PEMBAHASAN
ILMU DALAM PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
A.
Pengertian ilmu menurut dunia akademis
Istilah
ilmu dalam pengertian klasik di pahami sebagai pengetahuan tentang sebab akibat
atau asal-usul. Gastonbachelard menyatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu produk
pemikiran manusia yang sekaligus menyesuaikan antara hukum-hukum pemikiran
dengan dunia luar. Ilmu pengetahuan sebagai proses artinya kegiatan
kemasyarakatan yang dilakukan demi penemuan dan pemahaman dunia alami
sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang kita kehendaki..Ilmu pengetahuan
sebagai masyarakat atinya dunia pergaulan yang tindak tanduknya, perilaku dan
sikap serta tutur katanya di atur oleh 4 ketentuan (imperative) yaitu
universalime, komunalisme, tanpa pamrih (disinterstedness), dan skeptisisme
yang teratur.
Dalam
konsep dunia akademis atau pendidikan, Ilmu itu berdiri dengan sendirinya,
terpisah dari seni dan agama. Karena ilmu, seni dan agama merupakan bagian atau cabang pengetahuan
(dibedakan antara ilmu dan pengatahuan). Ilmu atau science merupakan suatu perkataan yang cukup bermakna ganda, yaitu
mengandung lebih daripada satu arti. Olah karena itu, dalam memakai istilah
tersebut seseorang harus menegaskan atau sekurang-kurangnya menyadari arti mana
yang untuk menyebut segenap pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai suatu
kebulatan. Jadi dalam arti yang pertama ini ilmu seumumnya.
Terdapat bermacam-macam pengertian ilmu menurut
ilmuwan. Yang salah satunya yakni pengertian ilmu menurut El-Baz dan Norman
Campbell bahwa ilmu adalah ”suatu kumpulan pengetahuan yang berguna dan praktis
dan suatu metode untuk memperoleh pengetahuan”. Ilmu dalam bentuk inilah yang memainkan suatu bagian begitu besar dalam
penghancuran perang dan sebagaimana dituntut, harus memainkan suatu bagian sama
besarnya dalam pemulihan perdamaian. Ilmu dapat berbuat untuk kebaikan atau
untuk kejahatan. Pendapat Marx dan Hillix, secara tepat menegaskan bahwa ilmu
adalah ”rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai
motode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan
pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan,
atau keorangan untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman,
memberikan penjelasan, ataupun melakukan penerapan”.
Sedangkan
Ernan McMullin mengatakan bahwa ilmu adalah ”aktivitas manusia yakni perbuatan
melakukan sesuatu yang dilakukan oleh manusia”. Ilmu tidak hanya satu aktivitas
tunggal saja, melainkan suatu rangkaian aktivitas sehingga merupakan sebuah
proses. Rangkaian aktivitas itu bersifat rasional, kognitif, dan teologis. Dalam
prespektif ilmuwan barat untuk memperoleh ilmu ada tiga faham, yaitu :Empirisme
(cara memperoleh ilmu melalui pengalaman dan pengindraan), Rasionalisme (cara
memperoleh ilmu bersumber dari akal), Fenomenalisme (cara memperoleh ilmu
melalui pengalaman yang dihubungkan dengan akal) dan Intuisionisme (cara
memperoleh ilmu melalui instuisi sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi yang
meliputi sebagian saja yang diberikan oleh analisis)
Peradaban
Barat telah menjadikan ilmu sebagai problematis. Ilmu dalam Peradaban Barat
telah mengangkat keraguan dan dugaan ke tahap metodologi dan ilmiah.
Westernisasi ilmu telah menjadikan keraguan sebagai alat epistemologi yang sah
dalam keilmuan, menolak Wahyu dan kepercayaan agama dalam ruang lingkup
keilmuan dan menjadikan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan
sekular yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional sebagai basis
keilmuan. Akibatnya, peradaban Barat telah menghasilkan ilmu pengetahuan dan
nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus
berubah. Berdasarkan beberpa penjelasan tersebut diatas, Syed Muhammad Naquib
al-Attas menyimpulkan ilmu pengetahuan modern yang dibangun di atas visi
intelektual dan psikologis budaya dan peradaban Barat dijiwai oleh 5 faktor:
(1) akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia, (2) bersikap dualistik
terhadap realitas dan Kebenaran, (3) menegaskan aspek eksistensi yang
memproyeksikan pandangan hidup secular, (4) membela doktrin Humanisme, (5)
menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominant dalam fitrah dan
eksistensi kemanusiaan.
B.
Ilmu dalam perspektif islam
Dalam
perbincangan sehari-hari terdapat beberapa kata yang semakna yaitu pengetahuan,
ilmu, dan ilmu pengetahuan. Pengetahuan (knowledge) adalah kumpulan fakta-fakta
yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya mengenai suatu hal tertentu,
sedangkan ilmu (sains, science) dalam pengertian sehari-hari tidak bisa begitu
saja disamakan dengan kata ilmu dalam arti sesungguhnya yang dirujuk dari
konsep Al Qur’an. Dalam pengertian sehari-hari ilmu adalah pengetahuan yang
telah disistematisir, disusun teratur mengenai suatu bidang tertentu yang jelas
batas-batasnya mengenai sasaran, cara kerja, dan tujuannya.
Ilmu (sains) diperoleh dan disusun tidak cukup
hanya dari pencaman dan perenungan melainkan berkembang melalui pencerapan
indera dan penginderaan (sensation), pengumpulan data, perbandingan data,
penilaian jumlah berupa perhitungan, penimbangan, pengukuran, dan penakaran
meningkat dari data-data yang bersifat khusus menuju ke kesimpulan yang umum
(induksi) atau sebaliknya, dari data yang bersifat umum menuju yang bersifat
khusus (deduksi). Ilmu (sains) sepenuhnya bersifat empirik. Sesuatu yang tidak
bisa diindera, diukur, ditimbang atau dilihat tidak bisa menjadi obyek ilmu
(sains). Kumpulan dari ilmu (sains) disebut dengan pengetahuan.
Ilmu
menurut perspektif dan konsepsi Islam secara garis besar dibagi menjadi dua
yaitu Pertama ilmu Allah yang mencakup segala sesuatu, termasuk yang
dapat disaksikan oleh indera manusia maupun yang tidak bisa disaksikan oleh
indera (gaib) yang hanya bisa diketahui oleh manusia lewat wahyu. Kedua
adalah, ilmu manusia meliputi ilmu perolehan dan ilmu laduni. Ilmu perolehan
yang dapatkan lewat berbagai perenungan dan pembuktian, sedangkan ilmu laduni
adalah ilmu yang diberikan oleh Allah kepada orang-orang tertentu yang
dipilih-Nya. Dalam hal ini, hanya mereka yang bersih dan suci hatinya yang
berpeluang mendapatkan ilmu ini. Dan jika ia mendapatkan ilmu ini maka
terkuaklah sebagian besar rahasia alam dan kehidupan di hadapannya.
Sampai di
sini cukup jelas bahwa kata ilmu dalam Al Qur’an tidak bisa begitu saja
disamakan dengan kata ilmu dalam pengertian sehari-hari. Islam memandang bahwa
terdapat kesatuan penciptaan, kesatuan pengaturan, dan kesatuan mekanisme dalam
alam kehidupan. Salah satu tujuan ilmu adalah mengetahui hakekat realitas
termasuk segala mekanisme di dalamnya baik untuk kepentingan pragmatis maupun
untuk lebih jauh lagi untuk mengenal Sang Pencipta. Ilmu menurut konsepsi
Islam tidak melihat keterpisahan antara yang riil dan yang gaib, sebagai
konsekuensinya Islam melihat bahwa peristiwa atau sebuah mekanisme alam tidak
bisa dijelaskan hanya secara empirik sebagaimana dikemukakan oleh sains.
Dengan
demikian ilmu dalam pengertian sehari-hari yang tidak lebih sebatas sains,
merupakan reduksi dan tidak mungkin mampu mencapai hakekat realitas. Anehnya
sains (ilmu) yang hanya sebuah reduksi ini dipercaya mampu menjelaskan
segala-galanya. Inilah barangkali salah satu penyebab perkembangan sains tidak
menambah kedekatan kita dengan Sang Pencipta, bahkan sebaliknya telah
menimbulkan kerusakan kehidupan. Ilmu yang benar akan mampu meningkatkan
ketakwaan seseorang terhadap Tuhannya. Salah satu tujuan penciptaan manusia di
muka bumi adalah sebagai khalifah Allah (khalifatullah fil ardl).
Sedangkan, Epistimologi
ilmu dalam konsep Islam sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
epistemologi adalah bagaimana mengetahui pengetahuan. Islam menganjurkan bahkan
mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu. Epistimologi untuk mengkonteruk ilmu,
yaitu Epistomologi bayani (cara memperoleh ilmu melalui pendekatan batin dalam
teks Al-Qur’an dan Al-hadits), epistimologi irfani (cara memperoleh ilmu
melalui pendekatan pengalaman langsung atas realitas spiritual) dan
epistimologi burhani (cara memperoleh ilmu melalui pendekatan pemikiran atas
dasar rasio atau akal yang dilakukan dengan dalil-dalil logika).
Islam memandang ilmu bukan terbatas pada eksperimental, tetapi lebih dari itu ilmu dalam pandangan Islam mengacu kepada aspek sebagai berikut pertama, metafisika yang dibawa oleh wahyu yang mengungkap realitas yang Agung, menjawab pertanyaan abadi, yaitu dari mana, kemana dan bagimana. Dengan menjawab pertanyaan tersebut manusia akan mengetahui landasan berpijak dan memahami akan Tuhannya. Kedua, aspek humaniora dan studi studi yang berkaitannya yang meliputi pembahasan mengenai kehidupan manusia, hubungannya dengan dimensi ruang dan waktu, psikologi, sosiologi, ekonomi dan lain sebagainya. Ketiga aspek material, yang termasuk dalam aspek ini adalah alam raya, ilmu yang dibangun berdasarkan observasi, eksperimen, seperti dengan uji coba di laboratorium.
C.
Sumber dan klasifikasi ilmu dalam islam
Fundamen
dalam pemikiran Islam bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu, termasuk
pengetahuan yakni bersumber dari Allah. Sehingga tujuan pengetahuan itu tidak
lain adalah kesadaran tentang Allah. Al-Qur’an, wahyu Allah menyatakan dalam
sebuah cerita, bahwa awal penciptaan Adam, Allah mengajarkan kepadanya tentang
nama benda-benda. Adam sebenarnya merupakan simbol manusia, dan “nama
benda-benda” berarti unsur-unsur pengetahuan, baik yang materi ataupun
non-materi. Demikian juga wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad saw
mengandung perintah “Bacalah dengan nama Allah”. Perintah ini mewajibkan orang
untuk membaca, yakni pengetahuan harus dicari dan diperoleh demi Allah. Ini
berarti wawasan tentang Allah Yang Maha Suci merupakan fundamen hakiki bagi
pengetahuan.
Keyakinan
bahwa al-Qur’an, wahyu Allah sebagai sumber utama bagi pengetahuan lebih
komprehensif daripada lainnya. Jika sumber yang lain hanya mengakui
secara parsial, tidak demikian bagi al-Qur’an. Al-Qur’an mengakui sumber
rasional-deduktif, telah banyak disebutkannya. Seperti “afala ta’qilun”,
“afala tubsirun”, dan sebagainya. Al-Qur’an juga mengakui
empirisme-induktif, banyak disebutkannya. Seperti penciptaan unta, langit,
gunung dan bumi, penciptaan tumbuh-tumbuhan, perintah memperhatikan apa-apa yang ada
di langit dan bumi, dan sebagainya.
Pada massa
sekarang ini ada kecenderungan dualisme ilmu (sebagian menyebut dikotomi). Keduanya
adalah ilmu agama dan ilmu sekuler. Menurut Prof. Mulyadi Kartanegara, dikotomi ini merefleksikan dua warisan
epistomogi yang mempunyai sejarah yang berbeda. Ilmu agama diambil dari warisan
tradisional agama/timur (dalam hal ini Islam) dan ilmu sekuler diambil dari
tradisi ilmiah barat, yang tidak mau membicarakan hal-hal yang metafisik.
Beliau juga
menjelaskan bahwa dalam dunia Islampun ada dualisme sejenis, namun dualisme ini
tidak sampai merusak integrasi ontologi dan epistemologi. Dalam Islam dikotomi
ini hanya pada metodologi saja, yaitu mengenai bagaimana ilmu itu diperoleh, pertama
dengan intuisi, langsung atau ilmu laduni dan yang kedua adalah dengan
penalaran rasional dan ketiga adalah observasi. Dalam aras
ontologi, ilm aqli mempunyai kepercayaan kuat pada status ontologi baik benda
fisik dan nonfisik.
Salah satu
akibat dari dikotomi ilmu pada masa sekarang ini adalah klaim kebenaran
sepihak. Pendukung ilmu agama mengatakan bahwa sumber kebenaran hanya ada pada
wahyu Ilahi dalam bentuk kitab suci dan tradisi kenabian, mereka menolak
sumber-sumber non-sriptural. Indra dan nalar diragukan validitas dan
efektifitasnya. Dipihak lain, para pendukung ilmu sekuler menyandarkan
kebenaran hanya pada pengamatan indrawi saja. Nalar/rasio/akal sering
dicurigai. Setinggi-tingginya tingkat pencapaian nalar seseorang masih
dipandang sebagai spekulatif, sedang pengalaman intuisi dianggap sebagai
halusinasi saja. Sementara untuk para agamawan, intuisi (hati) merupakan sumber
kebenaran yang tinggi karena dengan intuisi dan kebersihan hati inilah para
nabi mendapatken kebenaran dari Tuhannya (wahyu).
Berkaiatan
dengan hal diatas, Prof Mulyadi menawarkan integrasi ilmu (meskipun istilah ini
sudah bukan istilah asing lagi). Konsep integrasi ilmu, dalam Islam
disandarkan pada prinsip tauhid. Kalimat
tauhid secara konvensional diartikan sebagai tiada tuhan selain Allah. Kalimat
ini adalah dasar dari keislaman seseorang. Bagi para filosof Muslim, kaimat tauhid
ini mengindikasikan bahwa Allah merupakan dzat yang simple (basith), tidak
boleh tersusun oleh dari apapun kecuali oleh esensi dzat-Nya sendiri. Allah tidak mempunyai genus dan spesies,
sehingga pada diriNya esensi dan eksistensi menyatu, tapi bukan satu. Jika kita
katakan Mobil itu ada satu atau di garasi ada mobil satu maka yang kita lihat
adalah sebuah mobil yang terdiri dari roda, kemudi, body, mesin dan lain
sebagainya. Namun Allah tidak terdiri dari berbagai spesies seperti
laiknya mobil. Jika contoh mobil tadi kita gantikan dengan manusia, disebut
manusia karena mempunyai berbagai organ untuk menjadi sempurna. Namun Allah
Maha Sempurna dengan tidak terdiri dari berbagai dzat. Allah ada dengan dzat
Nya sendiri.
Salah satu dari tawaran beliau adalah integrasi
klasifikasi ilmu (dua lainnya adalah Integrasi Metodologi dan Integrasi
Ontologi serta integrasi ilmu Agama dan rasional). Hal inilah yang menarik bagi
para pustakawan, khususnya pustakawan Muslim dengan koleksi khazanah keislaman.
Integrasi klasifikasi ilmu ini diperlukan, karena akan berpadanan dengan
struktur ontologis obyek ilmunya. Al Farabi, membagi klasifikasi ilmu menjadi
tiga.
a.
Metafisika
b.
Matematika
c.
dan Ilmu Alam, ketiganya mempunyai derivasi
masing-masing.
Dalam
klasifikasi ini, belum terlihat jelas integrasi antara ilmu agama dan rasional.
Baru pada klasifikasi ilmu oleh Ibn Khaldunlah (wafat 1406 M) integrasi ini terlihat jelas. Ibn Khaldun membagi
ilmu pada dua bagian besar. Ilmu agama (naqli/transmitted) dan kedua adalah
rasional (aqli).Ilmu naqli menurut Ibn Khaldun terdiri dari:
- tafsir
quran dan hadis
- fiqih
- tafsir
ayat mutasyabihat
- kalam
- tasawuf
- tabir
mimpi
lmu pada klasifikasi naqli
ini, bersifat praktis bukan teoritis, yaitu untuk menjamin penerapan
hukum-hukum. Ilmu rasional/aqli terbagi menjadi beberapa bagian
logika
a. burhani (demonstrasi)
b. jadali (dialektika)
c. khitabah (retorika)
d. syir (puisi)
e. safsathah (sofistry)
f.
ilmu
fisika
g. matematika
h. metafisika
Integrasi
ilmu dalam klasifikasi Ibn Khaldun ini, tidak dijelaskan lebih mendetail oleh
Prof. Mulyadi. Sehingga bisa jadi dengan klasifikasi diatas (tanpa penjelasan
mendetail) justru orang akan mengira bukan klasifikasi yang terintegrasi,
melainkan justru dikotomi ilmu (pendidikan)
Sedangkan dalam pemikiran Al-Ghazali, ilmu secara umum dibagi menjadi 3 bagian. Pertama, ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak. Kedua, ilmu yang terpuji baik sedikit maupun banyak. Ketiga, ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu. Juga Al Kindi (807-973M), (filosof Islam pertama yang menerjemahkan karya Aristoteles ke bahasa Arab), seorang pustakawan di bayt Al Hikmah, adalah salah satu orang yang menciptakan klasifikasi ilmu dalam Islam. Klasifikasi ilmu merupakan salah satu titik tekan aktifitas berfikir pustakawan. Bagi mereka, epistemologi merupakan bagian/paruh dari aktivitas pustakawan. Tatanan koleksi dirak, pengorganisasian informasi, menunjukkan ideologi para pengelolanya. Sehingga pengorganisasian informasi dan ilmu pengetahuan merupakan aktivitas ideologis.
D. Pengembangan ilmu dalam pendidikan Islam
Peran Islam dalam perkembangan iptek pada dasarnya ada
2 (dua). Pertama, menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma
ilmu pengetahuan. Paradigma inilah yang seharusnya dimiliki umat Islam, bukan
paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Paradigma Islam ini menyatakan
bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran (qa?idah fikriyah) bagi
seluruh bangunan ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti menjadi Aqidah Islam sebagai
sumber segala macam ilmu pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala
ilmu pengetahuan. Maka ilmu pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat
diterima dan diamalkan, sedang yang bertentangan dengannya, wajib ditolak dan
tidak boleh diamalkan. Kedua, menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai
standar bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari. Standar atau
kriteria inilah yang seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan standar
manfaat (pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang. Standar
syariah ini mengatur, bahwa boleh tidaknya pemanfaatan iptek, didasarkan pada
ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam).
Umat Islam
boleh memanfaatkan iptek, jika telah dihalalkan oleh Syariah Islam. Sebaliknya
jika suatu aspek iptek telah diharamkan oleh Syariah, maka tidak boleh umat Islam
memanfaatkannya, walau pun ia menghasilkan manfaat sesaat untuk memenuhi
kebutuhan manusia.
Paradigma
Hubungan Agama-Iptek Untuk memperjelas, akan disebutkan dulu beberapa
pengertian dasar. Ilmu pengetahuan (sains) adalah pengetahuan tentang
gejala alam yang diperoleh melalui proses yang disebut metode ilmiah (scientific
method) (Jujun S. Suriasumantri, 1992). Sedang teknologi adalah pengetahuan dan
ketrampilan yang merupakan penerapan ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia
sehari-hari (Jujun S. Suriasumantri,1986). Perkembangan iptek, adalah hasil
dari segala langkah dan pemikiran untuk memperluas, memperdalam, dan
mengembangkan iptek (Agus, 1999).
Bagaimana hubungan agama dan iptek? Secara garis
besar, berdasarkan tinjauan ideologi yang mendasari hubungan keduanya, terdapat
3 (tiga) jenis paradigma (Lihat Yahya Farghal, 1990:99-119) Pertama,
paradagima sekuler, yaitu paradigma yang memandang agama dan iptek adalah
terpisah satu sama lain. Kedua, paradigma sosialis, yaitu paradigma dari
ideologi sosialisme yang menafikan eksistensi agama sama sekali. Agama
itu tidak ada, dus, tidak ada hubungan dan kaitan apa pun dengan iptek. Iptek bisa
berjalan secara independen dan lepas secara total dari agama. Ketiga,
paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar dan
pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan. Paradigma
ini memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya berdasarkan
Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu.
Sebagai dasar Iptek Inilah peran pertama yang dimainkan
Islam dalam iptek, yaitu aqidah Islam harus dijadikan basis segala konsep dan
aplikasi iptek. Inilah paradigma Islam sebagaimana yang telah dibawa oleh
Rasulullah SAW. Paradigma Islam inilah
yang seharusnya diadopsi oleh kaum muslimin saat ini. Bukan paradigma sekuler
seperti yang ada sekarang.
Sehingga dapat dipahami, bahwa peran Pendidikan Islam dalam
perkembangan iptek setidaknya ada 2 (dua). Pertama, menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma
pemikiran dan ilmu pengetahuan. Jadi, paradigma Islam, dan bukannya paradigma
sekuler, yang seharusnya diambil oleh umat Islam dalam membangun struktur ilmu
pengetahuan. Kedua, menjadikan syariah Islam sebagai standar penggunaan
iptek. Jadi, syariah Islam-lah, bukannya standar manfaat (utilitarianisme),
yang seharusnya dijadikan tolok ukur umat Islam dalam mengaplikasikan iptek.Jika
dua peran ini dapat dimainkan oleh umat Islam dengan baik, akan ada berbagai
berkah dari Allah kepada umat Islam dan juga seluruh umat manusia.
Dalam
kaitannya dengan pengembangan ilmu, pendidikan Islam harus bisa membentuk
manusia yang berpribadi mulia, yang tidak hanya tahu dan bisa berperan sesuai
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga harus menghiasinya dengan
moral yang tinggi. Persoalan manusia menjadi baik adalah masalah nilai.
Kebaikan ini tidak hanya berkenaan dengan fakta dan kebenaran ilmiah-rasional,
akan tetapi juga menyangkut penghayatan dan pembinaan yang lebih bersifat
afektif.
Kebaikan tidak sekedar bersifat kognitif. Titik tolak atau motivasi mencari ilmu dan
tujuan akhir dari proses pendidikan harus karena Allah. Hal yang sama bahwa
untuk penjelajahan dalam mencari ilmu harus dimulai dengan bismi rabbik
(diisi dengan nilai-nilai ketuhanan). Ilmu yang dianggap bebas nilai harus diisi
dengan nilai-nilai rabbani. Karena itu, pendidikan Islam dituntut
untuk bisa mencetak manusia yang memiliki wawasan rasional-etis dan wawasan
etis–religius. Artinya, ilmu yang diperoleh peserta didik dari lembaga
pendidikan Islam harus mencerminkan nilai–nilai rasional (ilmiah) yang
dibarengi dengan kebaikan moral yang didasarkan pada nilai-nilai keagamaan
(Islam). Sehingga apabila salah satu dari tiga komponen (rasional, etik
dan religi) itu masih belum dicapai secara simultan, maka sistem pendidikan
yang dijalankan dapatlah dinyatakan belum berhasil. Agar tujuan ilmu yang
dirumuskan dapat tercapai, perlu memiliki metodologi ilmiah yang jelas.
Metode
ilmiah ini dimaksudkan sebagai prosedur dan cara yang dipergunakan para ilmuwan
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dengan cara menyusun, mengulang kembali
dan menguji kebenarannya. Sebab, teori kebenaran yang bisa mendasari
semua pengetahuan islami, menurut Islamil al-Faruqi adalah teori kebenaran
kesatuan yang terdiri atas tiga prinsip uatama; Pertama, ilmu
itu harus berdasarkan pada wahyu dan tidak boleh bertentangan pada
realitas. Kedua, tidak boleh ada kontroversi dan perbedaan
antara nalar dan wahyu. Dan ketiga, pengamatan
dan penelitian terhadap alam semesta tidak mengenal akhir.
Jika hal
ini sudah dilakukan, maka kebenaran ilmu pengetahuan yang dihasilkan bersifat
integral dan tidak mengenal kontroversi di antara unsur-unsur yang ada. Selain
itu, kebenaran yang dihasilkan juga mengandung unsur teologis karena Allah
mencipta manusia dan menurunkan rasul dengan tujuan untuk mengoptimalisasikan
manfaat alam semesta yang bernilai pengabdian menuju ridlanya.
RUJUKAN :
Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000.
http://drmiftahulhudauin.multiply.com/journal/item/10
http://kendariekspres.com/index.php?option=com_content&task=view&id=852&Itemid=32
http://purwoko.staff.ugm.ac.id/web/index.php/2007/10/29/integrasi-klasifikasi-ilmu-2/
http://uinsuka.info/ejurnal/index.php?option=com_content&task=view&id=100&Itemid=52
http://www.cybermq.com/pustaka/detail/opini/460/ilmu-dalam-klasifikasi-al-ghazali
http://www.rudy.isgreat.org/index.php?option=com_content&view=article&id=4:prince-albert-hitched&catid=3:newsflash
http://yudha-19.blogspot.com/2009/12/perkembangan-pengertian-dan-klasifikasi.html
No comments:
Post a Comment