ALIRAN AL-MATURIDIYAH
(Studi Pemikiran Al-Maturidiyah Samarkand
dan Bukhara)
Oleh ; Ariffudin
A.
Pendahuluan
Teologi
sebagai sebuah pembahasan ajaran-ajaran yang mendasar dari suatu agama dimana
termasuk mengembangkan paham tentang Tuhan. Islam sebagai agama tentunya tidak
lepas dari adanya teologi. Teologi di Islam mempunyai keunikan tersendiri dalam
pembahasannya, sehingga dalam sejarahnya yang panjang itu pembahasan tentang
teologi Islam sangatlah menarik, menegangkan, bahkan tidak sedikit menimbulkan
perdebatan, permusuhan sampai pembunuhan atau ada juga pengkafiran.
Munculnya
banyak aliran dalam teologi Islam tentunya adanya keinginan memahami
dasar-dasar agama Islam. Dari pemahaman-pemahaman itulah yang kemudian muncul
aliran-aliran yang tentunya tidak terlepas konteks yang ada. Kemunculan paham
Teologi al-Maturidiyah adalah diantara aliran-aliran dalam pembahasan teologi Islam
adalah salah satu fenomena diantaranya. Sebagai salah satu paham teologi dalam Islam,
teologi al-Maturidiyah tentunya mempunyai pendiri, ajaran atau pemikiran.
Aliran al-Maturidiyah
adalah salah satu aliran dalam teologi Islam yang tergolong kelompok ahlu
al-Sunnah wa al-Jamaah. Aliran ini muncul pada awal abad IV H.[1] Aliran al-Maturidiyah disandarkan pada
nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad
al-Maturidy, yang lahir di Maturid, yakni sebuah kota kecil di Samarkand
Uzbekistan, dan tahun kelakhirannya tidak banyak diketahui. Al-Maturidy wafat
sekitar tahun 332 / 333 H.[2]
Dalam
aliran al-Maturidiyah peranan akal/rasio memiliki tempat yang penting didalam
menyusun konsep teologinya dan didalam memahami ajaran-ajaran agamanya.
Akal/rasio dalam aliran ini dapat membantu untuk mamahami adanya Allah/ke-Esaan
Allah, sifat dan dzat-Nya. Rasio/Akal juga dapat digunakan untuk memahami
ayat-ayat al-Qur’an dan hal-hal yang masuk dalam lingkup teologi.[3]
Aliran al-Maturidiyah
juga bernaung di bawah faham ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah bersama
dengan aliran al-Asyi’ariyah. Kedua aliran ini hadir kemedan
percaturan teologi, karena reaksinya terhadap aliran Mu’tazilah.[4] Dalam perkembangannya aliran al-Maturidiyah
pecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok Samarkand di bawah pimpinan Abu
Mansur al-Maturidy sedang kelompok Bukhara di bawah pimpinan al-Bazdawy.[5] Dalam makalah ini akan penulis jelaskan
pemikiran aliran al-Maturidiyah Samarkand dan Bukhara
B. al-Maturidiyah Samarkand
dan Bukhara
Maturudiyyah
adalah aliran yang didirkan oleh Imam Abu Manshur al-Maturidi (w.333 H). Aliran
ini kemudian didukung oleh Abu al-Yasar al-Bazdawi (421-493 H), Abu Ma’in
al-Nasafi (438-508), dan Najm al-Din ‘Umar al-Nasafi (462-537 H). Meskipun
al-Bazdawi adalah tokoh yang mendukung aliran Maturidiyyah, antara al-Bazdawi
dan al-maturidi terdapat beberapa perbedaan pendapat dan masalah-masalah
teologi. Perbedaan antara kedua tokoh ini kemudian melahirkan dua sub aliran/sekte-sekte
Maturidiyah, yaitu aliran Maturidiyah Samarkand yang ditokohi oleh al-Maturidy
sendiri dan aliran Maturidiyyah Bukhara yang ditokohi oleh al-Bazdawi. Aliran
Maturidiyyah banyak dianut oleh kaum Muslim yang bermazhab Hanafi dalam bidang
hukum (fiqh).[6]
Untuk
mengetahui sistem pemikiran Al-maturidi, kita tidak bisa meninggalkan pikiran-pikiran
asy’ary dan aliran mu’tazilah, sebab ia tidak lepas dari suasana zamannya.
Maturidiyah dan asy’aryah sering terjadi persamaan pendapat karena persamaan
lawan yang dihadapinya yaitu mu’tazilah. Namun, perbedaan dan persamaannya
masih ada. Al-Maturidi dalam pemikiran teologinya banyak menggunakan rasio. Hal
ini mungkin banyak dipengaruhi oleh Abu Hanifa karena Al-maturidi sebagai
pengikat Abu Hanifa. Dan timbulnya aliran ini sebagai reaksi terhadap
mu’tazilah.
1.
Maturudiyah Samarkand (al Maturidi)
a.
Riwayat hidup al Maturidi
Nama lengkapnya Abu Mansur Muhammad bin Muhammad
al Maturidi adalahteolog terkemuka yang menggolongkan dirinya ke dalam barisan
kaum Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Paham teologis yang dikemukakannya dan
dianut oleh para pengikutnya kemudian dikenal dengan Maturidiah.[7] Beliau lahir di Maturid dekat dengan
Samarkand (di Asia Tengah pada tahun 852 M / 238 H) yang tanggal kelahirannya
tidak dapat diketahui secara pasti dan hanya merupakan suatu perkiraan, yaitu
berdasarkan bahwa, ketika gurunya (Muhammad bin Muqatil al Razi) wafat pada
tahun 862 M atau 248 H, beliau sudah berusia sepuluh tahun. Jika perkiraan ini
benar, maka berarti ia mempunyai usia yang sangat panjang karena di ketahui
beliau wafat di Samarkand
pada 944 M / 333 H.[8] Adapun nama al
Maturidi dihubungkan dengan tempat kelahirannya yaitu Maturid.
Al Maturid memperdalam ilmu dari beberapa orang guru
di daerahnya. Guru-guru al Maturidi adalah murid Abu Hanifah. Dari guru-gurunya
itulah membuat al Maturidi dikenal dalam bidang fiqih, ilmu Kalam, tafsir
sekalipun akhirnya ia lebih populer sebagai mutakallimin. Oleh karena ia
lebih banyak memfokuskan perhatiannya kepada ilmu kalam, karena ketika itu ia
banyak berhadapan dengan paham teologi lain seperti Mu’tazilah.[9]
Pemikiran-pemikiran
al Maturidi jika dikaji lebih dekat, maka akan didapati bahwa al Maturidi
memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal manusia dibandingkan dengan
Asy’ari. Namun demikian di kalangan Maturidiah sendiri ada dua kelompok yang
juga memiliki kecenderungan pemikiran yang berbeda yaitu kelompok Samarkand yaitu pengikut-pengikut al Maturidi sendiri yang
paham-paham teologinya lebih dekat kepada paham Mu’tazilah dan kelompok Bukhara yaitu pengikut al
Bazdawi yang condong kepada Asy’ariyah.
b. Pemikiran-pemikiran al
Maturidi
Seperti
yang telah diuraikan bahwa pemikiran al Maturidi pada dasarnya sedikit berbeda
dengan pemikiran al Bazdawi yang kemudian berkembang menjadi dua cabang aliran
Maturidiah yaitu Maturidiah Samarkand oleh Abu Mansur al Maturidi sendiri. Diantara
pemikiran-pemikiran teologis al Maturidi yang akan dibahas di sini adalah
sebagai berikut :
1) Akal dan Wahyu
Berbicara
mengenai akal dan wahyu dalam paham teologi, maka ada empat masalah pokok yang
diperdebatkan. Apakah keempat masalah tersebut dapat diketahui akal atau tidak,
apakah hanya dapat diketahui oleh wahyu dan lain sebagainya. Keempat masalah
pokok tersebut adalah : Mengetahui Tuhan, Kewajiban mengetahui Tuhan,
Mengetahui baik dan buruk dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang
buruk sebelum datangnya wahyu.
Al Maturidi
berpendapat bahwa akal dapat mengetahui eksistensi Tuhan. Oleh karena Allah
sendiri memerintahkan manusia untuk menyelidiki dan merenungi alam ini. Ini
menunjukkan bahwa dengan akal, manusia dapat mencapai ma’rifat kepada Allah.[10] Mengenai
kewajiban manusia akan kemampuan mengetahui Tuhan dengan akalnya menurut al
Maturidi Samarkand sebelum datangnya wahyu itu juga adalah wajib diketahui oleh
akal, maka setiap orang yang sudah mencapai dewasa (baligh dan berakal)
berkewajiban mengetahui Tuhan.[11] sehingga akan berdosa
bila tidak percaya kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu.
Begitu pula
mengenai baik dan buruk, akal pun dapat mengetahui sifat baik yang terdapat
dalam yang baik dan sifat buruk yang terdapat dalam yang buruk. Dengan
demikian, akal yang juga tahu bahwa berbuat buruk adalah buruk dan berbuat baik
adalah baik. Akal selanjutnya akan membawa kepada kemuliaan dan melarang
manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang membawa kepada kerendahan. Perintah
dan larangan dengan demikian menjadi wajib dengan kemestian akal. Yang
diwajibkan akal adalah adanya perintah larangan yang dapat diketahui akal
hanyalah sebab wajibnya perintah dan larangan itu.[12]
Adapun mengenai kewajiban berbuat baik dan
menjauhi yang buruk, menurut paham Maturidiah Samarkand akat tidak berdaya
mewajibkan manusia terhadap hal tersebut. Karena kewajiban berbuat baik dan
menjauhi yang buruk hanya dapat diketahui oleh wahyu.
2) Sifat Tuhan
Bagi
al Maturidi bahwa Tuhan itu mempunyai sifat-sifat,[13] tetapi sifat-sifat itu bukan zat. Dengan
kata lain sifat-sifat itu bukanlah suatu yang berdiri pada zat. Sifat itu qadim
dengan qadimnya zat. Kekalnya sifat-sifat itu sendiri, akan tetapi kekalnya
sifat itu melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan. Oleh
karena sifat-sifat itu bukan berdiri sendiri maka tidaklah terjadi ta’addud
al qudama’ sebagaimana paham Mu’tazilah yang menafikan sifat karena
beranggapan akan terjadi ta’addud al qudama’
3) Perbuatan Manusia
Maturidi
berpendapat bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan. Ada dua jenis perbuatan
yakni: perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan dimanifestasikan
dalam bentuk penciptaan daya dalam diri manusia, dan pemakaian daya itulah
merupakan perbuatan manusia[14].
Dari
keterangan di atas dapat dilihat bahwa Maturidi mengambil jalan tengah antara
Mu’tazilah dengan Asy’ariyah, dimana Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia
menciptakan perbuatannya dengan adanya kemampuan yang diberikan oleh Allah
kepadanya, sedangkan pendapat Asy’ariyah yang menyatakan bahwa manusia tidak
mempunyai efektifitas dalam perbuatannya karena ia hanya memiliki kasab yang
terjadi bersamaan dangan penciptaan daya dan bukan pengaruh dirinya. Sedangkan
Maturidi memandang kasab itu ada karena kemampuan dan pengaruh manusia.
2. Maturudiyah Bukhara (al
Bazdawi)
a. Riwayat hidupnya
Nama lengkapnya
ialah Abu Yusr Muhammad bin Muhammad bin al Husain bin Abd. Karim al Bazdawi,
dilahirkan pad tahun 421 H.[15] Kakek al Bazdawi yaitu Abd. Karim,
hidupnya semasa dengan al Maturidi dan salah satu murid al Maturidi, maka
wajarlah jika cucunya juga menjadi pengikut aliran Maturidiyah. Sebagai tangga
pertama, al Bazdawi memahami ajaran-ajaran al Maturidi lewat ayahnya.[16]
Al Bazdawi
mulai memahami ajaran-ajaran al Maturidiyah lewat lingkungan keluarganya
kemudian dikembangkan pada kegiatannya mencari ilmu pada ulama-ulama secara
tidak terikat. Ada beberapa nama ulama sebagai guru al Bazdawi antara lain :
Ya’kub bin Yusuf bin Muhammad al Naisaburi dan Syekh al Imam Abu Khatib. Di
samping itu, ia juga menelaah buku-buku filosof seperti al Kindi dan buku-buku
Mu’tazilah seperti Abd. Jabbar
al Razi, al Jubba’i, al Ka’bi, dan al Nadham. Selain itu ia juga mendalami
pemikiran al Asy’ari dalam kitab al Mu’jiz. Adapun dari karangan-karangan al
Maturidi yang dipelajari ialah kitab al Tauhid dan kitab Ta’wilah al Qur’an.[17] Al Bazdawi berada di
Bukhara pada tahun 478 H / 1085 M. Kemudian ia menjabat sebagai qadhi Samarkand
pada tahun 481 H / 1088 M, lalu kembali di Bukhara dan meninggal di kota
tersebut tahun 493 H / 1099 M.[18]
b. Pemikiran-pemikiran al
Bazdawi
Dalam
pembahasan selanjutnya akan dikemukakan beberapa pemikiran al Bazdawi di
antaranya sebagai berikut:
1) Akal dan Wahyu
Al Bazdawi
berpendapat bahwa akal tidak dapat mengetahui tentang kewajiban mengetahui
Tuhan sekalipun akal dapat mengetahui Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Kewajiban
mengetahui Tuhan haruslah melalui wahyu.[19] Begitu pula akal
tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban mengerjakan yang baik dan buruk. Akal
dalam hal ini hanya dapat mengetahui baik dan buruk saja. Sedangkan menentukan
kewajiban mengenai baik dan buruk adalah wahyu.
Dalam paham
golongan Bukhara dikatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui
kewajiban-kewajiban dan hanya mengetahui sebab-sebab yang membuat
kewajiban-kewajiban menjadi suatu kewajiban. Di sini dapat dipahami bahwa
mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu
tidaklah wajib bagi manusia.[20]
Di sinilah
wahyu mempunyai fungsi yang sangat penting bagi akal untuk memastikan kewajiban
melaksanakan hal-hal yang baik dan menjauhi hal-hal yang buruk. Sebagaimana
dikatakan al Bazdawi, akal tidak dapat memperoleh petunjuk bagaimana cara
beribadah dan mengabdi kepada Tuhan. Akal juga tidak dapat memperoleh petunjuk
untuk melaksanakan hukum-hukum dalam perbuatan-perbuatan jahat.[21]
2) Sifat-sifat Tuhan
Al Bazdawi
berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Tuhan pun qadim. Akan
tetapi untuk menghindari banyaknya yang menyertai qadimnya zat Tuhan,
maka al Bazdawi mengatakan bahwa ke qadiman sifat-sifat Tuhan itu
melalui ke qadiman yang melekat pada diri zat Tuhan, bukan melalui ke qadiman
sifat-sifat itu sendiri.[22]
3) Perbuatan manusia
Al Bazdawi
berpendapat bahwa perbuatan manusia itu di ciptakan Tuhan, sekalipun perbuatan
tersebut di sebabkan oleh qudrah hadisah yang berasal dari manusia itu
sendiri.[23] Karena timbulnya perbuatan itu terdapat
dua daya yaitu daya untuk mewujudkan dan daya untuk melakukan.
Meskipun
dua tokoh aliran Maturidi dan juga Asy’ari berbeda dalam beberapa hal tetapi
punya prinsip yang sama. Jika terdapat pertentangan antara akal dan usaha, maka
akal harus tunduk kepada wahyu. Itulah satu contoh sehingga mereka terpadu
dengan satu aliran besar (Ahlu Sunnah Wal Jama’ah). Di samping itu mereka
tampil menentang Mu’tazilah, hanya saja Asy’ari berhadapan langsung dengan
pikiran yang sangat bertentangan dengan Mu’tazilah.
Meskipun
dalam perjalanan sejarah ilmu kalam, termasuk penjelasan tersebut diatas
tentang pemikiran al_Maturidiyah. Aliran maturidiyah, baik samarkand maupun
bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin
karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang
diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang
dilakukannya di dunia. jika ia meninggal tanpa tobat terlebih
dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah
SWT. jika menghendaki pelaku dosa besar diampuni, ia akan
memasukkan ke neraca, tetapi tidak kekal didalamnya.
C. Kesimpulan
Berdasarkan
penjelasan diatas, golongan al-Maturidiyah terpecah menjadi dua golongan
Samarkand dan Bukhara. Demikian pemikiran atau doktrin-doktrinnya juga berbeda,
dalam masalah akal dan wahyu Maturidiyah Samarkand,bahwa akal lebih tinggi
disbanding kedudukan wahyu dengan kata lain sama dengan pendapat aliran
Mu’tazilah tentang kedudukan wahyu dan akal. Sedangkan Maturidiyah Bukhara
bahwa wahyu dan akal saling berdampingan dan saling menguatkan dengan kata lain
kedudukan wahyu dan akal adalah seimbang.
Bgitu juga
dengan sifat Tuhan golongan Samarkand berpendapat Tuhan mempunyai sifat-sifat, Tuhan mengetahui bukan dengan
zatnya, melainkan dengan pengetahuannya. Begitu juga Tuhan berkuasa dengan
zatnya. Mengetahui
perbuatan-perbuatan manusia maturidi sependapat dengan golongan mu’tazilah,
bahwa manusialah sebenarnya menwujudkan perbuatan-perbutannya. Adapun
Bukhara berpendapat
bahwa perbuatan manusia itu di ciptakan Tuhan.
Daftar Kepustakaan
Hanafi, Ahmad. Teologi Islam ( Ilmu Kalam ). Cet. X, Jakarta :
Bulan Bintang , 1993.
Hasan Mu’arif, Ambary. Ensiklopedi
Isla. Jakarta : Ikrar Mandiri Abadi, 2002.
Hasan Ali bin Ismail
al-Asy’ary, Abui. Al-Ibanah an Ushul al-Diyanah. Madinah: al- Jami’ah al-Islamiyah
Markaz Su’untuk al-Dakwah, 1409.
Hasyim, Umar. Apakah
Anda Termasuk Golongan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah. Surabaya : Bina Ilmu,
1986.
Iskandar Al-Barsany, Noer. Pemikiran
Kalam Imam Abu mansur A-Maturidi, Perbandingan dengan Kalam Mu’tazilah dan
Al-Asy’ari. Jakarta: Srigunting, 2001.
Madkur Ibrahim. Fi
al-Falsafat al-Islamiyah, di terjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin dengan
judul, Aliran dan Teori Filsafat Islam. Cet. Ke-1 ; Jakarta : Bumi
Aksara, 1995.
Nasution, Harun. Teologi
Islam Aliran-Aliran Sejarah, Analisa Perbandingan. Cet. Ke-5; Jakarta: UI
Press, 1986.
Sharif. Aliran-Aliran Filsafat Islam Mu’tazilah, Asy’ariyyah,
Maturidiyah, Thahawiyah, Zhariyyah, Ihwan as-Shafa. Bandung: Nuansa
Cendekia, 2004.
Sudarsono. Filsafat Islam. Jakarta: Reinika Cipta: 2004.
[1] Ibrahim Madkur, Fi
al-Falsafat al-Islamiyah, di terjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin dengan
judul, Aliran dan Teori Filsafat Islam ( Cet. Ke-1 ; Jakarta : Bumi Aksara, 1995 ) , h. 46.
[2] Ahmad Hanafi, Teologi Islam ( Ilmu Kalam
) ( Cet. Ke- 10 ; Jakarta : Bulan Bintang , 1993 ), h. 70.
[3] Sudarsono, Filsafat Islam (Jakarta: Reinika Cipta: 2004), h. 14.
[4] Lihat Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran
Sejarah, Analisa Perbandingan (Cet. Ke-5; Jakarta : UI Press, 1986), h.
76.
[5] Ibid. , h. 94.
[6] Noer Iskandar Al-Barsany, MA, Pemikiran Kalam Imam
Abu mansur A-Maturidi, Perbandingan dengan Kalam Mu’tazilah dan Al-Asy’ari,
(Jakarta: Srigunting, 2001).
[8]
Ahmad Hanafi, Teologi Islam ( Ilmu Kalam ) ( Cet. Ke- 10 ;
Jakarta : Bulan Bintang , 1993 ), h. 70.
[11] Al-Bazdawi. Kitab Usuluddin
.
Al-Bazdawi. Kitab Usuluddin. Kahirah: Dr.
Kahirah: Dr. Hans Piter Lins (Et. Al), Dar Haya'. Hans Piter Lins (Et. Al), h. 207.
[12] Nasution, Harun, Teologi
Islam (Jakarta:
UI-Press, 1978)., h. 89-90.
[13] Ibid., h. 76.
[14] Ibid., h. 112.
[15] Kitab Ushul al Din., h. 10.
[16] Harun, Teologi
Islam., h. 77.
[17] Kitab Ushul al
Din., h. 11.
[18] Ibid.,h. 13.
[19] Ibid., h. 209.
[20] Ibid., h. 92.
[21] Harun, Teologi Islam.,
h. 91.
[22] Ibid., h. 104.
[23] Ibid., h. 107.
3 comments:
makalah ini saya copy gan. . .
semoga bermanfaat
syukron ustad... izin copy ya
Post a Comment