembantu adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan tanggung jawabnya tersebut." Aku menduga Ibnu 'Umar menyebutkan: "Dan seorang laki-laki adalah pemimpin atas harta bapaknya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atasnya. Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya." (HR. Bukhari)

Sanad hadist yang kedua ini, dari Ibn Umar, Salim bin 'Abdullah, Az Zuhri seringkali meriwayatkan hadist dari Tabi’in, kemudian Yunus adalah tobaqhot kecil dari Tabi’in, 'Abdullah serta Bisyr bin Muhammad Al Marwazi dan hadist ini diriwatkan oleh Bukhari. Dalam analisis sanad Hadist kedua ini, penulis mengambil pendapat al-Bukhari yang mengatakan bahwa sanad hadist ini berkualitas shahih. Lebih jelasnya berikut skema sanad dari hadist yang kedua:










 














Kedua hadist yang dipaparkan diatas, dipahami sebagai isyarat bahwa perempuan tidak boleh dijadikan pemimpin dalam urusan pemerintahan atau politik serta rumah tangga. Oleh karenanya banyak ulama yang menyatakan seorang perempuan tidak sah menjadi khalifah/imam. Para ulama tersebut menanggapi hadis ini sebagai ketentuan yang bersifat baku-universal, tanpa melihat aspek-aspek yang terkait dengan hadis, seperti kapasitas diri Nabi SAW ketika mengucapkan hadis, suasana yang melatarbelakangi munculnya hadis, setting sosial yang melingkupi sebuah hadis. Padahal, segi-segi yang berkaitan dengan diri Nabi SAW dan suasana yang melatarbelakangi atau menyebabkan terjadinya hadis mempunyai kedudukan penting dalam pemahaman hadis secara utuh.

3.      Kritik Matan
Dari kalangan ulama’ atas masalah yang berkaitan dengan hadist kedua diatas, meskipun dari segi sanad dinilai shahih. Akan tetapi sebagian banyak yang mangkritisi matan atau isi dari hadist tersebut, seperti yang akan penulis paparkan dibawah ini:
a.       Hadist pertama
Hadist pertama, jumhur ulama’ memahami hadist tersebut secara tektual. Mereka berpendapat berdasarkan hadist tersebut perempuan dilarang memegang jabatan menjadi kepala Negara, hakin dan lain-lain. Akan tetapi perempuan hanya diberi tangung jawab untuk menjaga harta suaminya.
Kemudian sebagian pendapat ulama’ mengatakan bahwa hadist tersebut semestinya dipahami secara kontekstual yaitu dengan cara memahami bagaimana hadist tersebut keluar. Antara lain memahami kondisi masyarakat dan system politik pada waktu itu. Sehingga hadist tersebut dapat diterapkan pada situasi yang diinginkan Nabi Muhammad dan ditinggalkan pada kondisi yang berbeda.
Maksudnya dengan metode ini atau pendekatan kontekstual adalah memahami hadits berdasarkan dengan peristiwa-peristiwa situasi ketika hadits itu disampaikan, dan kepada siapa pula ditujukan. Dengan lain perkataan, bahwa dengan metode kontekstual itu diperlukan sabab al-wurud al-hadits.
Jika dipahami secara tekstual, maka akan timbul kesan diskriminasi antara antara hak laki-laki dan perrempuan, secara konteks saat itu, secara sosiologis wanita kurang dihargai dan memperoleh hak-haknya, bahkan tertindas akibat warisan-warisan jahiliyah atas tradisi yang melekat dari bangsa Arab saat itu.
Dari paparan di atas, hingga saat ini beberapa pemikir juga tetap
banyak yang mengaplikasikannya. Seperti Muhammad al-Ghazali dalam
kitabnya. Selanjutnya
dalam menganalisis hadist ini, penulis mengadopsi pendapat imam al-Ghazali, ketika Nabi mengucapkan hadist tersebut pasukan Persia telah dipaksa mundur dan luas wilayahnya makin menyempit. Dari pernyataan al-Ghazali tersebut, memberikan isyarat bahwa perempuan tidak diserahi tugas sebagai pemimpin oleh Nabi adalah perempuan yang tidak memenuhi syarat kepemimpinan, baik dilihat dari segi kepakaran maupun dari segi budaya setempat. Jadi hadist pertama tidak bisa dijadikan alasan penolakan untuk menjadikan perempuan sebagai pemimpin.

b.      Hadist kedua,
hadist ini terdapat dalam lima kitab hadist dengan enam belas jalur sanad. terhadap hadist ini al-Ghazali sepakat dengan Muhadditsin bahwa dari segi sanad maupun matan hadist ini berkualitas shahih. Namun al-Ghazali dalam hadist ini lebih memfokuskan pada matan hadist bahwa ia hanya focus menyoroti kata “perempuan adalah pemimpin dalam urusan rumah tangga suaminya”.
Akan tetapi, menurut al-Ghazali perempuan boleh mengerjakan pekerjaan diluar rumah, namun tetap diingatkan bahwa tugas utama perempuan adalah dalam rumah tangganya dan apat melaksanakan kewajiban tersebut terlabih dahulu dan diliputi rasa ketaqwaan.
C.    Penutup
Berkaitan dengan hadis kepemimpinan perempuan di atas, dapat dikatakan bahwa Nabi SAW saat menyampaikan hadis tersebut bukan dalam kapasitas sebagai nabi dan rasul yang pembicaraannya pasti mengandung kebenaran dan dibimbing wahyu, tetapi harus dipahami bahwa pendapat Nabi SAW yang demikian itu disabdakan dalam kapasitas beliau sebagai manusia. biasa (pribadi) yang mengungkap realitas sosial keberadaan masyarakat (bayan al-waqi') pada saat hadis tersebut disabdakan dalam rangka mengantisipasi kemungkinan buruk yang terjadi di kemudian hari andai pemimpin itu diserahkan pada perempuan yang secara sosial tidak mendapat legitimasi dari masyarakat.
Dengan demikian, hadis tentang pernyataan Nabi SAW dalam kepemimpinan perempuan tersebut sama sekali tidak terkait dengan wacana persyaratan syar’i kepala negara; namun hanya merupakan informasi mengenai pendapat pribadi Nabi SAW yang memberikan peluang adanya 2 (dua) kemungkinan. Pertama, boleh jadi sabda Nabi SAW tersebut merupakan do'a agar pemimpin sukses dan sebagaimana sikap dan tindakan yang pernah beliau tunjukkan pula pada saat menerima kabar tentang dirobeknya surat Nabi SAW oleh Kisra Persia. Kedua, boleh jadi hal tersebut merupakan pendapat Nabi SAW yang didasarkan pada fakta realitas tradisi masyarakat yang pada saat itu.













Daftar Bacaan:

Azami, M. M. . Memahami Ilmu Hadist ( Tela’ah Metodologi & Literatur Hadist) Jakarta: Lentera, 1997.

Bustamin, M. Isa H. A. Salam. Metodologi Kritik Hadist. Jakarta Raja Grafindo Persada, 2004.

Ismail, M. Syahudi. Metodologi Penelitian Hadist Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Majid Khon, Abdul. Ulumul Hadist. Ed. Achmad Zirzis, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008.

Suparta, Munzier. Ilmu Hadist. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Wahyudi, Ari. Thabaqat Para Rawi Hadits.  www.muslim.or.id, diakses tanggal 25 Nopember 2010.


MAKALAH HADITS TENTANG AIR SENI PEREMPUAN


S T U D I   H A D I S T
Studi Tentang Hadist Air Seni Perempuan

A.    Pendahuluan
Permasalahan perbedaaan air kencing anak laki-laki dan perempuan ini tidak menjadi isu gender dalam. Namun dalam wacana dan sisi pengungkapannya yang hampir terdapat dalam setiap karya fiqh, baik kelasik maupun modern, cukup sebagai indicator bahwa masalah ini adalah signifikan. Sesuai dengan bidangnya, permasalahan air seni ini terdapat dalam setiap pembukuan kitab-kitab fiqh.
Dalam menjastifikasi hokum atau cara penyelesaian air seni ini, para ulama’ fiqh menggunakan hadist. Ditinjau dari sisi beragamnya kitab-kitab fiqh sementara hadist yang digunakan sama. Diantaranya adalah seperti hadist yang akan penulis paparkan dalam makalah ini berikut analisis sanat dan matan hadist tersebut.
Namun dari sekian banyaknya hadist-hadist tersebut yang menarik adalah hadist riwayah ibn Majjah yang menyebutkan latar belakang alasan peredaan air kencing laki-laki dan perempuan yang belum makan selain susu tersebut. Karena itu, penelitian ini kan difokuskan dalam hadist tersebut.


1
 
 
B.     Sanad dan Matan Hadist
حَدَّثَنَا حَوْثَرَةُ بْنُ مُحَمَّدٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَا حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ أَنْبَأَنَا أَبِي عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي حَرْبِ  بْنِ أَبِي الْأَسْوَدِ الدِّيْلِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيٍّ أَ ان النالنَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي بَوْلِ الرَّضِيعِ يُنْضَحُ وبوْلُ الْغُلَامِ وَيُغْسَلُ بَوْلُ الْجَارِيَةِ الَ أَبُو الْحَسَنِ بْنُ سَلَمَةَ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُوسَى بْنِمَعْقِلٍحَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ الْمِصْرِيُّ قَالَ سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنْ حَدِيثِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلَامِ وَيُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ وَالْمَاءَانِ جَمِيعًا وَاحِدٌ قَالَ لِأَنَّ بَوْلَ الْغُلَامِ مِنْ الْمَاءِ وَالطِّينِ وَبَوْلَ الْجَارِيَةِ مِنْ اللَّحْمِ وَالدَّمِ ثُمَّ قَالَ لِي فَهِمْتَ أَوْ قَالَ لَقِنْتَ قَالَ قُلْتُ لَا قَالَ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمَّا خَلَقَ آدَمَ خُلِقَتْ حَوَّاءُ مِنْ ضِلْعِهِ الْقَصِيرِ فَصَارَ بَوْلُ الْغُلَامِ مِنْ الْمَاءِ وَالطِّينِ وَصَارَ بَوْلُ الْجَارِيَةِ مِنْ اللَّحْمِ وَالدَّمِ قَالَ قَالَ لِي فَهِمْتَ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ لِي نَفَعَكَ اللَّهُ بِهِ (رواه ابن ما جه)
Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Hautsarah bin Muhammad] dan [Muhammad bin Sa'id bin Yazid bin Ibrahim] keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami [Mu'adz bin Hisyam] berkata, telah memberitakan kepada kami [Bapakku] dari [Qotadah] dari [Abu Harb bin Abul Aswad Ad Dili] dari [Bapaknya] dari [Ali] bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda berkenaan dengan kencing anak kecil yang masih menyusu: "Anak laki-laki diperciki sedangkan anak perempuan di cuci." Abu Al Hasan bin Salamah berkata, telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Musa bin Ma'qil berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Al Yamani Al Mishri berkata; aku bertanya kepada Imam Asy Syafi'i berkenaan dengan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Pada bayi laki-laki diperciki dan pada bayi perempuan di cuci. Sedang kedua air tersebut adalah satu." Beliau bersabda lagi: "Sebab kencing anak laki-laki dari air dan tanah sedangkan kencing anak perempuan dari daging dan darah." Setelah itu Imam Syafi'i berkata kepadaku; "Engkau paham! ", atau ia mengatakan, "engkau mengerti! " Abu Al Yamani Al Mishri berkata; Aku berkata; "Tidak." Imam Syafi'i berkata; "Ketika Allah menciptakan Adam, Hawa juga dicipta dari tulang rusuknya yang pendek. Maka kencing anak laki-laki dari air dan tanah sedangkan kencing anak perempuan dari daging dan darah." Abu Al Yamani Al Mishri berkata; "Imam Syafi'i berkata kepadaku; "Engkau paham! " Aku menjawab; "Ya, " Imam Syafi'i berkata kepadaku; "Semoga dengannya Allah memberimu manfaat."

1.      Analisis Sanad
Menurut bahasa, kata  (ﺴﻨﺪ ) / Sanad mengandung kesamaan arti kata ( ﻄﺮﻴﻖ ) / Thariq yaitu jalan atau sandaran. Sedangkan menurut istilah hadist, sanad ialah jalan yang menyampaikan kita pada matan hadist. Adapun kriteria kesahihan Sanad menurut Muhammad Al-Ghazali adalah:
a.       Setiap perawi dalam sanad suatu hadis haruslah orang yang dikenal sebagai penghafal yang cerdas, teliti dan benar-benar memahami apa yang didengarnya. Kemudian setelah ia meriwayatkannya, tepat seperti aslinya. Pada konteks ini perawi disebut Dhabit.
b.      Disamping kecerdasan yang dimiliki, ia harus mantap kepribadiannya, bertaqwa kepada Allah, serta menolak dengan tegas segala pemalsuaan dan penyimpangan. Pada konteks ini disebut Adil.
Selain itu, menurut ulama’ Muhadditsin menambahkan, ketersambungan sanad mutlak adanya, dan keterhindaran Syaz (Kejanggalan) dan Illat (Cacat) sebagai suatu syarat kesahihan sanad Hadist. Setelah dijelaskan mengenai kriteria kesahihan Sanad hadist, selanjutnya masuk pada analisis Sanad hadist tersebut diatas.

Dari penelusuran melalu teknologi modern, CD ROM dikrtahui hadist dengan tema diatas disebutkan dalam kutub tis’ah atau juga disebut dalam kitab hadist lainya yang tidak termasuk dalam kutub tis’ah. Namun dari sekian banyaknya hadist-hadist tersebut yang menarik adalah hadist riwayah ibn Majjah yang menyebutkan latar belakang alasan peredaan air kencing laki-laki dan perempuan yang belum makan selain susu tersebut. Karena itu, penelitian ini kan difokuskan dalam hadist tersebut.
Analisis terhadap komponen sanad dilakukan terhadap apa yang sudah lazim berlaku. Dari sekema sanad nampak bahwa hadist tersebut diriwayatkan oleh sembilan perawi yang masing-masing thaboqahnya dari mulai sahabat sampai pada mukharrij hadist tersebut yaitu ibn Majjah, adapun skema sanad pada hadist ini adalah:










SKEMA SANAD HADIST



 
















Dari skema sanad tersebut, dapat dibuat beberapa analisis. Pertama, kualitas perawi dan hubungan antar mereka, dari penelusuran terhadap perawi-perawi hadist riwayat ibn majjahdiketahui bahwa:

a.       Diantara perawi terdapat hubungan murud dan guru, kecuali Muhammad ibn Sa’id bin Yazid. Ia bukan guru dari ibn Majjah
b.      Kualitas perawi rata-rata pada peringkat ke tiga dan ke enam, sehingga bisa dikatakan rendah.
Kedua, instrumen penyampaiaan dan penerimaan hadist, dalam periwqayatan hadist ibn Majjah diatas, terdapat beberapa instrumen yang digunakan oleh para perawi, diantaranya adalah “AN”, “HADDSTANA”, dan AMMBAANA”. Dari ketiga instrumen yang digunakan dua dianataranya adalah instrumen yang berkualitas tingggi yaitu As-Sama’. Sedangkan kata AN, memiliki probabilitas anatara muttasil dan munfasil tergantung pada tiga syarat, yaitu:
a.       Perawinya Adil
b.      Adanya kepastian bertemu antara murid dan guru
c.       Terhindar dari adanya tadlis
Bila tiga syarat itu dipenuhi, maka dapat dipastikan periwayatan itu muttasil.
Dari telaah kulaitas perawi hadist tersebut diatas, meskipun terdapat instrumen AN namun dapat dipastikan bahwa tiga syarat tersebut diatas sudah dipenuhi oleh para perawi ibn Majjah dan bebrapa indikator kesahihan matan yang diungkap oleh penulis diatas. Oleh karena itu dapat dikategorikan dari segi sanad hadist ini sanadnya shahih.


Akan tetapi, selain syarat tersebut diatas, Syazz dan Illat adalah indikator penting yang harus diikutkan dalam manganalisis para perawi hadist. Adapun kriteria atau ukuran Syazz dan Illat adalah:
a.       Hadistnya tidak Gharib
b.      Memiliki Muttabi’ dan Syahid
c.       Kuaitas rawi tidak bertentangan dengan kualitas rawi yang diatasnya.
Dari analisis sanad hadist tersebut diatas diduga, hadist ini selamat dan memenuhi syarat-syarat kesahihan matan sebuah hadist. Meskipun untuk mengetahui Syazz diperlukan penelitian yang lebih mendalam lagi.

2.      Analisis Matan
Menurut bahasa kata Matan berasal dari bahasa Arab ( ﻤﺘﻦ ) artinya punggung jalan (muka jalan), tanah yang tinggi dan keras. Sedangkan matan menurut ilmu Hadist adalah penghujung sanad, yakni sabda Nabi Muhammad SAW, yang disebut sesudah habis disebutkan sanad. Matan adalah isi Hadist, dan matan hadist dibagi menjadi tiga, yaitu ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad SAW.
Kesahihan matan nampaknya menurut muhadditsin mengalami banyak perbedaan, hal itu mungkin terjadi karena perbedaan latar belakang, keahlian alat bantu, persoalan masyarakat yang dihadapi oleh mereka. Akan tetapi, ada versi kesahihan matan hadist menurut Al-Khatib Al-Bagdadi, suatu hadist dapat dikatakan Maqbul apabila memenuhi kriteria sebagai berikut;
a.       Tidak bertentangan dengan akal sehat
b.      Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an yang muhkam
c.       Tidak bertentangan dengan hadist mutawattir.
d.      Tidak bertentangan dengan amalan yang menjadi kesepakatan ulama’ masa lalu.
e.       Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti.
f.       Tidak bertentangan dengan hadist ahad yang kualitas kesahihannya lebih kuat.
Sedangkan Salah Al-Din Al-Adabi, mempunyai pendapat yang sedarhana dalam menentukan kriteria matan Sahih, adapun kriterianya sebagai berikut:
a.       Tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an.
b.      Tidak bertentangan denagn hadist yang lebih kuat.
c.       Tidak bertentangan dengan akal sehat, indra dan sejarah.
d.      Susunan pernyataanya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.
Dari beberapa indikator tersebut, kalau disimpulkan. Kriteria kesahihan matan hadist adalah tidak bertentangan dengan hadist mutawattir dan hadist ahad yang kuat kesahihannya, tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an, sejalan dengan alur akal sehat dan tidak bertentangan dengan sejarah, kemudian susunan pernyataan menunjukkan ciri-ciri kenabian.
Dari analisis terhadap redaksi hadist tersebut, terdapat kaidah yang nampak saling bertentangan. Pilihan terhadap pendapat tersebut akan relevan dengan adanya alasan yang dukemukakan oleh hadist riwayat ibn Majjah yang bertitik tolak pada proses awal kejadian perempuan yang banyak dikeritik oleh para ahli.
Terlepas dari pendapat itu, menarik untuk melakukan uji materi atas redaksi hadist riwayat ibn Majjah seperti yang dipaparkan penulis diatas. Sebagaimana tertera dalam redaksi hadist tersebut, meskipun bukan merupakan bagian matan hadist akan tetapi alasan yang terjadinya perbedaan yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i adalah alasan yang didasarkan pada hadist. Air kecing laki-laki bila mengenai sesuatu disucikan dengan cara memercikkan air terhadapnya, karena laki-laki tercipta dari air dan tanah. Sedangkan air seni perempuan dengan cara membasuhnya karena perempuan tercipta dari daging dan darah. Uraian ini memberikan konsepsi teologis yang menganggap perempuan berasal dari tulang rusuk Adam yang membawa implikasi lebih luas termasuk anatomi dan bialogis.
Hadist ini menurut para ulama’ memang tidak di temukan asbabul wurudnya, sehingga kita tidak bisa mamastikan dalam konteks apa hadist ini muncul. Namun bila yang terakhir ini dipakai tidak menggunakan alasan Syafi’i, maka diperkirakan cara untuk laki-laki itu  ketika musim kering dan kurang air. Tetapi yang diterapkan pada perempuan itu mungkin sebaliknya. Asusmsi ini memang agaknya kurang beralasan, kecuali jika tetsp memaksakan menerima hadist yang dimaksud.
   
C.    Kesimpulan
Paparan singkat terhadap analisis hadist tersebut dari segi sanad hadist ini shahih. Kemudian kajian dan kritik matan atau redaksi hadist ini terdapat beberapa kata yang tidak popoler pada waktu itu. Sehingga secara historis hadist ini dari segi matan patut dipertanyakan. Bila mengamati alasaan yang dikemukakan maka dalil yang dugunakan bertentangan dengan Al-Qur’an. Argumen tidak tepat juga apabila menengok hadist-hadist yang menggunakan kata-kata lebih umum.











Daftar Bacaan:
Anwar, Moh. Ilmu Mushthalah Hadits. Surabaya: Al-Ikhlas, 1981.

Bustamin, M. Isa H. A. Salam. Metodologi Kritik Hadist. Jakarta Raja Grafindo Persada, 2004.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya . Jakarta:Proyek Pengadaan Ktab Suci Al-Qur’an Dep. Agama RI Pelita III, 1982.

Ilyas, Hamim. Dkk. Perempuan Tertindas (Kajian Hadist-Hadist Misagonis”) Yogyakarta: Alsaq Prees, Cet III, 2008.

Ismail, M. Syahudi. Metodologi Penelitian Hadist Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Majid Khon, Abdul. Ulumul Hadist. Ed. Achmad Zirzis, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008.

Suparta, Munzier. Ilmu Hadist. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

_ _ _ _ _ _, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist 2. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.


MAKALAH HADITS TENTANG AZAB DALAM KUBUR


STUDI HADIST
(Studi Hadist tentang Adzab Kubur)

A.    Pendahuluan
Adapun adzab kubur, dalil-dalil dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dan dari para sahabat telah menunjukkan kebenarannya secara pasti dan kita wajib mengimaninya karena merupakan tuntutan keimanan kita kepada hari kiamat yang merupakan rukun iman keenam dimana tidak sah iman seseorang kecuali harus beriman kepada semua rukun iman yang enam.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melalui dua kuburan lantas berkata, "Kedua penghuni kubur itu di adzab, dan dia diadzab bukan karena dosa besar, tapi hakekatnya juga besar. Salah satunya tidak membersihkan diri atau tidak bertabir dari kencing, sedangkan yang satunya lagi biasa kian kemari menghambur fitnah". Kemudian beliau mengambil dua pelepah kurma yang masih basah kemudian membelahnya menjadi dua, lalu menancapkannya pada masing-masing kuburan itu seraya bersabda : "Semoga bisa meringankan adzab yang menimpa kedua orang itu selama pelepah itu belum kering". Ini merupakan satu dalil bahwa adzab kubur itu bisa diringankan, yang menjadi pertanyaan, apa kaifiatnya antara dua pelepah kurma itu dengan diringankannya adzab atas kedua penghuni kubur itu ?.
1
 
 
Ada yang memberikan alasan bahwa karena kedua pelepah kurma itu selalu bertasbih selama belum kering, dan tasbih itu bisa meringankan siksaan yang menimpa mayit. Berpijak dari sini ada yang mengambil alasan akan sunnahnya berziarah kubur dan bertasbih di situ untuk meringankan adzab yang menimpa si mayit.
Artinya, waktu permohonan beliau itu tidak lama, hanya sebatas basahnya pelepah kurma. Ini dimaksudkan sebagai ancaman terhadap siapa saja yang melakukan perbuatan seperti kedua mayit yang diadzab itu. Karena sebenarnya dosa yang diperbuat itu termasuk besar. Berdasarkan riwayat dan kajian ini, penulis dalam makalah ini akan membahas tentang Adzab Kubur.

B.     Pembahasan
1.      Hadist Pertama
و حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ فِيمَا قُرِئَ عَلَيْهِ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ طَاوُسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُعَلِّمُهُمْ هَذَا الدُّعَاءَ كَمَا يُعَلِّمُهُمْ السُّورَةَ مِنْ الْقُرْآنِ يَقُولُ قُولُوا اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ قَالَ مُسْلِم بْن الْحَجَّاج بَلَغَنِي أَنَّ طَاوُسًا قَالَ لِابْنِهِ أَدَعَوْتَ بِهَا فِي صَلَاتِكَ قَالَ لَا قَالَ أَعِدْ صَلَاتَكَ لِأَنَّ طَاوُسًا رَوَاهُ عَنْ ثَلَاثَةٍ أَوْ أَرْبَعَةٍ أَوْ كَمَا قَالَ (رواه مسلم)

Artinya: Dan Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah bin Sa'id] dari [Malik bin Anas], dari apa yang telah dibacakan dihadapannya dari [Abu Zubair] dari [Thawus] dari [Ibn Abbas], bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajari para sahabat doa ini sebagaimana mengajari mereka salah satu surat dalam Al Qur`an. Beliau bersabda: "Ucapkanlah Allaahuma Innaa Na'uudzu Bika Min 'Adzaabi Jahannama Wa A'uudzu Bika Min 'Adzaabil Qabri Wa A'uudzu Bika Min Fitnatil Masiihid Dajjaal, Wa A'uudzubika Min Fitnatil Mahyaa Wal MAMAAT" (Ya Allah saya berlindung kepada-Mu dari siksa jahnanam, dan saya berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dan saya berlindung kepada-Mu dari fitnah Al Masih Dajjal, dan saya berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian)." Muslim bin Hajjaj mengatakan; "Telah sampai berita kepadaku bahwa Thawus bertanya kepada anaknya; "Apakah kamu berdoa dengan do'a tersebut dalam shalatmu?" Jawabnya; "Tidak." Thawus berkata; "Ulangi shalatmu, sebab Thawus (maksudnya dirinya) telah meriwayatkan dari tiga atau empat orang, atau sebagaimana yang ia katakan." (HR. Muslim)

Sanad dari hadist ini meliputi, Ibn Abbas adalah perawi dari golongan sahabat, kemudian Thawus adalah perawi dari generasi Tabi’in dan menurut ibn Hibban Thawus adalah ulama’ yang menelusuri hadist dari iraq, dan Abu Zubair, juga Malik bin Anas ialah thobaqhot kibar Tabi’ut Tabi’in, serta Qutaibah bin Sa'id ia seorang ulama’ hadist yang tidak pernah bertemu dengan Tabi’in, akan tetapi Qutaibah mengambil hadist dari Tabi’ut Tabi’in. Kemudian hadist ini diriwayatkan oleh murid dari pada imam Bukhari yang juga menjadi salah satu periwayah hadist tekemuka diatarara perawi hadist yang berada pada Thabaqhat pertengahan sezaman dengan gurunya imam Bukhari.
Dengan riwayat singkat beberapa perawi tersebut, meskipun ada beberapa nama perawi yang menurut penulis kurang begitu masyhur dalam kalangan perawi. Akan tetapi, dalam seleksi imam muslim untuk meriwayatkan sebuah hadist tentunya harus melewati seleksi yang begitu ketat, termasuk dalam kriteria kesahihan sanad. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada skema sanad berikut ini:


 












2.      Hadist Kedua

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ حُمَيْدٍ أَخْبَرَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَائِطٍ لِبَنِي النَّجَّارِ فَسَمِعَ صَوْتًا مِنْ قَبْرٍ فَقَالَ مَتَى مَاتَ صَاحِبُ هَذَا الْقَبْرِ قَالُوا مَاتَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ لَوْلَا أَنْ لَا تَدَافَنُوا لَدَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُسْمِعَكُمْ عَذَابَ الْقَبْرِ(رواه احمد)
Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Sa'id] dari [Humaid] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Anas bin Malik] ia berkata; "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah melewati kebun bani Najjar lalu beliau mendengar suara dari kuburan, maka beliau pun bersabda: "Penghuni kuburan ini kapan meninggalnya?" para sahabat menjawab; "Ia meninggal di masa Jahilliyah, " beliau bersabda: "Sekiranya engkau tidak akan dikuburkan, sungguh aku akan memeohon agar Allah memperdengarkan kalian bagaimana suasana siksa kubur." (HR. Ahmad)

Sanad dari hadist ini meliputi, Anas bin Malik adalah pelayan (khadim) Nabi yang terpercaya. Anas dipersembahkan oleh ibunya Ummu Sulaim pada usia sepuluh tahun. Kepribadiaanya dikenal dikalangan sahabat adalah ketaqwaannya dan kewaraan. Hadist-hadist yang diterimanya, selain langsung dari Rosul juga dari sahabat lainya seperti Abu Bakar, Umar, Ustman, Fatima az-Zahra, Tsabit ibn Qais, Abdurrahman ibn Auf, Ibn Mas’ud, Ubay ibn Ka’ab, Mu’adz ibn Jabal dan banyak lagi sahabat lainya.
Sedangkan dari kalangan para Tabi’in yang banyak meriwayatkan hadistnya adalah Al-hasan Al-Bisyri, Sulaiman At-Tamimi, Abu Qilabah, Ishak ibn Abi Thalhah, Abdl Aziz ibn Suhaib, Qotadah, Humaid Al-Thawil, Muhammad ibnu Sirin. Dalam periwayatan Hadist dikalangan para sahabat, ia adalah salah satu dari para sahabat yang banyak meriwayatkan hadist. Silsilah sanad yang paling shahih, yang sampai kepadanya adalah malalui Malik ibn Anas dari Ibn Syihab Al-Zuhri. Sedangkan yang paling lemah melalui Daud ibn Muhabbir dari ayahnya dari Abban ibn Iyasy.
Kemudian Humaid dan Yahya bin Sa'id, barang kali nama Hamaid dalam periwayatan hadist tidak semasyhur nama Yahya ibn Said yang berada dalam kalangan Tabi’ut Tabi’in. Selanjutnya hadist ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, beliau adalah ulama’ hadist yang mengambil hadits dari Tabi'ut Taabi'in yang mereka tidak bertemu dengan tabi'in. Agar lebih jelas menganai sanad hadist ini, berikut skema sanadnya:
                                                                                    







 














3.      Kritik Matan
Dimaksud matan adalah sabda Nabi SAW. setelah disebutkan
sanadnya. Dalam ulum al-hadits terdapat tiga kemungkinan pembagian
tentang matan.
Pertama dari segi penyampainya, meliputi; al-hadits
al-Qudsi, al-marfu', al-mauquf, dan al-maqthu'. Kedua dari segi
ilmu-ilmu yang menjelaskan pada matan, meliputi; garib al-hadits,
asbab wurud al-hadits, nasikh al-hadits wa mansukhuh, mukhtalaf
al-hadits, dan muhkam al-hadits. Terakhir yang ketiga, ilmu-ilmu yang
berkembang dari aspek matan yang diriwayatkan dengan berbagai
periwayatan dan hadits-hadits lainnya.

Kaidah Minor Kritik Matan Hadits Terhindar dari syadz dan terhindar dari 'illah merupakan dua kaidah mayor untuk matan hadits. Untuk menjabarkan dua kaidah mayor tersebut dalam kritik minor hadits, sebagaimana dalam sanad di atas, nampaknya masih cukup kesulitan bagi para pemikir al-hadits. Namun sebagian pemikir dan pemerhati Hadits Nabi SAW. telah melakukannya dengan cara yang berbeda (secara sendiri) sebagai kesahihah suatu matan, sehingga tidak mengherankan jika tidak semua ulama dalam mengungkapkannya sama persis.
Beberapa yang dapat disebutkan antara lain; pendapat Al-Baghdadi (w. 463), al-Adlabi, dan terakhir dari jumhur 'ulama, sebagaimana disebutkan oleh as-Siba'i. Al-Baghdadi, menyebutkannya sebagai berikut; tidak bertentangan dengan akal sehat; tidak bertentangan dengan hukum Al-Qur'an yang muhkam; tidak bertentangan dengan hadits mutawatir ; tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama sebelumnya ; tidak bertentangan dengan dalil yang pasti dan ; tdk bertentrangan dgn hadits Ahad yg kualitas keshahihannya lebih kuat. Al-Adlabi mengemukakannya ada empat macam; tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur'an, tidak bertentangan dengan hadits yang kualitasnya lebih kuat, tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah, dan terakhir susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri kenabian.

Dengan maksud yang sama, jumhur 'ulama mengungkapkan, bahwa untuk meneliti kepalsuan suatu Hadits Nabi SAW. diantara tanda-tandanya sebagai berikut: Susunan bahasanya rancu; Isinya bertentangan dengan
akal sehat dan sangat sulit diinterpretasikan secara rasional; Isinya
bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam; Isinya beretentangan
dengan hukum alam atau sunnatullah; Isinya bertentangan dengan
sejarah; Isinya bertentangan dengan petunjuk Al-Qur'an atau Hadits
mutawatir; dan Isinya berada di luar kewajaran, dilihat dari petunjuk
umum ajaran Islam. Setidaknya, standar atau kaidah yang telah disebutkan itu, dapat dijadikan sebagai alternatif untuk dapat mengkritik Hadits Nabi SAW.
baik dari aspek sanad ataupun matannya.
Berdasarkan matan hadist tersebuit diatas, penulis dapat memaparkan dengan mengutip beberapa pandangan para ulama mu’tabar mengenai siksa kubur. Setidaknya ada dua pendapat mu’tabar di kalangan ulama ahlus sunnah wal jamaa’ah terhadap siksa kubur:
a.       Pendapat pertama menyatakan, bahwa hadits-hadits tentang siksa kubur mencapai derajat mutawatir bil makna. Sebab, jalur periwayatannya sangatlah banyak dan perawi-perawinya telah mencapai derajat pasti dikarenakan para perawinya tidak mungkin sepakat untuk dusta.
b.      Pendapat kedua menyatakan bahwa hadits-hadits yang bertutur tentang ketetapan-ketetapan akherat, semacam siksa kubur, ru’yatullah, dan lain-lain, tidak menghasilkan ilmu dlaruriy, tetapi, hanya menghasilkan ilmu tuma’ninah.
Demikian pendapat ulama’ ahlus sunnah wal jama’ah, disini penulis juga memaparkan ayat Al-Qur’an tentang adanya alam kubur. Yaitu QS. Al-Mu’minun.100, yang berbunyi:
þÌj?yès9 ã@yJôãr& $[sÎ=»|¹ $yJŠÏù àMø.ts? 4 Hxx. 4 $yg¯RÎ) îpyJÎ=x. uqèd $ygè=ͬ!$s% ( `ÏBur NÎgͬ!#uur îˆyöt/ 4n<Î) ÏQöqtƒ tbqèWyèö7ムÇÊÉÉÈ    
Artinya: Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah Perkataan yang diucapkannya saja. dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan. ( Maksudnya: mereka sekarang telah menghadapi suatu kehidupan baru, Yaitu kehidupan dalam kubur, yang membatasi antara dunia dan akhirat. )

Bedasarkan ayat ini dijelaskan bahwa orang meninggal itu rohnya itu berada di suatu tempat dimana ada dinding yang menghalanginya bahwa roh itu tidak bisa kembali ke jasadnya di bumi dan tidak bisa menuju kehidupan berikutnya sampai hari mereka dibangkitkan. Dengan demikian diri manusia itu berada di alam barzakh atau orang menyebutkan di alam kubur. Tetapi bukan kubur dalam arti sebenarnya secara fisik.
Barangkali ayat tersebut dapat dijadikan pendukung hadist-hadist diatas akan adanya alam kubur, sedangkan siksa kubur sendiri dalam banyak riwayat rasul seringkali menyuruh untuk berdo’a dari adzab atau siksa kubur. Memang ditinjau dari segi akal agaknya kurang begitu rasional, akan tetapi dalil al-Qur’an dan Hadist menunjukkan indikator adanya alam kubur dan adzab didalam kubur.
C.    Catatan Penutup
Hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur hanya menghasilkan ilmu tuma’ninah, dan tidak menghasilkan ilmu dlaruriy yang menjadi syarat itsbat ‘aqidah. Kaum Mukmin yang mengikuti pandanngan dan pendapat di atas, tidak diperkenankan menjadikan hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur, al-haudl, dan lain sebagainya sebagai bagian dari ‘aqidah Islam. Hanya saja, hadits-hadits seperti ini wajib dijadikan sebagai ketetapan hati (ilmu tuma’ninah), dan seseorang tidak diperkenankan mengingkarinya. Pasalnya, hadits-hadits yang berbicara tentang ketetapan-ketetapan akherat diriwayatkan oleh perawi-perawi yang berkualitas ksahihanya, sehingga menghasilkan ketenangan jiwa dan ketentraman hati.







Daftar Bacaan:
                                    
Bustamin, M. Isa H. A. Salam. Metodologi Kritik Hadist. Jakarta Raja Grafindo Persada, 2004.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta:Proyek Pengadaan Ktab Suci Al-Qur’an Dep. Agama RI Pelita III, 1982.

Ismail, M. Syahudi. Metodologi Penelitian Hadist Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Khaeruman, Badri. Orientasi Hadist (Studi Kritis Atas Kajian Hadist Konteporer. Peng. Endang Soetarti, Bandung: Remaja Roesda Karya, 2004.

Majid Khon, Abdul. Ulumul Hadist. Ed. Achmad Zirzis, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008.

Suparta, Munzier. Ilmu Hadist. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Taufiqulloh, Afif Muhammad, Kitab Jinayah dalam Terj. Assbab Wurud al-Hadist Au Al Luma’ fi Asbab al-Hadist. Bandung: PUSTAKA. 1984.

Wahyudi, Ari. Thabaqat Para Rawi Hadits.  www.muslim.or.id, diakses tanggal 25 Nopember  2010.