LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM (MADRASAH)
A. Pendahuluan
Madrasah dalam bahasa Arab berarti “tempat atau wahana
untuk mengenyam proses pembelajaran”[1]. Dalam
bahasa Indonesia madrasah disebut dengan sekolah yang berarti “bangunan atau
lembaga untuk belajar dan memberi pengajaran”.[2]. Dari
pengertian di atas maka jelaslah bahwa madrasah adalah wadah atau tempat
belajar ilmu-imu keislaman dan ilmu pengetahuan keahlian lainnya yang
berkembang pada zamannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah
madrasah bersumber dari Islam itu sendiri.
Sejak Nabi Muhammad, menyampaikan dakwahnya secara
sembunyi-sembunyi. Ada kalanya beliau menyampaikan dakwah di perjalanan, tapi
kerap kali juga dikediamannya. Nabi Saw. juga menggunakan Darul Arqam, menurut
Muhammad Raf'at Sa'id, betul-betul sudah terorganisir dengan rapi, sesuai
dengan target yang hendak dicapai terhadap peserta didik. Jadi bukan hanya
sekadar pemahaman, hafalan, dan pelaksanaan, tetapi lebih dari itu untuk
melahirkan kader-kader pendidik.[3]
Mencermati proses belajar-mengajar yang berlangsung di
Darul Arqam, yang menurut Said sudah berlangsung secara sistematis, dan telah
menggariskan tujuannya dengan jelas, yaitu mendidik kader, maka kiranya tidak
berlebihan jika Said berpendapat bahwa Darul Arqam itulah yang merupakan
"lembaga pendidikan Islam" pertama yang diselenggarakan di kota
Mekkah.[4]
Tetapi tentu saja Darul Arqam tidak bisa dikatakan sebagai lembaga pendidikan
Islam dalam arti yang sebenarnya, sebab yang disebut lembaga tentunya
keberadaannya telah mapan dan mantap di tengah-tengah masyarakat.
Kemudian masa sahabat dan tabi’in, kegiatan pengajaran
tidak dilakukan di rumah saja, akan tetapi masjid adalah salah satu tempat
untuk pengajaran. Sejalan dengan meningkatnya jumlah pelajaran dan bidang ilmu
pengetahuan yang diajarkan, maka dibangunlah ruangan-ruangan khusus untuk
kegiatan khalaqah atau pengajian tersebut di sekitar masjid. Di
samping dibangun pula asrama khusus untuk guru dan pelajar, sebagai tempat
tinggal dan tempat kegiatan belajar mengajar setiap hari secara teratur, yang
disebut dengan zawiyah atau madrasah yang pada mulanya hanya dibangun
di sekitar masjid, tetapi pada perkembangan selanjutnya banyak dibangun secara
sendiri.
Pada hakikatnya timbulnya madrasah-madrasah di dunia Islam
merupakan usaha pengembangan dan penyempurnaan kegiatan proses belajar mengajar
dalam upaya untuk menampung pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
jumlah pelajar yang semakin meningkat dan bertambah setiap tahun ajaran.
B. Lembaga
Pendidikan Islam
Lembaga pendidikan Islam yang bersifat semi-formal atau
hampir mendekati ciri-ciri sebuah lembaga formal, karena memiliki metodologi
pengajaran dan jadwal yang tetap, baru tumbuh seiring dengan perkembangan
dakwah islam dan jumlah kaum Muslimin yang semakin banyak, kebutuhan untuk
belajar membaca dan menulis muncul sejalan dengan kebutuhan kaum Muslim untuk
memahami dan mendalami ayat-ayat al-Qur'an. Maka pada fase berikutnya muncullah
apa yang kemudian dikenal sebagai kuttab, sebuah lembaga pengajaran
al-Qur'an untuk tingkat dasar. Di samping itu, rumah terutama rumah orang alim
juga digunakan sebagai tempat belajar. Kemudian masjid mulai didirikan, umat
Islam tidak menyia-nyiakannya begitu saja. Masjid juga digunakan untuk proses
belajar mengajar. Ruangan mesjid pun segera dimanfaatkan sebagai tempat
berlangsungnya halaqah-halaqah al-dras. Dalam perjalanan sejarah Islam
yang panjang itu, para peneliti sejarah pendidikan Islam mencatat nama-nama
lembaga pendidikan yang pernah muncl, di antaranya adalah seperti Dar al-Hikmah,
al-Khanat, al-Bimaristan, ar-Ribath, dan lain-lain
Secara sepintas, lembaga-lembaga pendidikan yang pernah
muncul mendahului berdirinya Madrasah dalam sejarah Islam adalah:
1. Masjid
Masjid Nabawi
merupakan tonggak sejarah amat penting bagi umat Islam. Di Masjid Nabawi itulah
Nabi Saw. melaksanakan seluruh misi beliau dari mulai mengajar, latihan
militer, diplomasi, musyawarah, dan seterusnya.[5]
Sejalan dengan penyebaran agama Islam ke seluruh negeri Arab, maka pembangunan
masjid pun menyebar ke berbagai pelosok negeri tersebut. Disamping fungsi
utamanya sebagai tempat beribadah, kegiatan belajar-mengajar yang begitu
menonjol di dalam masjid merupakan akibat logis dari banyaknya para penuntut
ilmu atau pelajar yang haus pengetahuan. Asma Hasan Fahmi membagi para pelajar
itu ke dalam dua kategori.[6]
Pertama, murid-murid yang terdaftar
di situ untuk belajar. Mereka ini senantiasa belajar di sana sampai mereka
menamatkan pelajaran dan memperoleh ijazah dari guru. Mereka belajar di sana
sepanjang hari untuk beberapa tahun. Kedua,
pelajar-pelajar pendengar yang tidak terdaftar (mustami').
2. Kuttab
Kuttab secara harfiah berasal dari kata dasar
kataba yang berarti menulis. Tapi secara istilah kuttab berarti tempat
untuk belajar menulis dan membaca pada tingkat dasar. Pendidikan jenis kuttab
ini pada mulanya diadakan di rumah-rumah guru. Setelah Nabi Saw. dan para
sahabat membangun masjid, barulah ada kuttab yang didirikan disamping
masjid. Selain itu ada juga kuttab yang didirikan terpisah dari masjid.
Masa belajar di kuttab tidak ditentukan, dan sistem pengajaran di kuttab
ketika itu tidak berkelas.
3. Rumah Ulama
Di masa awal
perkembangan agama Islam, rumah orang alim telah digunakan untuk belajar agama.
Kedengarannya memang agak musykil untuk memasukkan atau menganggap rumah
sebagai lembaga pendidikan. Tetapi dalam banyak hal, rumah justru menjadi
lembaga pendidikan alternatif ketika di lembaga lain proses pendidikan tidak
bisa dilaksanakan karena satu dan lain hal. Alasan keamanan seperti yang
terjadi di masa Nabi dan para sahabat, sehingga mereka menggunakan rumah untuk
sarana pendidikan.
4. Halaqah al-dars
Halaqah al-dars (biasa disebut halaqah saja) atau "lingkaran belajar", termasuk lembaga pendidikan Islam yang cukup dikenal sebelum lahirnya madrasah. Sebelum kemunculan Madrasah, kegiatan Halaqah al-dars biasanya berlangsung di masjid-masjid atau rumah-rumah. Dilihat dari materi pengajarannya, halaqah tidak sama dengan kuttab. Kalau kuttab dapat dikategorikan sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar, maka halaqah dapat disebut sebagai lembaga pendidikan tingkat lanjutan.
C.
Lahir dan Berkembangnya Lembaga Pendidikan Islam (Madrasah)
Madrasah mulai
didirikan dan berkembang pada abad ke 5 H atau abad ke-10 atau ke-11 M. pada
masa itu ajaran agama Islam telah berkembang secara luas dalam berbagai macam
bidang ilmu pengetahuan, dengan berbagai macam mazhab atau pemikirannya.
Pembagian bidang ilmu pengetahuan tersebut bukan saja meliputi ilmu-ilmu yang
berhubungan dengan al-Qur’an dan hadis, seperti ilmu-ilmu al-Qur’an, hadits,
fiqh, ilmu kalam, maupun ilmu tasawwuf tetapi juga bidang-bidang filsafat,
astronomi, kedokteran, matematika dan berbagai bidang ilmu-ilmu alam dan
kemasyarakatan.[7]
Aliran-aliran
yang timbul akibat dari perkembangan tersebut saling berebutan pengaruh di
kalangan umat Islam, dan berusaha mengembangkan aliran dan mazhabnya
masing-masing. Maka terbentuklah madrasah-madrasah dalam pengertian kelompok
pikiran, mazhab atau aliran. Itulah sebabnya sebahagian besar madrasah
didirikan pada masa itu dihubungkan dengan nama-nama mazhab yang masyhur pada
masanya, misalnya madrasah Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah atau Hanbaliyah.[8]
Berdasarkan
dengan keterangan di atas, jelaslah bahwa penggunaan istilah madrasah, sebagai
lembaga pendidikan Islam maupun sebagai aliran atau mazhab bukanlah sejak awal
perkembangan Islam, tetapi muncul setelah Islam berkembang luas dan telah
menerima pengaruh dari luar sehingga terjadilah perkembangan berbagai macam
bidang ilmu pengetahuan dengan berbagai macam aliran dan mazhabnya.
Pada awal perkembangan Islam, terdapat dua jenis lembaga pendidikan dan pengajaran, yaitu kuttab yang mengajarkan cara menulis dan membaca al-Qur’an, serta dasar-dasar pokok ajaran Islam kepada anak-anak yang merupakan pendidikan tingkat dasar. Sedangkan masjid dijadikan sebagai tingkat pendidikan lanjutan pada masa itu yang hanya diikuti oleh orang-orang dewasa. Dari masjid-masjid ini, lahirlah ulama-ulama besar yang ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan Islam, dan dari sini pulalah timbulnya aliran-aliran atau mazhab-mazhab dalam berbagai ilmu pengetahuan, yang waktu itu dikenal dengan istilah madrasah. Kegiatan para ulama dalam mengembangkan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat Islam maju dengan pesatnya, bahkan dari satu periode ke periode berikutnya semakin meningkat.
Untuk menampung
kegiatan khalaqah yang semakin banyak, sejalan dengan meningkatnya jumlah
pelajaran dan bidang ilmu pengetahuan yang diajarkan, maka dibangunlah
ruangan-ruangan khusus untuk kegiatan khalaqah atau pengajian tersebut
di sekitar masjid. Di samping dibangun pula asrama khusus untuk guru dan
pelajar, sebagai tempat tinggal dan tempat kegiatan belajar mengajar setiap
hari secara teratur, yang disebut dengan zawiyah atau madrasah yang
pada mulanya hanya dibangun di sekitar masjid, tetapi pada perkembangan
selanjutnya banyak dibangun secara sendiri.
Pada hakikatnya
timbulnya madrasah-madrasah di dunia Islam merupakan usaha pengembangan dan
penyempurnaan kegiatan proses belajar mengajar dalam upaya untuk menampung
pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan jumlah pelajar yang semakin
meningkat dan bertambah setiap tahun ajaran.
Dilihat dari
perkembangan lembaga-lembaga pendidikan dalam Islam, sebagaimana telah
dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa Madrasah adalah hasil evolusi
dari masjid sebagai lembaga pendidikan. Sebelum berpindahnya lembaga pendidikan
Islam dari masjid ke Madrasah. Maka
dalam hal ini Madrasah merupakan perkembangan berikutnya dari masjid dan
masjid yang berasrama (masjid khan},[9]
Seiring dengan perkembangan peradaban Islam, pendidikan yang telah menjadi perhatian utama sejak masa awal mengalami kemajuan pesat. Sebagaimana dijelaskan Hasan Asari, Nakosteen menulis: "Pendidikan yang tersedia di maktab, sekolah istana, dan masjid, akan tetapi mempunyai keterbatasan-keterbatasan yang sangat jelas berdasarkan tujuan pendidikan. Kurikulumnya sangat terbatas, lembaga-lembaga ini tidak berhasil memikat guru-guru terbaik, fasilitas-fasilitasnya tidak menawarkan lingkungan pendidikan yang kondusif, konflik antara tujuan-tujuan kependidikan dengan tujuan-tujuan keagamaan di mesjid hampir tidak bisa didamaikan lagi. Pendidikan menuntut keaktifan (dan menimbulkan kebisingan) yang mengganggu kekhidmatan peribadatan. Karena itu, menjadi penting untuk mengurangi sebanyak mungkin tanggung jawab mesjid yang berkaitan dengan pendidikan. Pendirian sebuah tipe lembaga pendidikan yang baru yakni Madrasah, adalah alamiah dan perlu.
Sebuah faktor
eksternal yang juga berperan dalam pengembangan konsep baru ini adalah
kenyataan bahwa kemajuan dan penyebaran pengetahuan melahirkan kelompok orang
yang kesulitan membangun kehidupan yang layak dengan pengetahuan abstrak
mereka. Memajukan pendidikan dan menyediakan penghasilan kelompok ini adalah
bagian dari alasan didirikannya Madrasah-Madrasah.[10]
Dari kutipan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan
timbulnya istilah pengajaran di Madrasah, yaitu: Pertama;
halaqah-halaqah (lingkaran belajar) untuk mengajarkan berbagai ilmu
pengetahuan, yang di dalamnya terjadi berbagai diskusi dan perdebatan, sering
mengganggu orang-orang yang beribadah di mesjid. Karena itu ada upaya untuk
segera memindahkan halaqah-halaqah tersebut keluar mesjid. Didirikanlah
ruangan-ruangan dan kelas-kelas sehingga tidak mengganggu kegiatan ibadah. Lama
kelamaan muncul keinginan untuk benar-benar memisahkan lembaga pendidikan Islam
itu dari masjid ke bangunan tersendiri yang lebih permanen, dari sinilah muncul
Madrasah.
Kedua, dengan makin berkembangnya ilmu
pengetahuan, baik agama maupun pengetahuan umum (waktu itu dikenal dengan
sebutan al-'ulum al-'aqliyyah, ilmu-ilmu rasional), maka makin banyak
diperlukan ruangan dan kelas untuk mengajarkan dan menampung para murid yang
kian hari kian bertambah. Masjid tidak bisa mengakomodasi kebutuhan tersebut. Ditambah
lagi dengan mulai berkembangnya pendapat bahwa pengetahuan umum sebaiknya tidak diajarkan di dalam masjid.
Karena itu Madrasah menjadi pilihan yang dianggap cukup memadai untuk
menampung kebutuhan tersebut.
Ketiga, pada abad ke-4 H, Syi'ah telah tumbuh
menjadi faham dan gerakan keagamaan yang kuat yang berkembang dihampir seluruh
dunia Islam. Syi'ah tidak hanya merupakan gerakan politik tetapi juga gerakan
ilmu pengetahuan yang secara aktif dan sistematis menyebarkan ide-idenya melalui
lembaga-lembaga pendidikan. Keadaan ini sangat menantang kaum Muslim dari
kalangan Sunni. Karena itu mereka membangun Madrasah-Madrasah
sebagai lembaga pendidikan yang oleh para ulama fiqih kemudian digunakan untuk
mengembangkan sekaligus mempertahankan faham Ahlussunah.
Keempat, pada masa bangsa Turki Seljuk mulai
berpengaruh dalam pemerintahan Bani Abbasyiah (1055-1194 M) dan mempertahankan
kedudukan mereka dalam pemerintahan, mereka berusaha untuk menarik hati kaum
Muslimin, dengan jalan memperhatikan pendidikan dan pengajaran bagi rakyat
umum. Mereka juga berusaha mendirikan Madrasah-Madrasah ini di
berbagai tempat dan dilengkapi dengan sarana dan fasilitas yang diperlukan.
Guru-guru digaji secara khusus untuk mengajar di Madrasah-Madrasah
yang mereka dirikan.
Kelima, mereka mendirikan Madrasah
tersebut dengan harapan mendapatkan simpati rakyat umum, di samping ampunan dan
pahala dari Allah SWT. Para pembesar negara pada masa itu, dengan kekayaan
mereka, banyak yang melakukan maksiat dan bermewah-mewahan, sehingga dengan
mendirikan sekolah-sekolah tersebut mereka ikut mewaqafkan hartanya ke jalan
Allah dengan harapan sebagai penebus dosa.[11]
Kegiatan rutin di Madrasah, dituntut untuk belajar ekstra keras. Oleh karena itu hanya orang-orang yang memiliki
kecintaan mendalam terhadap kehidupan
intelektual saja yang dapat menjalani kehidupan sebagai penuntut ilmu di
madrasah. Kegiatan rutin berupa membaca al-Qur'an, diikuti dengan taffakur
biasanya silakukan setelah subuh Berikutnya sang syaikh memulai
pengajaran formal biasanya dalam bentuk satu ceramah dari silabusnya dimana ia
menyajikan materi baru atau mendiskusikan materi pada pertemuan sebelumnya. Waktu
berikutnya dimanfaatkan untuk diskusi debat.
Pada sore
hari, mu'id (assisten syaikh) mengulangi materi yang pada pagi hari
disampaikan oleh syaikh dan membantu mahasiswa yang mendapatkan kesulitan
dengan berbagai konsep. Mahasiswa dikelompokkan berdasarkan tingkatan yang
menunjukkan kemajuan belajar, tingkatan kemajuan belajar dibagi menjadi:
tingkat pemula, menengah dan akhir. Pengelompokan lain di kalangan mahasiswa
juga dapat dilihat pada kedekatannya dengan syaikh. Ada mahasiswa yang diterima
sebagai mahasiswa khusus oleh seorang syaikh. Mereka adalah mahasiswa yang
terpilih untuk duduk di dekat syaikh dalam halaqah. Sang syaikh akan
mengajarkan mereka secara lebih mendalam dengan harapan bahwa sebagai mahasiswa
pilihan mereka akan menyebarkan karya dan reputasinya ke daerah-daerah lain.
Ketika
seorang mahasiswa merasa telah siap dalam bidang tertentu, ia maju untuk
menjalani ujian lisan. Jika penampilannya memenuhi standar yang ditentukan
syaikhnya, ia akan menerima ijazah sebuah surat yang menyatakan kelayakannya
untuk mengajar satu bidang studi tertentu. Jika ia adalah mahasiswa fiqih, ia akan menerima
pengakuan dalam mengeluarkan fatwa. Mereka yang mendapatkan ijazah di bidang
fiqih bisa meninggalkan halaqah dan madrasahnya dan mencoba membangun karirnya
sendiri secara profesional di lembaga lain yang serupa, atau menjadi pegawai
pemerintah sebagai mufti atau di arena diplomatik, politik dan sebagainya. Setelah
mencapai status ilmuwan tertentu dengan reputasi tertentu, dia mungkin akan
ditawari jabatan syaikh di masjid atau madrasah.
Adapun kurikulum Pendidikan di Madrasah yang diterapkan dimasa itu menggunakan sejumlah
mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari oleh siswa dalam suatu
periode tertentu. Dalam arti yang lebih luas, kurikulum sebenarnya bukan hanya
sekadar rencana pelajaran, tapi semua yang secara nyata terjadi dalam proses
pendidikan di sekolah.[12]
Kurikulum
madrasah tersebut terdiri dari ilmu-ilmu agama seperti: ilmu al-Qur'an, hadist,
tafsir, fiqih, ushul fiqih, ilmu kalam dan lain-lain yang tergolong kelompok
ilmu-ilmu keagamaan Islam ini. Ilmu-ilmu sastra yang dibutuhkan untuk mendukung
ilmu-ilmu agama juga diajarkan di madrasah. Secara umum bentuk kurikulum
madrasah pada masa pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam klasik
menggunakan tiga bentuk kurikulum yaitu Subject
Curriculum, Correlated Curriculum dan Integrated Curriculum. Ketiganya disesuaikan
dengan perkembangan madrasah pada periode-periode tertentu. Subject
Curriculum difokuskan pada materi pelajaran yang diberikan berdiri sendiri,
tidak berhubungan dengan pelajaran yang lain. Dalam subject curriculum, mata
pelajaran diajarkan secara mandiri, dikembangkan berdasarkan keluasan pelajaran
tersebut terhadap ilmu pengetahuannya. Bentuk kurikulum ini biasanya terdapat
pada pelajaran utama, seperti al-Qur'an,Tafsir, Fiqh dan lain-lain.
Kemudian Correlated
Curricullum difokuskan pada satu materi pelajaran yang dihubungkan dengan
materi pelajaran yang lain. Contohnya,
materi tafsir dihubungkan dengan hadits, pelajaran fiqih dihubungkan dengan
hadits dsb. Bentuk kurikulum seperti ini mendominasi pada masa akhir pendidikan
Islam klasik, yaitu ketika ilmu pengetahuan sudah berkembang dan mengalami
renaissance. Integrated Curriculum yaitu perpaduan antara materi satu
dengan yang lain dan saling berkaitan, sehingga penyajian bahan pelajaran itu
dalam bentuk unit.
Sedangkan metode pengajaran di Madrasah antara
lain: hafalan, keteladanan, latihan dan praktek. Ini merupakan kelanjutan dari masa Rasulullah terutama
ketika beliau memberikan pelajaran al-Qur'an. Pada perkembangan berikutnya, pendidikan
Islam yang dilakukan di madrasah menggunakan metode talqin, di mana guru mendikte
dan murid mencatat lalu menghafal. Setelah hafal, guru lalu menjelaskan maksudnya.
Metode ini oleh Makdisi disebut sebagai metode tradisional; murid mencatat, menuliskan
materi pelajaran, membaca, menghafal dan setelah itu berusaha memahami arti dan
maksud pelajaran yang diberikan itu.
Pada masa
perkembangan pendidikan Islam klasik, untuk mengetahui berhasil atau tidaknya
suatu kurikulum dan metode pengajaran yang diterapkan dalam sistem pendidikan dibutuhkan evaluasi Evaluasi belum
bisa dilakukan secara teratur dan terjadwal karena keberhasilan seorang murid
menguasai materi yang diajarkan sangat tergantung pada semangat belajar para
siswa/mahasiswanya sendiri.
Sepanjang sejarah pendidikan Islam klasik tidak ditemukan suatu catatan yang menjelaskan bahwa para pelajar diminta mempersiapkan diri mengikuti suatu ujian atau ulangan.Test yang dilakukan pada saat itu adalah test dalam kelas yang langsung dilakukan oleh para mudarris/syaikh, atau teman-teman lainnya dengan cara bertukar pikiran, berdebat atau diskusi. Namun demikian, tes tidak dilakukan secara terstruktur. Siswa/mahasiswa hanya mendapatkan ijazah atau surat keterangan sebagai bukti bahwa mereka telah lulus atau pernah belajar di lembaga tersebut.
D.
Kesimpulan
Berkaitan
dengan upaya dakwah Islamiah, sebagaimana digambarkan di atas, pada masa awal
perkembangan Islam, proses pendidikan berlangsung, meski lebih bersifat
informal (dalam arti, belum bersifat formal). Maka di sini, bisa dimengerti, jika proses
pendidikan Islam pada awalnya berlangsung di rumah sahabat tertentu (yaitu
rumah al-Arqam, misalnya). Baru setelah masyarakat Islam terbentuk, pendidikan
diselenggarakan di masjid, dalam halaqah, majlis al-tadris,
dan kuttab.Sementara pendidikan dalam arti formal baru muncul pada
masa lebih belakangan, yaitu dengan kebangkitan madrasah.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan Fahmi, Asma. Sejarah dan Fihafat Pendidikan Islam, edisi Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Madjid, Nurcholish. Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta: Paramadina, 1997.
Maruf, Naji. Madaris Makkah. Baghdad: Al- Irsyad, 1966.
Makdisi, George. "The Rise of Colleges: Institutions of Learning In Islam and The West", yang juga dikaji secara mendalam oleh Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, op. cit.
Nata, Abuddin. Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Ra'fat Said, Muhammad. Rasulullah SAW. Profil Seorang Pendidik: Methodologi Pendidikan dan Pengajarannya, esidi Indonesia Jakarta: Firdaus, 1994.
Syalabi, Ahmad. The History of Muslim Education. Beirut: Dar al-Kasyaf, 1954.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Persfuktif Islam. Bandung: Rosdakarya, 1992.
Zuhairini, (et. al), Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:Bina Aksara, 1994.
W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Cet. VII;
Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
[1] Abuddin Nata, Sejarah
Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan (
[2] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa
[3] Muhammad Ra'fat Said, Rasulullah SAW. Profil Seorang Pendidik: Methodologi Pendidikan dan
Pengajarannya, esidi Indonesia Jakarta: Firdaus, 1994), h. 93. Sebenarnya
Said menggunakan istilah "madrasah", tetapi sebagaimana kita tahu
bahwa lembaga pendidikan model madrasah di dunia Islam belum ada pada zaman
Nabi dan para sahabat, madrasah baru lahir pada abad ke-4 H.
[4] Ibid.,h. 108.
[5] Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam
(Jakarta: Paramadina, 1997), h. 34
[6] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Fihafat Pendidikan
Islam, edisi Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1979),h. 35-36.
[7] Hasbullah, Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia (
[8] Ibid., h. 68.
[9] Paparan mengenai sejarah timbulnya madrasah ini lihat
tulisan George Makdisi, "The Rise of
Colleges: Institutions of Learning In Islam and The West", yang juga
dikaji secara mendalam oleh Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam,
op. cit., h. 45.
[10] Hasan Asari, ibid., h. 46
[11] Zuhairini, (et. al), Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta:Bina Aksara, 1994);Cet-I,h. 100-101.
[12] Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan dalam Persfuktif Islam (Bandung: Rosdakarya, 1992), h. 53.
No comments:
Post a Comment