BAB
II
BENTUK
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA HARIAN LAPAS
1. Perlindungan
Hukum
1.1.Asas Negara Hukum
Dalam suatu negara, aturan hukum merupakan suatu hal yang sangat
subtansial dalam menentukan aturan berbangsa dan bernegara. Negara hukum
merupakan suatu negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada
warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup
untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan
rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik.
Demikian pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum
itu mencerminkan keadilan.[1]
Sedangkan menurut Arief Sidharta, Scheltema, merumuskan pandangannya
tentang unsur-unsur dan asas-asas
Negara Hukum meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Pengakuan,
penghormatan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia yang berakar dalam penghormatan atas martabat manusia (human
dignity).
b. Berlakunya
asas kepastian hukum. Negara Hukum untuk bertujuan menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam masyarakat.
Hukum bertujuan untuk mewujudkan kepastian
hukum dan prediktabilitas yang tinggi, sehingga dinamika kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat ‘predictable’.
Asas-asas yang terkandung dalam atau
terkait dengan asas kepastian hukum itu adalah:
1) Asas
legalitas, konstitusionalitas, dan supremasi hukum;
2) Asas
undang-undang menetapkan berbagai perangkat peraturan tentang cara
3) pemerintah
dan para pejabatnya melakukan tindakan pemerintahan;
4) Asas
non-retroaktif perundang-undangan, sebelum mengikat undang-undang harus lebih dulu diundangkan dan diumumkan
secara layak;
5) Asas
peradilan bebas, independent, imparial, dan objektif, rasional, adil dan manusiawi;
6) Asas
non-liquet, hakim tidak boleh menolak perkara karena alasan
undangundangnya tidak ada atau tidak
jelas;
7) Hak
asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin perlindungannya dalam undang-undang atau UUD.
c. Berlakunya
Persamaan (Similia Similius atau Equality before the Law)
d. Dalam
Negara Hukum, Pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang atau kelompok orang tertentu, atau
memdiskriminasikan orang atau kelompok orang tertentu. Di dalam prinsip ini, terkandung (a) adanya jaminan
persamaan bagi semua orang di hadapan
hukum dan pemerintahan, dan (b) tersedianya mekanisme untuk menuntut perlakuan yang sama bagi semua
warga Negara.
e. Asas
demokrasi dimana setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan atau
untuk mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintahan.
Untuk itu asas demokrasi itu diwujudkan melalui beberapa prinsip, yaitu:
1) Adanya
mekanisme pemilihan pejabat-pejabat publik tertentu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan
adil yang diselenggarakan secara berkala;
2) Pemerintah
bertanggungjawab dan dapat dimintai pertanggungjawaban oleh badan perwakilan rakyat;
3) Semua
warga Negara memiliki kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan
keputusan politik dan mengontrol pemerintah;
4) Semua
tindakan pemerintahan terbuka bagi kritik dan kajian rasional oleh semua pihak;
5) Kebebasan
berpendapat/berkeyakinan dan menyatakan pendapat;
6) Kebebasan
pers dan lalu lintas informasi;
7) Rancangan
undang-undang harus dipublikasikan untuk memungkinkan partisipasi rakyat secara efektif.
f.
Pemerintah dan Pejabat mengemban amanat sebagai
pelayan masyarakat dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan bernegara yang bersangkutan. Dalam asas ini terkandung
hal-hal sebagai berikut:
1) Asas-asas
umum peerintahan yang layak;
2) Syarat-syarat
fundamental bagi keberadaan manusia yang bermartabat manusiawi dijamin dan dirumuskan dalam aturan perundang-undangan, khususnya dalam konstitusi;
3) Pemerintah harus secara rasional menata tiap tindakannya, memiliki tujuan.[2]
1.1.1. Konsep negara hukum
Prinsip yang pertama dari perlindungan hukum adalah prinsip negara hukum.
Negara hukum adalah Negara yang memberikan perlindungan hukum bagi rakyatnya.
Konsep Negara hukum secara garis besar ada dua, yaitu rechtsstaat
dan rule of law, keduanya
mengarahkan dirinya pada satu sasaran yang utama yaitu pengakuan dan
perlindungan hukum terhadap hak-hak
asasi manusia.[3]
1.1.1.1 Rechstaat
Konsep rechtsstaat lahir
dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga bersifat revolusioner.[4]
Dalam rechtsstaat, dasar kewibawaan kenegaraan (de grondslag van statelijk
gezag) diletakkan pada hukum dan penyelenggaraan kewibawaan kenegaraan
dalam segala bentuknya ditempat dibawah kekuasaan hukum. Dengan demikian
pengertian rechtsstaat bukan hanya sekedar pengertian yang diperoleh dari dua
kata yang membentuk kata majemuk. Lebih dari pada itu ia mengandung pengertian
tersendiri.
Menurut F. Neumann, pengertian Rechtsstaat dalam perspektif
historis adalah pengertian politis. Dengan mengutip pendapat Von Gneist,
Neumann mengatakan bahwa istilah Rechtsstaat berasal dari Robert Von Mohl
(1799-1875), dan merupakan ciptaan golongan borjuis yang disaat itu kehidupan
ekonominya sedang meningkat, namun kehidupan politiknya sebagai suatu kelas
sedang menurun.
Menurut Von Mohl lebih lanjut, Rechtsstaat mengandung unsur-unsur sebagai
berikut : adanya persamaan di depan hukum, dapatnya setiap orang mempertahankan
diri dalam semua situasi yang layak, adanya kesempatan yang sama bagi warga
negara yang berhak untuk mencapai semua jabatan kenegaraan, dan adanya
kebebasan pribadi bagi warga negara. Berdasarkan uraian dimuka, kata majemuk Rechtsstaat
dengan pemahaman tertentu sebaliknya tidak diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia secara sederhana dengan negara hukum, melainkan negara berdasar atas
hukum, sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum UUD 1945.[5]
Negara
a.
Asas legalitas, setiap tindakan harus didasarkan atas
dasar peraturan perundang-undangan. Dengan alasan ini undang-undang dalam arti
formal dan UUD sendiri merupakan tumpuan dasar tindakan pemerintah.
b.
Pembagian kekuasaan,syarat ini mengatakan makna bahwa
kekuasaan Negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan.
c.
Hak-hak dasar, merupakan sarana perlindungan hukum bagi
rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentukan undang-undang.
d.
Pengawasan pengadilan bagi rakyat, tersedia saluran
melalui pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan tindak pemerintah.[6]
1.1.1.2 Rule of Law
Konsep Rule of Law berkembang secara
evolusioner, International Commision of
Jurist pada konfrensinya di
a.
Perlindungan
konstitusional dalam arti bahwa konstitusi selain dari pada menjamin hak-hak
individu harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh perlindungan
atas hak-hak yang dijamin;
b.
badan
kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
c.
kebebasan untuk menyatakan
pendapat;
d.
pemilihan umum yang bebas;
e.
kebebasan untuk
berorganisasi dan beroposisi; dan
f. pendidikan kewarganegaraan.[7]
Sebagian ciri negara hukum yang telah
diuraikan di atas khususnya dalam konsep negara hukum material, dalam
penerapannya diberbagai negara demokrasi modern hampir semua dilaksanakan,
hanya saja seringkali law in the book seringkali berbeda dengan law in action,
atau das sollen berbeda dengan das sein. Penyimpangan antara aturan hukum yang
telah dibuat dan seharusnya berkedudukan di atas segalanya dengan kenyataan
bahwa intervensi kekuasaan mempengaruhi pelaksanaan hukum menjadikan hukum
dipengaruhi oleh anasir-anasir non hukum yang seharusnya tidak boleh terjadi
dalam proses penegakan hukum. Setidaknya ciri-ciri negara hukum di atas dapat
menjadi indikator pelaksanaan konsep negara hukum pada suatu negara.
1.1.2. Konsep Negara hukum
Dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia menentukan dalam
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.
Mengandung arti bahwa segala perilaku yang ada dalam suatu negara, baik yang
dilakukan oleh pemerintah maupun yang diperintah (rakyat) harus berdasarkan
atas aturan-aturan hukum dan bukan berdasarkan atas kekuasaan. Hukum dijadikan
sebagai panglima dalam kehidupan bernegara.
Sebelum diamandemen, landasan yuridis negara hukum
Konsepsi negara hukum
1.2.Jaminan atas hak asasi manusia
Ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan konstitusional
terhadap
hak-hak asasi manusia itu sangat penting dan bahkan dianggap merupakan salah
satu ciri pokok dianutnya prinsip negara hukum di suatu negara. Namun di
samping hak-hak asasi manusia, harus pula dipahami bahwa setiap orang memiliki
kewajiban dan tanggungjawab yang juga bersifat asasi. Setiap orang, selama
hidupnya sejak sebelum kelahiran, memiliki hak dan kewajiban yang hakiki sebagai
manusia. Pembentukan negara dan pemerintahan, untuk alasan apapun, tidak
boleh menghilangkan prinsip hak dan kewajiban yang disandang oleh setiap manusia.
Karena
itu, jaminan hak dan kewajiban itu tidak ditentukan oleh kedudukan orang
sebagai warga suatu negara. Setiap orang di manapun ia berada harus dijamin
hak-hak dasarnya. Pada saat yang bersamaan, setiap orang di manapun ia berada,
juga wajib menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagaimana mestinya.
Keseimbangan kesadaran akan adanya hak dan kewajiban asasi ini merupakan ciri
penting pandangan dasar bangsa Indonesia mengenai manusia dan kemanusiaan yang
adil dan beradab.
Kewajiban negara tersebut
ditegaskan dalam konsideran “Menimbang” baik dalam Konvenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik maupun Konvenan Internasional tentang Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dalam hukum nasional, Pasal 28I ayat (4) UUD 1945[9] menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM
adalah tanggungjawab negara, terutama Pemerintah.
1.2.1. Pengertian hak asasi manusia
Menurut UU No. 39 Tahun 1999, Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak
yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia.[10]
Kesadaran akan hak asasi manusia didasarkan pada pengakuan bahwa semua
manusia sebagai makhluk tuhan memiliki derajat dan martabat yang sama.dengan
pengakuan akan prinsip dasar tersebut,setiap manusia memiliki hak dasar yang
disebut hak asasi manusia. jadi,kesadaran akan adanya hak asasi manusia tumbuh
dari pengakuan manusia sendiri bahwa mereka adalah sama dan sederajat.[11]
Kebebasan dasar dan hak-hak dasar yang disebut Hak Asasi Manusia secara
kodrati melekat pada diri manusia sejak dalam kandungan. Oleh karena itu, hak
asasi manusia yang bersifat individu juga lahir didalam kehidupan masyarakat.
Dalam perkembangan sejarah tampak bahwa hak asasi manusia memperoleh
maknanya dan berkembang setelah kehidupan masyarakat makin berkembang khususnya
setelah terbentuk negara. Kenyataan tersebut mengakibatkan munculnya kesadaran
perlunya hak asasi manusia dipertahankan terhadap bahaya-bahaya yang timbul
akibat adanya negara.
1.2.2. Hak bekerja
Hak-hak yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia terdiri dari beberapa hak yang salah satunya menyangkut
masalah Hak atas kesejahteraan. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa
dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapatkan jaminan
sosial yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak
mendirikan serikat pekerja demi melindungi dan memperjuangkan kehidupannya.[12]
Sedangkan menurut Asri, hak untuk bekerja diatur dalam Pasal 23 Piagam
PBB, jo Pasal 28 D (2) UUD 1945 jo Pasal 28 E (1) UUD 1945 jo Pasal 38 UUD
1999, jo Pasal 6 UU No. 11 Tahun 2005 yaitu:
Pasal 23 Piagam
PBB,
a.
Setiap orang berhak atas pekerjaan, untuk memilih pekerjaan
dengan bebas, atas kondisi pekerjaan yang adil dan menyenangkan, dan atas
perlindungan terhadap pengangguran.
b.
Setiap orang berhak atas pekerjaan yang sama, upah yang sama, tanpa
diskriminasi.
c.
Setiap orang yang bekerja berhak atas pengupahan yang
adil dan memadai, yang bisa menjamin penghidupa yang layak bagi dirinya maupun
keluarganya sesuai dengan martabat manusia, dan apabila perlu ditambah dengan
perlindungan sosial lainya.
d. Setiap orang berhak mendirikan dan bergabung dengan serikat pekarja untuk melindungi kepentingannya.[13]
Untuk pasal Pasal 28 D (2) UUD 1945, setiap orang
berhak untuk bekerja serta men dapat imbalan dan perlakukan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja.[14]
Sedangkan Pasal 28 E (1) 1945, Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah
menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal diwilayah Negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali.[15]
Kemudian Pasal 38 UU No. 39 Tahun 1999,
1.
Setiap
warga Negara sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas
pekerjaan yang layak.
2.
Setiap
orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dengan hak atas
syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.
3.
Setiap
orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sama, sabanding,
setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang
sama.
4.
Setiap
orang, baik pria maupun wanita, dalam
melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaan berhak atas upah
yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelansungan kehidupan
keluarganya.[16]
Pasal 6 UU No. 11 Tahun 2005,
a.
Negara-negara kovenan ini mangakui atas hak
pekerjaan, termasuk hak setiap orang atas kesempatan mencari nafkah melalui
pekerjaan yang dipilih atau diterima secara bebas, dan akan mengambil
langkah-langkah yang tepat guna melindungi hak ini.
b. Langkah-langkah yang diambil oleh suatu Negara Pihak Kovenan ini untuk mencapai perwujudan hak ini sepenuhn ya meliputi juga program pelatihan, bimbingan teknik dan kejuruhan, kebijakan dan teknik-teknik untuk mencapai perkembangan ekonomi, social dan budaya yang mantab, serta pekerjaan yang penuh dan produktif, dengan syarat-syarat yang menjadi kebebasan politik dan ekonomi dasar bagi perseorangan.[17]
Kemudian hak
untuk bekerja dijabarkan lebih lanjut
dalam Pasal 7 – Pasal 15 UU No. 11 Tahun 2005, yang meliputi:
a. Hak atas kondisi yang adil dan menguntungkan.
b. Hak untuk membentuk dan begabung dengan Serikat Pekerja
c. Hak atas jamian social dan Asuransi social
d. Perlindungan dan bantuan untuk keluarga
e. Hak atas Standar hidup yang layak.
f.
Hak atas
Standar tertinggi kesehatan jasmani dan mental
g. Hak atas pendidikan
h. Hak atas kebudayaan dan atas manfaat dan kemajuan ilmu pengetahuan.[18]
Selanjutnya
pengaturan untuk bekerja di dalam UU No.
39 Tahun 1999 terdapat pada Pasal 36 – Pasal 42 tentang hak atas kesehjahteraan
yang meliputi:
a. Hak untuk mempunyai milik
b.Hak atas pekerjaan yang layak
c. Hak berserikat
d.Hak atas jaminan sosial
e. Hak atas pendidikan.[19]
Sedangkan
berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, dalam pasal 5 dan 6 disebutkan: Setiap
tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh
pekerjaan dan setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa
diskriminasi dari pengusaha.
2. Hubungan
Kerja
2.1 Pengertian Hubungan Kerja
2.1.1
Berdasarkan
UU Nomor 13 Tahun 2003
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 15 memberikan pengertian : “hubungan antar pengusaha dengan para
pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan,
upah dan perintah”.[20]
Sedangkan Maimun menjelaskan perjanjian kerja perjanjian antara buruh/pekerja
dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan
kewajiban para pihak.[21]
Hubungan kerja yaitu, hubungan antara buruh dan majikan, terjadi setelah
diadakan perjanjian oleh pekerja dengan majikan dimana buruh menyatakan
kesanggupanya untuk bekerja pada majikan, dengan menerima upah, dan dimana
majikan menyatakan kesanggupannya untuk memperkarjakan pekerja dengan membayar
upah.[22]
2.1.2
Berdasarkan
Burgerlijk Wetboek (B.W.)
Pengertian hubungan kerja
berdasarkan Burgerlijk Wetboek (B.W.) Nomor 1601a. adalah perjanjian
dengan mana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya untuk dibawah
perintah pihak yang lain si majikan, untuk suatu waktu tertentu , melakukan
pekerjaan dengan menerima upah.[23]
Hubungan kerja antara buruh dan majikan, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan majikan dimana buruh menyatakan kesanggupanya untuk bekerja pada majikan, dengan menerima upah, dan dimana majikan menyatakan kesanggupannya untuk memperkarjakan pekerja dengan membayar upah.[24] Sehingga hubungan kerja adalah perjanjian antara buruh/pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
2.2 Unsur
dalam hubungan kerja
Unsur hubungan kerja sesuai dengan
ketentuan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 adalah:
2.2.1 Pekerjaan
Unsur yang pertama adalah adanya
pekerjaan, yaitu pekerjaan itu bebas sesuai dengan kesepakatan antara buruh dan
majikan, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
kesusilaan dan ketertiban.[25]
2.2.1
Perintah
Unsur kedua, yaitu dibawah
perintah. Didalam hubungan kerja kedudukan majikan adalah pemberi kerja,
sehingga ia berhak dan sekaligus bekewajiban untuk memberikan perintah-perintah
yang berkaitan dengan pekerjaannya.[26] Sehingga hubungan antara majikan dan buruh
adalah hubungan yang dilakukan antara atasan dan bawahan, sehingga bersifat subordinasi
(hubungan yang bersifat vertikal, yaitu atasan dan bawahan).
2.2.2
Upah
Unsur upah menurut Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan
dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi
pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah
atau akan dilakukan.[27]
2.3 Perjanjian Kerja
Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 nomor 14 memberikan pengertian Perjanjian kerja adalah perjanjian
antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat
syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.[28]
2.3.1
Subtansi
perjanjian kerja
Subjek pada perjanjian kerja pada
hakikatnya adalah subjek hukum dalam hubungan kerja. Sedangkan yang menjadi
objek dalam perjanjian kerja adalah tenaga yang melekat pada diri pekerja.[29]
Dimana keduanya dijelaskan sebagaimana berikut:
2.3.1.1 Subyek hukum
Pada dasarnya subjek hukum dalam hubungan kerja adalah pengusaha/pemberi
kerja dengan pekerja atau buruh. Adapun pengusaha berdasarkan ketentuan Pasal 1
angka 5 Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2003 adalah:
a.
Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b.
Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c.
Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
berada di
Sedangkan pemeberi kerja, menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang RI No. 13
Tahun 2003 adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan
lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain”.[31]
Adapun perusahaan menurut Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 6
adalah:
a. Setiap
bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik
persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang
mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain;
b. Usaha-usaha
sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang
lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.[32]
Kemudian subyek
selanjutmya adalah pekerja atau buruh. Menurut Undang-Undang RI No. 13 Tahun
2003 Pasal 1 angka 3, pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.[33]
2.3.1.2 Obyek hukum
Obyek hukum dalam perjanjian kerja adalah pekerjaan yang dilakukan oleh
pekerja. Objek hukum dalam hubungan kerja tertauang dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan dan kesepakatan kerja bersama/perjanjian kerja bersama.
Kedudukan perjanjian kerja secara teoritis dibuat oleh buruh dan perusahaan dan
kedudukannya dibawah peraturan perusahaan, sehingga apabila ada ketentuan dalam
perjanjian kerja yang bertentangan dengan peraturan perusahaan maka yang
berlaku adalah peraturan perusahaan.[34]
2.3.2
Prosedur
perjanjian kerja
Prosedur perjanjian kerja pada
dasarnya dibedakan menjadi dua yaitu syarat materil dan syarat formil. Syarat
materil dari perjanjian kerja beradasarkan ketentuan pasal 52 Undang-Undang
Republik Indomnesia Nomor 13 Tahun 2003, dibuat atas dasar;
a. kesepakatan
kedua belah pihak;
b. kemampuan
atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. adanya
pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Sedangkan syarat formil diatur dalam pasal 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. yang
menyebutkan bahwa perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis
sekurang-kurangnya memuat:
a. nama,
alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama,
jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan
atau jenis pekerjaan;
d. tempat
pekerjaan;
e. besarnya
upah dan cara pembayarannya;
f.
syarat syarat kerja yang memuat hak dan
kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g. mulai
dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat
dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.[35]
Kemudian berdasarkan ketentuan
Pasal 1320 BW suatu perjanjian dikatakan sah apabila memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:
a. Adanya kesepakatan
b. Kecakapan berbuat hukum
c. Hal tertentu
d. Causa yang dibenarkan.[36]
2.3.2.1 Pembagian perjanjian Kerja
Jenis perjanjian kerja berdasarkan ketentuan Pasal 56 Undang-Undang Republik Indomnesia Nomor 13 Tahun
2003, dibedakan dalam perjanjian kerja untuk waktu tertentu dan waktu tidak
tertentu.[37] Mengenai perjanjian kerja waktu tertentu
labih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal 57 – 66 Undang-Undang RI Nomor
13 Tahun 2003. Berakhirnya perjanjian kerja karena beberapa sebab yang diatur
dalam ketentuan pasal 61 Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2003, yaitu:
a.
Pekerja meninggal dunia;
b.
Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c.
Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau
penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah. Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh. Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri per-janjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.
Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/ buruh berhak
mendapatkan hak haknya se-suai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
atau hak hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama.
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya
jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau
berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar
ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Sedangkan untuk perjanjian
kerja wktu tidak tertentu telah diatur dalam Pasal 62 Undang-Undang RI
Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa dalam hal perjanjian kerja waktu tidak
tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan
bagi pekerja/buruh yang bersangkutan.
a.
Nama dan alamat pekerja/buruh;
b.
Tanggal mulai bekerja
c.
Jenis pekerjaan; dan
d.
Besarnya upah.
2.3.2.2 Prosedur pembuatan perjanjian kerja
Ketentuan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 51 – 55 menjelaskan bagaimana prosedur
tentang pembuatan perjanjian kerja. Perjanjian kerja dibuat secara tertulis
atau lisan dan perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.[38]
Perjanjian kerja dibuat atas dasar :
a.
Kesepakatan kedua belah pihak;
b.
kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c.
adanya pekerjaan yang diperjanjikan;
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.[39]
Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang
bertentangan dengan kesepakatan kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan
melakukan perbuatan hukum dapat dibatalkan. Kemudian perjanjian kerja yang
dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan adanya pekerjaan yang
diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku batal demi
hukum.
Kemudian dalam
Pasal 53 Undang-undang No. 13 Tahun 2003, menyebutkan, Segala hal
dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja
dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha.[40]
Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat :
a. nama,
alamat perusahaan, dan jenis usaha
b.nama, jenis kelamin, umur, dan
alamat pekerja/buruh;
c. jabatan
atau jenis pekerjaan;
d.tempat pekerjaan;
e. besarnya
upah dan cara pembayarannya;
f.
syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha
dan pekerja/buruh;
g.
mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h.
tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Ketentuan dalam perjanjian kerja besarnya upah dan cara
pembayarannya serta syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha
dan pekerja/buruh tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Kemudian Perjanjian kerja dibuat sekurang kurangnya
rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh
dan pengusaha masing masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja. Selanjutnya
Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas
persetujuan para pihak.
3. Pekerja Harian Lepas
3.1 Pengertian pekerja harian lepas
Pekerja Harian Lepas adalah pekerja yang bekerja pada Pengusaha untuk
melakukan suatu pekerjaan tertentu dan dapat berubah-ubah dalam hal waktu
maupun volume pekerjaan dengan menerima upah yang didasarkan atas kehadiran
Pekerja secara harian.[41]
3.2 Perjanjian kerja harian lepas
Dalam pasal 10 Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep.100/Men/VI/2004
Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, perjanjian kerja
harian lepas untuk pekerjaan‑pekerjaan tertentu yang berubah‑ubah dalam hal
waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat
dilakukan dengan perjanjian kerja harian lepas.
Kemudian perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua puluh
satu) hari dalam 1 (satu) bulan. Serta dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua
puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan berturut‑turut atau lebih
maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT.[42]
3.2.1
Substansi
perjanjian kerja harian lepas
Pada perjanjian kerja harian
lepas, hakikatnya adalah subjek hukum dalam hubungan kerja. Sedangkan yang
menjadi objek dalam perjanjian kerja adalah tenaga yang melekat pada diri
pekerja. Dalam pasal 10 Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik
Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu) hari dalam 1 (satu) bulan. Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan berturut‑turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT.
Perjanjian kerja harian lepas yang
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2)
dikecualikan dari ketentuan jangka waktu PKWT pada umumnya. Pengusaha
yang mempekerjakan pekerja/buruh pada pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 wajib membuat perjanjian kerja harian lepas secara tertulis dengan
para pekerja/buruh. Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat dibuat berupa daftar pekerja/buruh yang melakukan
pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sekurang‑kurangnya memuat :
a. nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja;
b. nama/alamat pekerja/buruh;
c. jenis pekerjaan yang dilakukan;
d. besarnya upah dan/atau imbalan lainnya.
Daftar pekerja/buruh sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan setempat selambat‑lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak
mempekerjakan pekerja/buruh.[43]
3.2.1.1 Subyek hukum
Subyek hukum dalam perjanjian
kerja harian lepas adalah pengusaha/perusahaan. Dalam Keputusan Meteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. KEP.100/MEN/VI/2004
Pasal 1 angka 3 dan 4 Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum
yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum
yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum
yang berada di
Sedangkan Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau
tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum,
baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha‑usaha sosial dan usaha‑usaha lain yang
mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
3.2.1.2 Obyek hukum
Sedangkan obyek hukum dalam
perjanjian kerja harian lepas adalah pekerja. Menurut Keputusan
Meteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI
No. KEP.100/MEN/VI/2004
Pasal 1 angka 5, pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain
3.2.2
Prosedur
perjanjian kerja harian lepas
Ketentuan Pasal 12 KEP.100/MEN/VI/2004,
pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh pada pekerjaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 wajib membuat perjanjian kerja harian lepas secara tertulis
dengan para pekerja/buruh. Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat dibuat berupa daftar pekerja/buruh yang melakukan
pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sekurang‑kurangnya memuat :
e. nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja;
f.
nama/alamat
pekerja/buruh;
g. jenis pekerjaan yang dilakukan;
h. besarnya upah dan/atau imbalan lainnya.
Daftar pekerja/buruh sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan setempat selambat‑lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak
mempekerjakan pekerja/buruh.[44]
Dalam ketentuam Pasal 57 – Pasal 66 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003,
menerangkan tentang perjanjian kerja waktu tertentu. Perjanjian kerja untuk
waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia
dan huruf latin. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak
tertulis dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.
Apabila dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa
asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka
yang berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa
Selanjutnya perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat
mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. Apabila disyaratkan masa percobaan kerja
dalam perjanjian kerja, maka masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi
hukum.
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan
tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai
dalam waktu tertentu, yaitu :
a. Pekerjaan
yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b.
Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu
yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c.
Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk
pekerjaan yang bersifat tetap. Akan tetapi, perjanjian kerja untuk waktu
tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui. Perjanjian kerja waktu tertentu
yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2
(dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu
paling lama 1 (satu) tahun.
Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu
tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu
berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh
yang bersangkutan. Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat
diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya
perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu
tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6)
dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 maka demi hukum menjadi perjanjian kerja
waktu tidak tertentu. Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat
mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan. Dalam masa
percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha dilarang
membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.
Berakhirnya perjanjian kerja karena beberapa sebab diatur dalam Pasal 61
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, yaitu:
a.
pekerja meninggal dunia;
b.
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c.
adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau
penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau
beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau
hibah. Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh
menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian
pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh. Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal
dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri per-janjian kerja setelah
merundingkan dengan pekerja/buruh.
Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/ buruh berhak
mendapatkan hak haknya se-suai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
atau hak hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama.
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya
jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau
berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar
ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Berdasarkan ketentuan pasal 63 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 disebutkan
bahwa Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka
pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang
bersangkutan.
a.
nama dan alamat pekerja/buruh;
b.
tanggal mulai bekerja;
c.
jenis pekerjaan; dan
d.
besarnya upah.
Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 64 Undang-Undang No. 13 Tahun
2003 disebutkan Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Berdasarkan ketentuan Pasal 65 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, masih
terdapat syarat lain yang harus dipenuhi yaitu: Penyerahan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pem borongan pekerjaan
yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan
lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
a.
dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama
b.
dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung
dari pemberi pekerjaan
c.
merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara
keseluruhan; dan
d.
tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan
hukum. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada
perusahaan lain sebagaimana dimak-sud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama
dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi
pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perubahan
dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Hubungan kerja dalam pelaksanaan
pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara
tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas
perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu
apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59. Dalam hal
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi,
maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima
pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan
pemberi pekerjaan.
Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan
pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat
(7).
Dalam hal ini, menurut ketentuan Pasal 66 Undang-Undang No. 13 Tahun
2003. Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh
digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan
yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan
yang tidak berhubungan lang-sung dengan proses produksi harus memenuhi syarat
sebagai berikut :
a.
adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
b.
perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja
sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu
yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau
perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan
ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c.
perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat
kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh;
d.
perjanjian antara perusahaan pengguna jasa
pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
Selain itu, penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang
berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi
hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan pemberi pekerjaan.
3.3 Analisis praktik perjanjian kerja harian
lepas
Dalam ketentuam Pasal 57 – Pasal 66 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003,
menerangkan tentang perjanjian kerja waktu tertentu. Hal yang belum dibahas
dalam Pasal-Pasal tersebut lebih lanjut dijelaskan dalam Keputusan Menteri
Ketenagakerjaan dan Trans RI No. KEP.100/MEN/VI/2004 yang mengatur lebih spesifik
tentang pelaksanaan perjanjian kerja harian lepas dari Pasal 10 – 12. Untuk
pekerjaan‑pekerjaan tertentu yang berubah‑ubah dalam hal waktu dan volume
pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan
perjanjian kerja harian lepas.
Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana
dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua puluh
satu) hari dalam 1 (satu) bulan. Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh
satu) hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan berturut‑turut atau lebih maka
perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT. Perjanjian kerja harian
lepas yang memenuhi ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan dari
ketentuan jangka waktu PKWT pada umumnya.
Pengusaha yang mempekerjakan
pekerja/buruh pada pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib membuat
perjanjian kerja harian lepas secara tertulis dengan para pekerja/buruh. Perjanjian
kerja harian lepas dapat dibuat berupa daftar pekerja/buruh yang melakukan
pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sekurang‑kurangnya memuat :
a. nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja;
b. nama/alamat pekerja/buruh;
c. jenis pekerjaan yang dilakukan;
d. besarnya upah dan/atau imbalan lainnya.
Daftar pekerja/buruh sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) disampaikan kepada instansi yang bertanggungjawab dibidang
ketenagakerjaan setempat selambat‑lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak
mempekerjakan pekerja/buruh.
Akan tetapi, fakta yang ada di
masyarakat terhadap pekerjaan yang sifatnya tetap dan rutin dilaksanakann oleh
pekerja harian lepas. Hal ini melanggar Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang RI No.
13 Tahun 2003.
Contohnya seperti pekerja harian
lepas yang bekerja di (perusahaan X). Berdasarka fakta melalui
perjanjian kerja, subyek hukum dalam hubungan kerja pada dasarnya adalah
pengusaha X/pemberi kerja dan objek hukumnya adalah pekerja harian lepas yang
bekerja di (perusahaan Y). Hubungan kerja sebagai bentuk hubungan hukum telah
tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja harian lepas dengan
pengusaha. Subtansi perjanjian kerja yang dibuat tidak bertentangan dengan
perjanjian kerja yang ada.
Karena perjanjian kerja yang telah mereka buat sesuai dengan, syarat
materiil yang terdapat dalam pasal 52 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan syarat formil dalam pasal 54 Undang-Undang No. 13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, maka perjanjian yang dilakukan oleh perusahaan
(PT. Y) dan pekerja yang melalui perusahaan penyedia jasa outsourcing di (PT. X)
merupakan perjanjian kerja yang sah. Karena perjanjian kerja tersebut sesuai
dengan syarat sahnya perjanjian kerja yang menjadi dasar dari hubungan kerja.
Tetapi pada kenyataanya mereka belum mendapatkan hak penuh atas upah
lembur yang sesuai dengan kehadiran para pekerja berdasarkan isi Perjanjian
Kerja. Hal ini dikarenakan adanya perhitungan jam kerja lembur para pekerja
sebagian dianggap oleh perusahaan sebagai jam mati. Dalam isi perjanjian kerja
dijelaskan dalam pasal 5 ayat (3) mengenai penerimaan upah kerja lembur sesuai
dengan ketentuan pemerintah. Akan tetapi upah lembur yang mereka terima belum
sesuai dengam kehadiran dan isi Perjanjian Kerja.
Oleh karena itu, pekerja harian
lepas adalah bagian dari tenaga kerja sehingga harus tetap berhak memperoleh
perlindungan hukum sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang RI No.
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
[1] Asri Wijayanti, Menggugat Konsep
Hubungan Kerja, CV Lubuk Agung, Bandung, 2011, hal. 5.
[2]Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum
Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf)
[3]Asri Wijayanti, Op. Cit., hal.
5.
[4]Ibid. , hal. 5.
[5]http://putrakampar.blogspot.com/2008/09/konsepsi-negara-hukum-sebuah.html.
Diakses tanggal 23 April 2012
[6]Asri Wijayanti, Op. Cit.,
hal. 5.
[7]http://urai28imam.blogspot.com/2011/03/konsepsi-rechtsstaat-dan-rule-of
law_24.html Diakses tanggal 23 April 2012
[8]http://notcupz.blogspot.com/2011/06/negara-hukum.html.Diakses
tanggal 23 April 2012
[9]Hasil Perubahan Kedua UUD 1945.
[10]http://tieqhaagustincliq.blogspot.com/2012/03/blog-post.html.
diakses tanggal 23 April 2012
[11]http://education.poztmo.com/2011/06/pengertian-hak-asasi-manusia-ham.html.
diakses tanggal 23 April 2012
[12]http://www.kadnet.info/web/index.php?option=com_content&view=article&id=1602:konsep-hak-asasi-manusia-dalam-uu-nomor-39-tahun-1999&catid=37:wawasan-perspective&Itemid=66
diakses tanggal 23 Apri 2012
[13]Asri Wijayanti, Op. Cit., hal.
20.
[14]
Ibid., hal. 20.
[15] Ibid. , hal. 21.
[16]
Ibid. , hal. 21.
[17]
Ibid. , hal. 21.
[18]
Ibid. , hal. 22.
[19] Ibid.
, hal. 22.
[20]
Lihat
[21] Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu
Pengantar, Pradnya Pramita, Jakarta, 2007, hal. 41.
[22] Ibid. , hal. 41.
[23]
Lihat. Burgerlijk Wetboek (B.W.) Nomor 1601a
[24] Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu
Pengantar, Jakarta: Pradnya Pramita, 2007, hal. 41.
[25]Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca
Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta 2009, hal. 36.
[26] Ibid. , hal. 37.
[27] Ibid. , hal. 37.
[28]
Lihat UU RI No. 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 Nomor 14.
[29]Asri Wijayanti, Op. Cit., hal. 41.
[30]
Lihat UU RI No. 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 Nomor 5.
[31] Ibid.,
Pasal 1 Nomor 4.
[32]
Lihat UU RI No. 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 Nomor 6.
[33] Ibid.,
Pasal 1 Nomor 3.
[34]Asri Wijayanti, Op. Cit.,
hal.40.
[35] Lihat
Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 52 dan 54.
[36]Asri Wijayanti, Op. Cit. hal. 43.
[37]Lihat
Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 56.
[38]Lihat
Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 51 ayat (1)
dan (2).
[39]
Lihat Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 52
ayat (1).
[40]
Ibid. , Pasal 53.
[41]Lihat
Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor:
Per.06/Men/1985 Tentang Perlindungan Pekerja Harian Lepas. Pasal 1.
[42]Lihat Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi
Republik
[43]Lihat Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi
Republik
[44]Lihat Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi
Republik
No comments:
Post a Comment