Tuesday, December 4, 2012

REFORMASI PENDIDIKAN ISLAM AWAL ABAD 20 & 21


REFORMASI PENDIDIKAN ISLAM AWAL ABAD 20 & 21
Oleh: ARIFFUDIN


Kajian Masalah
Reformasi pendidikan Islam awal abad 20 yang terjadi diseluruh kawasan Islam, secara garis besar dibidang manajemen dan cita-cita pendidikan. Akan tetapi, diawal abad 21 Reformasi pendidikan Islam muncul dengan fenomena yang beragam, seperti Full day school, sekolah model, sekolah unggulan, serta berbgai bentuk sekolah alternative. Coba jelaskan reformasi pendidikan di awal abad 20 dan 21 dari aspek kelembagaan, organisasi pembelajaran, metode pembelajaran, kurikulum dan tujuan pendidikan.

Reformasi Pendidikan Islam Awal Abad 20
Munculnya para pembaru di dunia Islam pada abad ke 19 M sebgai respon positif atau onovatif atas invasi Nopoleon Bonaparte di Mesir, sebenarnya telah membawa  penyelesaian dalam banyak bidang kehidupan termasuk bidang pendidikan. Akan tetapi, niat baik tidak selalu diterima dengan baik, bukan saja dikalangan masyarakat awam, melainkan juga para ilmuanya. Bayard Dogde memberikan contoh bahwa para ulama’ konservatif Al-Azhar menolak sejumlah gagasan pembaharuan pendidikan yang ditawarkan dan ingin diterapkan tokoh semacam Rifa’ah Al-Tahtawi. Bahkan Muhammad Abduh dalam kapasitasnya sebagai anggota Majlis Tinggi Al-Azhar hanya mampu secara persial malakukan pembaharuan terhadap perguruan tinggi tersebut dengan memasukkan beberapa mata kuliah ke dalam kurikulum. Tetapi, pembaharuan ini dibatalkan oleh Salim Al-Basyairi, Rektor ke 25 Al-Azhar. (Mujamil Qomar, 2005:233)
Pada masa itu, Al-Azhar menjadi kiblat Perguruan Tinggi Islam se-dunia. Kemudian kita bisa membuat perbandingan; jika Al-Azhar saja menolak pembaharuan pendidikan apalagi perguruan-perguruan tinggi islam lainnya, dan lebih jauh lagi bagaimana dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam di bawahnya. Namun, perbandingan itu tidak bersifat merata, buktinya perguruan tinggi yang sejak awal lahir atas ide pembaharuan; seperti Univesitas Islam Aligarh yang didirikan dengan tujuan mengakses ilimu-ilmu Eropa konteporer dikalangan muslim.
Kemudian awal abad 20, di dunia muslim muncul kesadaran baru untuk melakukan reformasi pendidikan Islam secara komprehensip dan tidak terpisahkan dari usaha islamisasi ilmu[1] dalam rangka membangun peradapan Islam di masa depan.  Pada dekade itu, Indonesia terjadi masuknya gelombang sekularisasi besar-besaran sebagai imbas dari gelombang yang lebih besar dari skala global. (Mujamil Qomar, 2005:234). Ini berarti reformasi pendidikan Islam itu digagas oleh para pakar sebagai jawaban lansung terhadap arus sekularisasi yang sangat membahayakan bagiumat Islam. Secara subtantif, para pakar berusaha mengadakan reformasi pendidikan Islam untuk mengembalikan pendidikan Islam kedalam pengaruh Islam, seperti pada masa kejayaan peradaban islam. Akan tetapi, secara teknis pendidikan Islam dapat beradaptasi dengan perkembangan ilmu-ilmu konteporer.
Ada beberapa indikasi pendidikan Islam sebelum dimasuki ide-ide pembaharuan:
1.      Pendidikan bersifat nonklasikal. Pedidikan ini tidak dibatasi atau ditentukan lamanya belajar seseorang berdasarkan tahun.
2.      Mata pelajran adalah semata-mata pelajran agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Tidak ada diajarakan  mata pelajaran umum.
Dipandang dari masuknya ide-ide pembaharuan pemikiran Islam kedunia pendidikan, setidaknya ada tiga hal yang perlu direformasi:
1.      Metode yang tidak puas hanya dengan metode tradisional, tetapi diperlukan metode-metode baru yang meransang untuk berfikir.
2.      Isi atau mata pelajran sudah perlu diperbaharui, tidak hanya mengandalkan mata pelajaran agama semata-mata yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Sebab masyarakat Islam abad 20 sudah merasakan manfaat dan peranan ilmu pengetahuan.
3.      Manajemen, manajemen pendidikan adalah keterkaitan antara sistem lembaga pendidikan Islam dengan bidang-bidang lainya.
Bebera hal tersebut diatas, merupakan tuntutan terhadap kebutuhan dunia pendidikan Islam. Kemudian dari uraian terdahulu, dapat diuraikan indikasi terpenting dari pendidikan Islam pada masa reformasi, yakni:
1.      Dimasukkannya mata pelajaran umum.
2.      Penerapan sistem klasikan dengan segala penerapanya.
3.      Dikelola sistem administrasi dengan tetap berpegang kepada prinsip-prinsip manajemen pendidikan. (Haidar Putra Daulay, 2007: 57-59.)
Sedangkan ada bebrapa faktor yang menyebabkan reformasi pendidikan Islam di Indonesia, pada abad 20, yaitu:
1.      Sejak awal abad 20, telah banyak pemikiran untuk kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah yang dijadikan titik tolak untuk menilai kebiasaan agama dan kebudayaan yang ada.
2.      Perlawanan rasional terhadap penguasa kolonial Belanda
3.      Adanya usaha-usaha dari umat Islam untuk memperkuat organisasinya dibidang sosial ekonomi.
4.      Berasal dari pembaharuan pendidikan Islam. Dalam bidang ini cukup banyak orang dan organisasi Islam, tidak puas dengan metode tradisional dalam mempelajari Al-Qur’an dan Studi Islam (Haidar Putra Daulay, 2007: 43-44).
Berdasarkan uraian diatas, dapat di jelasakan bahwa reformasi pendidikan Islam muncul diawal abad 20 dengan upaya untuk memperbaharui Sitem (Manajemen) paradigma pendidikan Islam (Tujuan pendidikan Islam), serta materi (Haidar Putra Daulay, 2007: 53). Jika awal abad 20 kelembagaan bercirikhas madrasah dan pesantren, dengan manejemen dan organisasi yang dikelola berdasarkan prinsip-prinsip manajemen yang masih sederhana.  
Kemudian dalam aspek organisasi pembelajaran, kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan cara yang masih menekankan pada kajian kitab-kitab sebagai sumber belajar utama. Sedangkan ilmu pegetahuan umum hanya ditekankan seadanya dalam aspek pendidikan Islam. aspek sistem pendidikan. Serta memadukan antara sistem pesantren yang memiliki keunggulan sistem asrama dan pola penanaman nilai-nilai keagamaan serta pembentukan mental attitude yang kuat dengan sistem madrasah/sekolah yang memiliki keunggulan di bidang metodologi dan pengelolaan pembelajaran. Juga, sistem pembelajaran menyelenggarakan kegiatan pembelajaran dengan sistem klasikal. Kegiatan pembelajaran untuk semua materi pelajaran seluruhnya dilaksanakan secara klasikal.
Sedangkan pada aspek metode pembelajaran, metode tidak semata-mata metode wetonan, sorogan dan hafalan, tetapi lebih bervariasi  sesuai dengan tuntunan sistem klasikal (Haidar, 2007: 50). Juga, perkembangan metode pembelajaran yang digunakan adalah yang memungkinkan seorang santri atau peserta didik bisa belajar dengan lebih efektif dan efisien dengan melibatkan mereka secara aktif dalam proses pembelajaran. Metode pembelajaran yang bertumpu pada dialog, tanya-jawab, diskusi, demonstrasi, latihan, penugasan, dan yang sejenisnya menjadi penting dalam upaya menciptakan suasana belajar yang kondusif.
Selanjutnya aspek kurikulum tidak mendikotomikan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Kedua bidang keilmuan ini diintegrasikan dalam satu kesatuan bangunan epistimologi keilmuan yang utuh yang semuanya bernilai keagamaan. Kemudian kurikulum tidak dipisahkan antara bidang kegiatan intrakurikuler dengan yang ektrakurikuler, keduanya diintegrasikan dalam seluruh total kegiatan, sehingga keduanya memperoleh perhatian yang sama. Keduanya membentuk suatu lingkungan dengan berbagai kegiatan di dalamnya yang semuanya dimaksudkan untuk tujuan pendidikan. Secara umum kurikulum tidak lagi semata-mata berpegang pada materi  pelajaran agama yang bertumpu pada kitab-kitab kalsik. (Haidar, 2007: 50)
Akan tetapi, Kurikulum atau materi Pendidikan Islam, meteri pendidikan Islam " masih terlalu dominasi masalah-maslah yang bersifat normatif, ritual dan eskatologis meskipun sudah diamsukkan ilmu pengeahuan umum. Materi disampaikan dengan semangat ortodoksi kegamaan, suatu cara dimana peserta didik dipaksa tunduk pada suatu "meta narasi" yang ada, tanpa diberi peluang untuk melakukan telaah secara kritis. Pendidikan Islam tidak fungsional dalam kehidupan sehari-hari, kecuali hanya sedikit aktivitas verbal dan formal untuk menghabiskan materi atau kurikulum yang telah diprogramkan dengan batas waktu yang telah ditentukan (A.Malik Fajar, 1995 : 5).
Cita-cita pendiikan Islam awal abad 20, cenderung pada tujuan normatif, tujuan yang didasarkan pada norma-norma atau nilai-nilai ajaran Islam, permurnian ajaran islam dikarenakan di awal abad 20 banyak pemikiran yang kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah ((Haidar Putra Daulay, 2007: 43-44). Kemudian islamisasi ilmu-ilmu pengetahuan untuk membangun peradapan Islam di masa depan.
Kelembagaan pendidikan Islam awal abad 20 berada dalam ruang lingkup pesantren dan madrasah dengan manajemen administrasi yang masih sederhana. Dalam organisasi pebelajaran dari non klasikal ke organisasi pembelajaran klasikal, sedangkan metode pendidikan Islam yang digunakan dari metode-metode tradisional diganti dengan metode yang dikembangkan dalam untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif. Kurikulum pendidikan Islam dalam dekade itu,  masih terlalu dominasi masalah-maslah yang bersifat normatif, ritual dan eskatologis meskipun sudah diamsukkan ilmu pengeahuan umum. Adapun cita-cita pendidikan Islamnya adalah  cenderung pada tujuan normatif dan islamisasi ilmu-ilmu pengetahuan untuk membangun peradapan Islam di masa depan

Reformasi Pendidikan Islam Awal Abad 21
Abad 21, kelembagaan pendidikan islam mengalami perkembangan yang cukup signifikan diarahkan  dan dituntut untuk melakukan langkah-langkah ke arah perwujudan visi kependidikan Islam yang sekaligus populis, berkualitas dan beragam. Berdasarkan landasan paradigma manajemen yang didukung oleh langkah-langkah stratergis perwujudan visi lembaga kependidikan Islam. Kemudian lembaga pendidikan Islam perlu berkembag maju secara kontinyu, hubungan harmonis antar tenaga kependidikan perlu dicipyakan agar terjadi lingkungan dan administrasi atau ketatalaksanaan lembaga perlu dibina agar menjadikan lembaga yang mampu menumbuhkan kreatifitas, disiplin dan semangat belajar.
Lembaga pendidikan Islam yang ada, memang diakui bahwa penyesuaian lembaga-lembaga pendidikan akhir-akhir ini cukup mengemberikan, artinya lembaga-lembaga pendidikan memenuhi keinginan untuk menjadikan lembaga-lembaga tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu umum dan ilmu agama serta keterampilan. Sehungga lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memilih alternative yang beragam dari satu diantara dua fungsi, apakah mendisain model pendidikan umum Islami yang handal dan mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain, atau mengkhususkan pada disain pendidikan keagamaan yang berkualitas, mampu bersaing, dan mampu mempersiapkan mujtahid-mujtahid yang berkualitas.
Berubahan di abad 21, untuk menghadapi perkembangan zaman pendidikan Islam adalah sebuah disiplin ilmu yang pantas disejajarakan dengan ilmu pengetahuan. Juga, dengan sistem pembelajaran (aktif, kreatif, dan efektif) yang lebih berorientasi dengan kehidupan serta nilai-nilai ajaran Islam. Dengan metode pembelajaran dikembangkan dengan prinsip mendorong manusia untuk menggunakan akal pikir, dan mendorong manusia untuk mengaktualisasikan ilmu pengetahuan. Kemudian dapat disingkrinisasikan bahwa bentuk metode yang relevan dan efektif untuk pendidikan Islam adalah metode singkronik-analitik, metode empiris dan metode problem solving serta induktif.
Metode pendidikan Islam harus mampu membimbing, mengrahkan dan membina anak didik menjadi manusia yang matang atau dewasa dalam sikap kepribadiannya,sehingga tregambar dalam dirinya tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Berdasarkan hai ini, maka paradigma pembentukan dan penerapan metode pendidikan Islam dalam proses internalisasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang terpuji dengan pendekatan menyeluruh, integral dan sistematis.
Kurikulum pendidikan islam harus mempunyai visi dan misi yang mengarah kepada upaya pencapaian sosok yang hendak dilahirkan sesuai dengan nilai ajaran Islam. Karena itu karakter kulrikulum meliputi dan memadukan seluruh unsur kecakapan baik intelektual, emosional, maupun spiritual. Ini juga berarti bahwa kurikulum itu tidak hanya bersifat kognitif saja, tetapi memadukan seluruh ranah pengembangan diri peserta didik, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Tujuan pendidikan Islam, bukan hanya menjadi tempat pembekalan pengetahuan kepada anak bangsa, tapi juga lembaga penanaman nilai dan pembentuk sikap dan karakter. Anak-anak bangsa dikembangkan bakatnya, dilatih kemampuan dan keterampilannya. Sekolah tempat menumbuh kembangkan potensi akal, jasmani, dan rohani secara maksimal, seimbang, dan sesuai tuntutan zaman. Output keseluruhan proses pendidikan adalah menyiapkan peserta didik untuk bisa merealisasikan fungsi penciptaannya sebagai hamba Tuhan dan kemampuan mengemban amanah mengelola bumi untuk dihuni secara aman, nyaman, damai, dan sejahtera.
Pelaksanaan proses pendidikan harus efektif untuk menanamkan jiwa kebebasan, kemandirian, dan kewirausahaan. Dengan begitu anak-anak bangsa yang menjadi peserta didik bisa eksis dalam persaingan di masa datang berbekal keterampilan hidup (life skill) dan daya juang (adversity quotient) yang mumpuni. Kurikulum diarahkan untuk memberi pengalaman belajar yang seimbang yang meliputi aspek intektual (IQ), emosional (EQ), dan spiritual (SQ). Dan titik tekannya adalah membentuk karakter pembelajar agar anak bangsa yang menjadi peserta didik memiliki keinginan untuk belajar di sepanjang hayatnya.
Perbandingan visi pendidikan yang berkaitan dengan pendidikan Islam abad 21 menurut UNESCO adalah  Pertama sosialisasi, sekaligus memberi landasan bagi umat Islam, bahwa apa yang diamanatkan tidak betentangan dengan ajaran umat Islam. Kedua, memberikan penekanan tarhadap nilai-nilai Universal yang terkandung dalam ajaran Ialam yang selama ini kurang mendapatkan perhatian untuk diungkapkan. Ketiga, memberi keseimbangan kepada saudara-saudara kita yang memahami islam dengan cara ekstrim dan ekslusif. (Ariffudin Arif, 2008: 127). Adapun uraian empat dasar visi UNESCO yang berkaitan dengan pendidikan Islam adalah:
1.      Learning to think (belajar bagaimana bepikir)
2.      Learning to do (belajar hidup atau bagaimana berbuat/bekerja)
3.      Learning to be (belajar bagaimana tetap hidup atau sebagai dirinya)
4.      Learning to live together (belajar untuk hidup bersama)
Dari uraian diatas, keempat dasar visi pendidikan abad 21 menurut UNESCO pada dasarnya tidak bertentangan dengan agama islam, kesemuanya itu tentunya merupakan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam untuk senantiasa dikembangkan. Dengan demikian, pendidikan Islam dalam mengarungi abad 21 ini perlu mencakup empat visi dasar diatas dengan membangun pemikiran dan kerangka oprasional yang telah konkret, terarah dan konsepsional dalam penerapannya. (Ariffudin Arif, 2008: 128)
Mencermati persoalan yang dikemukakan di atas, maka perlu menyelesaikan persoalan internal yang dihadapi pendidikan Islam secara mendasar dan tuntas. Sebab pendidikan sekarang ini juga dihadapkan pada persoalan-persoalan yang cukup kompleks, yakni bagaimana pendidikan mampu mempersiapkan manusia yang berkualitas, bermoral tinggi dalam menghadapi perubahan masyarakat yang begitu cepat, sehingga produk pendidikan Islam tidak hanya melayani dunia modern, tetapi mempunyai pasar baru atau mampu bersaing secara kompettif dan proaktif dalam dunia masyarakat modern.
Selain itu, dalam menghadapi era milenium ketiga ini nampaknya pendidikan Islam harus menyiapkan sumber daya manusia yang lebih handal yang memiliki kompotensi untuk hidup bersama dalam era global. Menurut Djamaluddin Ancok (1998 : 5), "salah satu pergeseran paradigma adalah paradigma di dalam melihat apakah kondisi kehidupan di masa depan relatif stabil dan bisa diramalkan (predictability). Pada milenium kedua orang selalu berpikir bahwa segala sesuatu bersifat stabil dan bisa diprediksi. Tetapi, pada milenium ketiga semakin sulit untuk melihat adanya stabilitas tersebut. Apa yang terjadi di depan semakin sulit untuk diprediksi karena perubahan menjadi tidak terpolakan dan tidak lagi bersifat linier". Maka, pendidikan Islam sekarang ini disainnya tidak lagi bersifat linier tetapi harus didisan bersifat lateral dalam menghadapi perubahan zaman yang begitu cepat dan tidak terpolakan.
Untuk itu, lebih lanjut Djamaluddin Ancok yang mengutip Hartanto : 1997: Hartanto, Raka & Hendroyuwono, 1998, mengatakan bahwa pendidikan (termasuk pendidikan Islam) harus mempersiapkan empat kapital yang diperlukan untuk memasuki milenium ketiga, yakni kapital intelektual, kapital sosial, kapital lembut, dan kapital spritual. Tantangan ini tidak muda untuk penyelesaiannya, tidak seperti membalik telapak tangan. Untuk itu, pendidikan Islam sangat perlu mengadakan perubahan atau mendesain ulang konsep, kurikulum dan materi, fungsi dan tujuan lembaga-lembaga, proses, agar dapat meneuhi tuntatan perubahan yang semakin cepat.
Memahami reformasi pendidikan abad 21, aspek kelembagaan lebih terbuka dan dituntut untuk melakukan langkah-langkah ke arah perwujudan visi kependidikan Islam yang sekaligus populis, berkualitas dan beragam. Berdasarkan landasan paradigma manajemen yang didukung oleh langkah-langkah stratergis perwujudan visi lembaga kependidikan Islam. Dengan organisasi pembelajaran yang berorientasi atas nilai-nilai pendidikan Islam yang lebih modern dan mengikuti perkembangan zaman. Sedangkan metodologi yang digunakan mampu membimbing, mengrahkan dan membina anak didik menjadi manusia yang matang atau dewasa dalam sikap kepribadiannya, ehingga tergambar dalam dirinya tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Kemudian kurikulum yang diterapkan memadukan seluruh unsur kecakapan baik intelektual, emosional, maupun spiritual. Sedangkan tujuan pendidikan pada abad ini, adalah sosialisasi, sekaligus memberi landasan bagi umat Islam, bahwa apa yang diamanatkan tidak betentangan dengan ajaran umat Islam. Kedua, memberikan penekanan tarhadap nilai-nilai Universal yang terkandung dalam ajaran Ialam yang selama ini kurang mendapatkan perhatian untuk diungkapkan. Ketiga, memberi keseimbangan kepada saudara-saudara kita yang memahami islam dengan cara ekstrim dan ekslusif dengan uapaya Learning to think (belajar bagaimana bepikir), Learning to do (belajar hidup atau bagaimana berbuat/bekerja), Learning to be (belajar bagaimana tetap hidup atau sebagai dirinya) serta Learning to live together (belajar untuk hidup bersama).


Daftar Bacaan:

Arif, Arifuddin.Pengantar Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: GP Pres Group, 2008.

Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam Taradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Logos Wacana Ilmu. 2000.

Djamaluddin Ancok, Membangun Kompotensi Manusia dalam Milenium Ke Tiga, Psikologika, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, Nomor : 6 Tahun III, UII, 1998.

Qomar, Mujamil. Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga 2005.

Putra Daulay, Haidar. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia . Jakarta: Kencana,. 2007.




[1] Al-Attas mengataakan, Islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada idiolagi sekuler dan dari makna serta ungkapan-ungkapan manusia sekuler (dikutip Mujamil Qomar, 2005:116)

PEMBELAJARAN BERBASIS KONTEKSTUAL DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH


PEMBELAJARAN BERBASIS KONTEKSTUAL DALAM
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH
Oleh: Ariffudin

PENDAHULUAN
Pendidikan Agama Islam di sekolah atau di madrasah, dalam pelaksanaannya masih menunjukkan berbagai permasalahan. Seperti halnya proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah saat ini masih sebatas sebagai proses penyamPendidikan Agama Islaman “pengetahuan tentang Agama Islam.” Mayoritas metode pembelajaran agama Islam yang selama ini lebih ditekankan pada hafalan, akibatnya siswa kurang memahami kegunaan dan manfaat dari apa yang telah dipelajari dalam materi Pendidikan Agama Islam yang menyebabkan tidak adanya motivasi siswa untuk belajar materi Pendidikan Agama Islam.
Melihat kenyataan yang ada di lapangan, sebagian besar teknik dan suasana pengajaran di sekolah-sekolah yang digunakan para guru kita cenderung monoton dan membosankan. Sehingga menurunkan motivasi belajar siswa. Kondisi ini pada gilirannya berdampak pada prestasi belajar.  Untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut perlu diterapkan suatu cara alternatif mempelajari Pendidikan Agama Islam yang kondusif dengan suasana yang cenderung rekreatif sehingga memotivasi siswa untuk mengembangkan potensi kreativitasnya. Salah satu alternatif yang bisa digunakan adalah dengan penerapan pembelajaran kontekstual Dari pembahasan tulisan ini, penulis memberikan beberapa penjelasan sebagai bahan pertimbangan bagi beberapa pihak, antara lain bagi guru, pembelajaran kontekstual ketika diterapkan pada bidang studi Pendidikan Agama Islam

ABSTRAKSI
Proses pembelajaran kontekstual menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung dengan kondisi terdekat peserta didik. Orientasi proses belajar ini, tidak hanya bertujuan siswa menerima pelajaran, akan tetapi lebih menitikberatkan pada proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran. Dengan mengadakan pendekatan lansung dengan ligkungan sekitar dan fenomena atau peristiwa alam, dengan cara mengkontruksi pengetahuan sebelumnya dengan pengetahuan yang  baru.



PEMBELAJARAN BERBASIS KONTEKSTUAL DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH
Pendekatan Kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dalam konteks ini siswa perlu mengerti apa makna belajar, manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Dengan ini siswa akan menhadari bahwa apa yang mereka pelajari berguna sebagai hidupnya nanti. Sehingga, akan membuat mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal yang bermanfaat untuk hidupnya nanti dan siswa akan berusaha untuk meggapinya.
Pembelajaran kontekstual pada adasarnya bersumber pada pendekatan kontriktivisme, yang bermakna proses mengkontruksi pengetahuan baru secara bermakna melalui pengalaman nyata, melalui proses penemuan dan mntransformasi informasi kedalam situasi lain secara kontekstual.[1] Sedangkan pendekatan kontekstual sendiri berarti suatu proses pembelajaran holistik yang bertujuan untuk membelajarkan peserta didik dalam memahami bahan ajar secara bermakna yang dikaitkan dengan konteks kehidupan nyata, baik berkaitan dengan lingkungan pribadi, agama, sosial, ekonomi maupun kultural.[2] Sehingga peserta didik dapat memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan serta bentuk pemahaman yang dapat diaplikasikan kemudian ditransfer dari konteks permasalahan yang satu dengan permasalahan yang lainya.
Adapun komponen pembelajaran kontektual yang lainya yaitu; Inquiry (Menemukan), Questioning (Bertanya), Learning Comunity (Masyarakat Belajar), Modeling (Pemodelan), Reflection (Refleksi), Autentic Assesment (Penilaian yang sebenarnya).[3] Dengan semua komponen tersebut, pembelajran kontekstual dapat mencaPendidikan Agama Islam tujuan pembelajaran
Demikian pembelajaran Pendidikan Agama Islam berdasarkan pendekatan kontekstual mengasumsikan bahwa laboratorium Pendidikan Agama Islam adalah kehidupan itu sendiri atau peristiwa hidup dan kehidupan yang berada dalam alam semesta ini. Termasuk dalam arena keluarga, sosioal, politik, ekonami, budaya, IPTEK dan lingkungan sekitar.[4] Karena pada dasarnya Pendidikan Agama Islam merupakan upaya normatif untuk membantu seseorang atau peserta didik dalam mengembangkan pandangan hidup islami (bagaimana akan menalani hidup dan memanfaatkan hidup dan kehidupan sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai islam, sikap hidup islami yang memanifestasikan dalam keterampilan hidup sehari-hari.
Pelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah terdiri atas beberapa aspek dan pada dasarnya dari beberapa aspek tersebur saling berkaitan dan melengkapi. Akan tetapi dari setiap aspek tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda. Aspek-aspek Pendidikan Agama Islam tersebut perlu dikembangkan dengan pendekatan kontekstual dengan pemikiran sebagai berikut:
1.      Aspek Keimanan/Aqidah
Masalah keimanan banyak menyentuk aspek metafisika yang bersifat abstrak atau bahkan hal-hal yang bersifat suprarasional. Diantara cara untuk mengatasi kesulitan pembelajaran masalah Aqidah tersebut adalah dengan jalan mengemangkan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Melalui pendekatan ini, peserta didik diajak untuk mengamati fenomena-fenomena alam sekitar dan juga fenomena sosial, psokologi dan budaya. Serta seseorang yang mempunyai loyalitas dan dedikasi tinggi terhadap ajaran islam. Dari sini, akan terjadi proses internalisasi nilai-nilai agama dan menumbuhkan motivasi seseoarang dalam menjalankan dan menataati nilai-nilai agama.
2.      Aspek Al-Qur’an dan Hadist
Dalam pembelajaran Al-Qur’an dan Hadist ada beberapa makna yang bersifat tidsk pasti (relatif). Karena masih terbuka kemungkinan makna lain, sehingga membuka peluang untuk pengembangan pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan pendekatan kontektual. Misalnya kandungan ayat Al-qur’an dan Hadist yang bisa diaitkan dengan keghidupan sehari-hari.
3.      Aspek Fiqh
Penerapan pembelajaran fiqh lebih bersifat kontekstual, karena perkembangannya lebih dipengaruhi dengan situasi dan kondisi, sejalan dengan tuntutan zaman dan kemaslahatan. Tentunya hal ini tidak lepas dari kehidupan nyata dan kehidupan masyarakan saat ini.
4.      Aspek Akhlaq
Kesadaran melakukan sesuatu adalah kesadaran dimana manusia  akan mendapatkan akibatnya baik ataupun buruk. Agar kesadaran tersebut dapat dimiliki oleh peserta didik, maka  perlu dikembangkan pembelajaran akhlaq bebasis kontekstual. Terapanya dengan teknik peneladanan, pembiasaan dan pemotivasian.


5.      Aspek Sejarah Islam
Sejarah dalam filosofinya adalah tinjauan terhadap peristiwa-peristiwa historis secara filosofi untuk mengendalikan perjalanan histori tersebut untuk menetapkan sesuatu dari generasi ke generasi. Dapat ditegaskan pelajaran sejarah akan kering jika guru hanya menceritakan sejarah atau peristiwa-peristiwanya, sebaliknya pelaajran sejarah akan menarik jika guru bukan hanya menekankan pada peristiwa secara tekstual, tetapi perlu dikaitkan dengan konteksnya yang bisa ditarik pelajaran-pelajaran yang berharga bagi pembinaan peserta didik.
Disamping itu, secara umum kelebihan pendekatan atau pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat menagkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sihingga tidak akan mudah dilupakan.
Sedangkan kelemahanya guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa. Siswa dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Akan tetapi, peran guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.[5] Dan salain itu, pembelajaran kontekstual membutuhkan waktu dan proses yang cukup lama.[6] Sehingga terkadang guru sukar untuk mengimpelementasikan.
Keberhasilan penerapan pembelajaran kontekstual perlu melibatkan berbagai pihak. Dalam hal ini, supaya pihak sekolah dan masyarakat memiliki kesadaran akan pentingnya beberapa hal, yaitu:sumber belajar tidak hanya berasal dari buku dan guru, melainkan juga dari lingkungan sekitar baik di rumah maupun di masyarakat; strategi pembelajaran kontekstual memiliki banyak variasi sehingga memungkinkan guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang berbeda dengan variasi yang lain; pihak sekolah dan masyarakat perlu memberikan dukungan baik materiil maupun non-materiil untuk menunjang keberhasilan proses belajar siswa.


KESIMPULAN
Salah satu metode yang saat ini dianggap tepat dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah melalui pendekatan kontekstual. Pembelajaran secara kontekstual berhubungan dengan (1) fenomena kehidupan sosial masyarakat, bahasa, lingkungan hidup, harapan dan cita yang tumbuh, (2) fenomena dunia pengalaman dan pengetahuan murid, dan (3) kelas sebagai fenomena sosial. Kontekstualitas merupakan fenomena yang bersifat alamiah, tumbuh dan terus berkembang, serta beragam karena berkaitan dengan fenomena kehidupan sosial masyarakat. Karena karakter kontekstual sesuai dengan sifat pelajaran Pendidikan Agama Islam yang orientasi materinya berkaitan dengan masalah kehidupan, sosial, ekonomi, politok, budaya, dan IPTEK.

DAFTAR PUSTAKA

Hnafiah, Cucu Sahana.  Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung: Refika Aditama, 2009
Made, Wena. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer: Suatu Tinjauan Konseptual Operasional, Cet I,  Jakarta: Bumi Aksara, 2009.

Muhaimin. Rekonstruksi Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009.



[1] Hnafiah, Cucu Sahana, Konsep Strategi Pembelajaran (Bandung: Refika Aditama, 2009), 67.
[2] Ibid. , 73.
[3] Ibid. , 73-75.
[4] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), 263.
[5] Wena, Made, Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer: Suatu Tinjauan Konseptual Operasional, Cet I,  (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), 76.
[6] Ibid. , 77.

PERAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN KOMPETENSI GURU


PERAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH 
DALAM MENINGKATKAN KOMPETENSI GURU
Oleh : Ariffudin

A.    Latar Belakang
Pendidikan adalah usaha sadar yang dengan sengaja dirancangkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia ialah melalui proses pembelajaran di sekolah. Dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya pendidikan, guru merupakan komponen sumber daya manusia yang harus dibina dan dikembangkan terus-menerus. Pembentukan profesi guru dilaksanakan melalui program pendidikan pra-jabatan maupun program dalam jabatan. Tidak semua guru yang dididik di lembaga pendidikan terlatih dengan baik dan kualified. Potensi sumber daya guru itu perlu terus bertumbuh dan berkembang agar dapat melakukan fungsinya secara potensial. Selain itu pengaruh perubahan yang serba cepat mendorong guru-guru untuk terus-menerus belajar menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mobilitas masyarakat.
Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional, pemerintah khususnya melalui Depdiknas terus menerus berupaya melakukan berbagai perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan kita. Salah satu upaya yang sudah dan sedang dilakukan, yaitu berkaitan dengan faktor guru. Lahirnya Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pada dasarnya merupakan kebijakan pemerintah yang didalamnya memuat usaha pemerintah untuk menata dan memperbaiki mutu guru di Indonesia. Michael G. Fullan yang dikutip oleh Suyanto dan Djihad Hisyam mengemukakan bahwa “educational change depends on what teachers do and think…”. Pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan sangat bergantung pada “what teachers do and think “. atau dengan kata lain bergantung pada penguasaan kompetensi guru .
Jika kita amati lebih jauh tentang realita kompetensi guru saat ini agaknya masih beragam. Sudarwan Danim mengungkapkan bahwa salah satu ciri krisis pendidikan di Indonesia adalah guru belum mampu menunjukkan kinerja (work performance) yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja guru belum sepenuhnya ditopang oleh derajat penguasaan kompetensi yang memadai, oleh karena itu perlu adanya upaya yang komprehensif guna meningkatkan kompetensi guru . Tulisan ini akan memaparkan tentang apa itu kompetensi guru dan bagaimana upaya-upaya untuk meningkatkan kompetensi guru dilihat dari peran kepala sekolah. Dengan harapan kiranya tulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan refleksi bagi para guru maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan pendidikan.
B.     Rumusan Masalah
Pokok bahasan dalam makalah yang berjudul “Pembinaan terhadap semangat kerja guru” adalah sebagai berikut :
1.      Apakah hakekat kepemimpinan ?
2.      Apakah hakekat kompetensi guru ?
3.      Peranan kepala sekolah dalam meningkatkan kompetensi guru ?


















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hakikat Kepemimpinan Kepala Sekolah/ Madrasah
Pemimpin pada hakikatnya adalah seorang yang mempunyai kemampuan untuk memepengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan. Dalam kegiatannya bahwa pemimpin memiliki kekuasaan untuk mengerahkan dan mempengaruhi bawahannya sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakan. Pada tahap pemberian tugas pemimpin harus memberikan suara arahan dan bimbingan yang jelas, agar bawahan dalam melaksanakan tugasnya dapat dengan mudah dan hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Dengan demikian kepemimpinan mencakup distribusi kekuasaan yang tidak sama di antara pemimpin dan anggotanya. Pemimpin mempunyai wewenang untuk mengarahkan anggota dan juga dapat memberikan pengaruh, dengan kata lain para pemimpin tidak hanya dapat memerintah bawahan apa yang harus dilakukan, tetapi juga dapat mempengnaruhi bagaimana bawahan melaksanakan perintahnya. Sehingga terjalin suatu hubungan sosial yang saling berinteraksi antara pemimpin dengan bawahan, yang akhirnya tejadi suatu hubungan timbal balik. Oleh sebab itu bahwa pemimpin diharapakan memiliki kemampuan dalam menjalankan kepemimpinannya, karena apabila tidak memiliki kemampuan untuk memimpin, maka tujuan yang ingin dicapai tidak akan dapat tercapai secara maksimal.
Kepala sekolah sebagai pemimpin lembaga pendidikan harus mampu melakukan manajemen kepemimpinannya dengan baik. Kesuksesan kepemimpinan kepala sekolah dalam aktivitasnya dipengaruhi oleh factor-faktor yang dapat menunjang untuk berhasilnya suatu kepemimpinan, oleh sebab itu suatu tujuan akan tercapai apabila terjadinya keharmonisan dalam hubungan atau interaksi yang baik antara atasan dengan bawahan, di samping dipengaruhi oleh latar belakang yang dimiliki pemimpin, seperti motivasi diri untuk berprestasi, kedewasaan dan keleluasaan dalam hubungan social dengan sikap-sikap hubungan manusiawi.



Berdasarkan dari peranan kepemimpinan kepala sekolah tersebut, jelaslah bahwa dalam suatu kepemimpinan, Kepala sekolah harus memiliki peranan-peranan yang dimaksud, di samping itu juga bahwa kepala sekolah sebagai pemimpin memiliki tugas yang embannya, sebagaimana menurut M. Ngalim Purwanto, sebagai berikut
1.      Menyelami kebutuhan-kebutuhan kelompok dan keinginan kelompoknya, dalam artian kebutuhan sekolah dalam bentuk fisik bangunan maupun non fisik (kwalitas input dan output), serta kebutuhan Guru dan seluruh proses pembelajarannya, serta yang sangat penting adalah kebutuhan peserta didik dalam proses pembelajarannya yang di kaitkan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman.
2.      Dari keinginan itu dapat dipetiknya kehendak-kehendak yang realistis dan yang benar-benar dapat dicapai.
3.      Meyakinkan seluruh komponen sekolah mengenai apa-apa yang menjadi kehendak mereka, mana yang realistis dan mana yang sebenarnya merupakan khayalan.
Tugas kepemimpinan kepala sekolah tersebut akan berhasil dengan baik apabila seorang kepala sekolah memahami akan tugas yang harus dilaksanaknya. Oleh sebab itu kepala sekolah akan tampak dalam proses di mana dia mampu mengarahkan, membimbing, mempengaruhi dan atau menguasai pikiran-pikiran, perasaan-perasaan atau tingkah laku orang lain. Untuk keberhasilan dalam pencapaian tujuan sekolah diperlukan kepemimpinan kepala sekolah yang profesional, di mana ia memahami akan tugas dan kewajibannya sebagai seorang pemimpin, serta melaksanakan peranannya sebagai seorang pemimpin.
Di samping itu kepala sekolah harus menjalin hubungan kerjasama yang baik dengan bawahan, sehingga terciptanya suasana kerja yang membuat bawahan merasa aman, tentram, dan memiliki suatu kebebasan dalam mengembangkan gagasannya dalam rangka tercapai tujuan bersama yang telah ditetapkan.
B.     Hakekat Kompetensi Guru
Masyarakat mempercayai, mengakui dan menyerahkan kepada guru untuk mendidik tunas tunas muda dan membantu mengembangkan potensinya secara professional. Kepercayaan, keyakinan, dan penerimaan ini merupakan substansi dari pengakuan masyarakat terhadap profesi guru. Implikasi dari pengakuan tersebut mensyaratkan guru harus memiliki kompetensi dan kualitas yang memadai. Tidak hanya pada tataran normatif saja namun mampu mengembangkan kompetensi yang dimiliki, baik kompetensi personal, professional, maupun kemasyarakatan dalam selubung aktualisasi kebijakan pendidikan. Hal tersebut lantaran guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tataran institusional dan eksperiensial, sehingga upaya meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari aspek "guru" dan tenaga kependidikan lainnya yang menyangkut kualitas keprofesionalannya maupun kesejahteraan dalam satu manajemen pendidikan yang professional.
Apa yang dimaksud dengan kompetensi itu ? Louise Moqvist mengemukakan bahwa “competency has been defined in the light of actual circumstances relating to the individual and work. Sementara itu, dari Trainning Agency sebagaimana disampaikan Len Holmes menyebutkan bahwa : ” A competence is a description of something which a person who works in a given occupational area should be able to do. It is a description of an action, behaviour or outcome which a person should be able to demonstrate.”
Dari kedua pendapat di atas kita dapat menarik benang merah bahwa kompetensi pada dasarnya merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan (be able to do) seseorang dalam suatu pekerjaan, berupa kegiatan, perilaku dan hasil yang seyogyanya dapat ditampilkan atau ditunjukkan. Agar dapat melakukan (be able to do) sesuatu dalam pekerjaannya, tentu saja seseorang harus memiliki kemampuan (ability) dalam bentuk pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan keterampilan (skill) yang sesuai dengan bidang pekerjaannya. Mengacu pada pengertian kompetensi di atas, maka dalam hal ini kompetensi guru dapat dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan.
Lebih jauh, Raka Joni sebagaimana dikutip oleh Suyanto dan Djihad Hisyam mengemukakan tiga jenis kompetensi guru, yaitu :
1.      Kompetensi profesional; memiliki pengetahuan yang luas dari bidang studi yang diajarkannya, memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar di dalam proses belajar mengajar yang diselenggarakannya.
2.      Kompetensi kemasyarakatan; mampu berkomunikasi, baik dengan siswa, sesama guru, maupun masyarakat luas.
3.      Kompetensi personal; yaitu memiliki kepribadian yang mantap dan patut diteladani.
Dengan demikian, seorang guru akan mampu menjadi seorang pemimpin yang menjalankan peran : ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani
Sementara itu, dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu :
1.      Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
2.      Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan.
3.      Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.
4.      Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional .
Sebagai pembanding, dari National Board for Profesional Teaching Skill telah merumuskan standar kompetensi bagi guru di Amerika, yang menjadi dasar bagi guru untuk mendapatkan sertifikasi guru, dengan rumusan What Teachers Should Know and Be Able to Do, didalamnya terdiri dari lima proposisi utama, yaitu:
1.      Teachers are Committed to Students and Their Learning yang mencakup : (a) penghargaan guru terhadap perbedaan individual siswa, (b) pemahaman guru tentang perkembangan belajar siswa, (c) perlakuan guru terhadap seluruh siswa secara adil, dan (d) misi guru dalam memperluas cakrawala berfikir siswa
2.      Teachers Know the Subjects They Teach and How to Teach Those Subjects to Students mencakup : (a) apresiasi guru tentang pemahaman materi mata pelajaran untuk dikreasikan, disusun dan dihubungkan dengan mata pelajaran lain, (b) kemampuan guru untuk menyampaikan materi pelajaran (c) mengembangkan usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan berbagai cara (multiple path).
3.      Teachers are Responsible for Managing and Monitoring Student Learning mencakup: (a) penggunaan berbagai metode dalam pencapaian tujuan pembelajaran, (b) menyusun proses pembelajaran dalam berbagai setting kelompok (group setting), kemampuan untuk memberikan ganjaran (reward) atas keberhasilan siswa, (c) menilai kemajuan siswa secara teratur, dan (d) kesadaran akan tujuan utama pembelajaran.
4.      Teachers Think Systematically About Their Practice and Learn from Experience mencakup: (a) Guru secara terus menerus menguji diri untuk memilih keputusan-keputusan terbaik, (b) guru meminta saran dari pihak lain dan melakukan berbagai riset tentang pendidikan untuk meningkatkan praktek pembelajaran.
5.      Teachers are Members of Learning Communities mencakup : (a) guru memberikan kontribusi terhadap efektivitas sekolah melalui kolaborasi dengan kalangan profesional lainnya, (b) guru bekerja sama dengan tua orang siswa, (c) guru dapat menarik keuntungan dari berbagai sumber daya masyarakat .
Secara esensial, ketiga pendapat di atas tidak menunjukkan adanya perbedaan yang prinsipil. Letak perbedaannya hanya pada cara pengelompokkannya. Isi rincian kompetensi pedagodik yang disampaikan oleh Depdiknas, menurut Raka Joni sudah teramu dalam kompetensi profesional. Sementara dari NBPTS tidak mengenal adanya pengelompokan jenis kompetensi, tetapi langsung memaparkan tentang aspek-aspek kemampuan yang seyogyanya dikuasai guru.
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya. Guru harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran siswa. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang berkembang dan berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini.
Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah siswanya. Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari siswa, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus.
Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pembelajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitian guru tidak terjebak pada praktek pembelajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para siswanya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pembelajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung.

C. Peranan Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kompetensi Guru
Agar proses pendidikan dapat berjalan efektif dan efisien, guru dituntut memiliki kompetensi yang memadai, baik dari segi jenis maupun isinya. Namun, jika kita selami lebih dalam lagi tentang isi yang terkandung dari setiap jenis kompetensi, –sebagaimana disampaikan oleh para ahli maupun dalam perspektif kebijakan pemerintah-, kiranya untuk menjadi guru yang kompeten bukan sesuatu yang sederhana, untuk mewujudkan dan meningkatkan kompetensi guru diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan komprehensif.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui optimalisasi peran kepala sekolah. Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir mengemukakan bahwa “ kepala sekolah sebagai pengelola memiliki tugas mengembangkan kinerja personel, terutama meningkatkan kompetensi profesional guru.” Perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud dengan kompetensi profesional di sini, tidak hanya berkaitan dengan penguasaan materi semata, tetapi mencakup seluruh jenis dan isi kandungan kompetensi sebagaimana telah dipaparkan di atas .
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, terdapat tujuh peran utama kepala sekolah yaitu, sebagai : (1) educator (pendidik), (2) manajer; (3) administrator, (4) supervisor (penyelia), (5) leader (pemimpin), (6) pencipta iklim kerja, dan (7) wirausahawan. Merujuk kepada tujuh peran kepala sekolah sebagaimana disampaikan oleh Depdiknas di atas, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas hubungan antara peran kepala sekolah dengan peningkatan kompetensi guru .
1.      Kepala sekolah sebagai educator (pendidik)
Kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan dan guru merupakan pelaksana dan pengembang utama kurikulum di sekolah. Kepala sekolah yang menunjukkan komitmen tinggi dan fokus terhadap pengembangan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya tentu saja akan sangat memperhatikan tingkat kompetensi yang dimiliki gurunya, sekaligus juga akan senantiasa berusaha memfasilitasi dan mendorong agar para guru dapat secara terus menerus meningkatkan kompetensinya, sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan efektif dan efisien.
2.      Kepala sekolah sebagai manajer
Dalam mengelola tenaga kependidikan, salah satu tugas yang harus dilakukan kepala sekolah adalah melaksanakan kegiatan pemeliharaan dan pengembangan profesi para guru. Dalam hal ini, kepala sekolah seyogyanya dapat memfasiltasi dan memberikan kesempatan yang luas kepada para guru untuk dapat melaksanakan kegiatan pengembangan profesi melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan, baik yang dilaksanakan di sekolah, –seperti : MGMP/MGP tingkat sekolah, in house training, diskusi profesional dan sebagainya–, atau melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan di luar sekolah, seperti : kesempatan melanjutkan pendidikan atau mengikuti berbagai kegiatan pelatihan yang diselenggarakan pihak lain.
3.      Kepala sekolah sebagai administrator
Khususnya berkenaan dengan pengelolaan keuangan, bahwa untuk tercapainya peningkatan kompetensi guru tidak lepas dari faktor biaya. Seberapa besar sekolah dapat mengalokasikan anggaran peningkatan kompetensi guru tentunya akan mempengaruhi terhadap tingkat kompetensi para gurunya. Oleh karena itu kepala sekolah seyogyanya dapat mengalokasikan anggaran yang memadai bagi upaya peningkatan kompetensi guru.

4.      Kepala sekolah sebagai supervisor
Untuk mengetahui sejauh mana guru mampu melaksanakan pembelajaran, secara berkala kepala sekolah perlu melaksanakan kegiatan supervisi, yang dapat dilakukan melalui kegiatan kunjungan kelas untuk mengamati proses pembelajaran secara langsung, terutama dalam pemilihan dan penggunaan metode, media yang digunakan dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran (E. Mulyasa, 2004). Dari hasil supervisi ini, dapat diketahui kelemahan sekaligus keunggulan guru dalam melaksanakan pembelajaran, tingkat penguasaan kompetensi guru yang bersangkutan, selanjutnya diupayakan solusi, pembinaan dan tindak lanjut tertentu sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan yang ada sekaligus mempertahankan keunggulannya dalam melaksanakan pembelajaran.
Jones dkk. sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim mengemukakan bahwa “ menghadapi kurikulum yang berisi perubahan-perubahan yang cukup besar dalam tujuan, isi, metode dan evaluasi pengajarannya, sudah sewajarnya kalau para guru mengharapkan saran dan bimbingan dari kepala sekolah mereka”. Dari ungkapan ini, mengandung makna bahwa kepala sekolah harus betul-betul menguasai tentang kurikulum sekolah. Mustahil seorang kepala sekolah dapat memberikan saran dan bimbingan kepada guru, sementara dia sendiri tidak menguasainya dengan baik.
5.      Kepala sekolah sebagai leader (pemimpin)
Gaya kepemimpinan kepala sekolah seperti apakah yang dapat menumbuh-suburkan kreativitas sekaligus dapat mendorong terhadap peningkatan kompetensi guru ? Dalam teori kepemimpinan setidaknya kita mengenal dua gaya kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan kepemimpinan yang berorientasi pada manusia. Dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, seorang kepala sekolah dapat menerapkan kedua gaya kepemimpinan tersebut secara tepat dan fleksibel, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang ada. Kendati demikian menarik untuk dipertimbangkan dari hasil studi yang dilakukan Bambang Budi Wiyono terhadap 64 kepala sekolah dan 256 guru Sekolah Dasar di Bantul terungkap bahwa ethos kerja guru lebih tinggi ketika dipimpin oleh kepala sekolah dengan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada manusia . Kepemimpinan seseorang sangat berkaitan dengan kepribadian dan kepribadian kepala sekolah sebagai pemimpin akan tercermin dalam sifat-sifat sebagai barikut : (1) jujur, (2) percaya diri, (3) tanggung jawab, (4) berani mengambil resiko dan keputusan, (5) berjiwa besar, (6) emosi yang stabil, dan (7) teladan.
6.      Kepala sekolah sebagai pencipta iklim kerja
Budaya dan iklim kerja yang kondusif akan memungkinkan setiap guru lebih termotivasi untuk menunjukkan kinerjanya secara unggul, yang disertai usaha untuk meningkatkan kompetensinya. Oleh karena itu, dalam upaya menciptakan budaya dan iklim kerja yang kondusif, kepala sekolah hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut : (1) para guru akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang dilakukannya menarik dan menyenangkan, (2) tujuan kegiatan perlu disusun dengan dengan jelas dan diinformasikan kepada para guru sehingga mereka mengetahui tujuan dia bekerja, para guru juga dapat dilibatkan dalam penyusunan tujuan tersebut, (3) para guru harus selalu diberitahu tentang dari setiap pekerjaannya, (4) pemberian hadiah lebih baik dari hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan, (5) usahakan untuk memenuhi kebutuhan sosio-psiko-fisik guru, sehingga memperoleh kepuasan.
7.      Kepala sekolah sebagai wirausahawan
Dalam menerapkan prinsip-prinsip kewirausaan dihubungkan dengan peningkatan kompetensi guru, maka kepala sekolah seyogyanya dapat menciptakan pembaharuan, keunggulan komparatif, serta memanfaatkan berbagai peluang. Kepala sekolah dengan sikap kewirauhasaan yang kuat akan berani melakukan perubahan-perubahan yang inovatif di sekolahnya, termasuk perubahan dalam hal-hal yang berhubungan dengan proses pembelajaran siswa beserta kompetensi gurunya. Sejauh mana kepala sekolah dapat mewujudkan peran-peran di atas, secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi guru, yang pada gilirannya dapat membawa efek terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah.







BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pemimpin pada hakikatnya adalah seorang yang mempunyai kemampuan untuk memepengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan. Dalam kegiatannya bahwa pemimpin memiliki kekuasaan untuk mengerahkan dan mempengaruhi bawahannya sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakan. Oleh karena itu kepemimpinan kepala sekolah sangatlah berpengaruh terhadap peningkatan kompetensi guru. Dalam hubungan antara kepemimpinan kepala sekolah dan kompetensi guru dapat di simpulkan sebagai berikut :
1.      Kompetensi guru merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan.
2.      Kompetensi guru terdiri dari kompetensi pedagogik, kompetensi personal, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
3.      Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya.
4.      Kepala sekolah memiliki peranan yang strategis dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, baik sebagai educator (pendidik), manajer, administrator, supervisor, leader (pemimpin), pencipta iklim kerja maupun sebagai wirausahawan.
5.      Seberapa jauh kepala sekolah dapat mengoptimalkan segenap peran yang diembannya, secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi guru, dan pada gilirannya dapat membawa efek terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah.






Daftar Kepustakaan:

Budi Wiyono, Bambang. Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Semangat Kerja Guru dalam Melaksanakan Tugas Jabatan di Sekolah Dasar. (abstrak) Ilmu Pendidikan: Jurnal Filsafat,Teori, dan Praktik Kependidikan. Universitas Negeri Malang. 2000

Bush, Tony, Marianne Coleman. Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan. t.t: IRCiSoD, 2006

Depdiknas. Standar Kompetensi Kepala Sekolah TK,SD, SMP, SMA, SMK & SLB, Jakarta : BP. Cipta Karya. 2006.

E. Mulayasa. Kepala Sekolah sebagai Motivator, Bandung: Renika Jaya, 2003.
Fattah, Nanang. Manajemen Pendidikan. Bandung : Rosdakarya, 1996.
Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. http://www.depdiknas.go.id/ inlink..

Purwanto, M. Ngalim. Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Jakarta : Remaja Rosda Karya, 1987.

Sondang P. Siagian, Fungsi-Fungsi Manajerial, Jakarta : Bina Aksara, 1989.
Sudarwan Danim. Inovasi Pendidikan : Dalam Upaya Meningkatkan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung : Pustaka Setia. 2000.

Soemanto, Wasti, Hendyat Soetopo. Kepemimpinan Dalam Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. 1982.

Ukas, Maman.Konsep Pemimpin.Bandung : Ossa Promo, 1999.
Wahjosumidjo. Kepemmpinan Kepala Sekolah. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1999.