RAGAM TEORI PENAFSIRAN AL-QUR’AN
PENDEKATAN TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL
Oleh : Ariffudin
A. Pendahuluan
Secara singkat tafsir adalah
suatu upaya mencurahkan pemikiran untuk memahami, memikirkan dan mengeluarkan
hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an agar dapat diaplikasikan sebagaian dasar
utama penetapan hukum.[1]. Pada Al-Qur’an istilah tafsir di sebutkan dalam surat Al-Furqan :33,
”tidakkah orang-rang kafir itu datang kepadamu (membawa) seuatu yang ganjil
melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penafsirannya(penjelasannya)”.[2]. Kata tafsir merupakan masdar dari kata fasara yang mempunyai
arti keadaan jelas (nyata dan terang) dan memberikan penjelas.
Para ulama kebanyakan memberikan pengertian tentang tafsir pada
intinya untuk menjelaskan hal-hal yang masih samar yang di kandung dalam
Al-Qur’an sehingga dengan mudah dapat dimengerti, mengeluarkan hukum yang
terkandung didalamnya untuk diterapkan dalam kehidupan sebagai suatu ketentuan
hukum.[3].
Jalaluddin As-Suyuti
mendefinisikan ilmu tafsir sebagai ilmu yang membahas ketentuan-ketentuan dari
Al-Qur’an dari segi turunnya, sanadnya, sastranya, lafadlnya, makna-makna yang
berhubungan dengan lafadl-lafaldnya.[4] Sedangkan menurut Prof. Dr. M. Amin Abdullah mengetakan tafsir
lebih dikenal sebagai cara mngurai bahsa, konteks, dan pesan-pesan moral yang
terkandung dalam teks atau nash kitab suci.Dalam hal ini teks dijadikan sebagai
subjek.Ta’wil adalah cara untuk memahami teks dengan menjadikan teks, atau
lebih tepat disebut pemahaman, pemaknaan, dan interpretasi terhadap teks,
sebagai objek kajian.[5]
Apapun pendapat tentang
penafsiran, tetapi yang paling penting adalah metode dan pendekatan yang
digunakan dalam menafsirkan Al-Qur;an. Dalam rangka menafsirkan Al-Qur’an
diperlukan beberapa metode dan pendekatan. Metode tafsir yang masyhur antara
lain yaitu; metode tafsir tahlili (analistis), metode tafsir maudhu’i
(tematik), metode tafsir muqaran (komparatif), dan metode tafsir ijmali
(global). Sedangkan pendekatannya, antara lain
pendekatan Objektif dan Pendekatan Subjektif, Pendekatan Langsung dan Tidak
Langsung, Pendekatan Komprehensif dan Pendekatan Sektoral, Pendekatan
Disipliner, Pendekatan Multi disipliner, dan Pendekatan Interdisipliner serta
Pendekatan Tekstual dan Pendekatan Konstektual. Demikian dalam makalah ini akan dibahas
mengenai ragam teori penafsiran Al-Qur’an dengan pendekatan tekstual dan
kontekstual.
B. Pendekatan
Tekstual dan Pendekatan Konstektual
Pada dasarnya pendekatan tekstual
dan kontekstual adalah sama dengan beberapa pendekatan di atas. Hanya saja istilah
ini muncul dari sumber yang berbeda.
1.
Pendekatan Tekstual
Secara sederhana tekhnik ini dapat diasosiasikan dengan tafsir bi
al-ma’tsur. Nash yang dihadapi ditafsirkan sendiri dengan nash baik AL-Qur’an
ataupun hadist.[6] Tafsir bilma’tsur[7]
yang menempati posisi pertama dalam masa penafsiran al-quran dibagi menjadi dua
priode
a. Priode Riwayah
Pada priode
ini para sahabat menukil sabda nabi dan para sahabat sendiri dan tabiin untuk
menjelaskan tafsir al-quran, dan pengambilan tersebut dilakukan dengan teliti
dan waspada demi menjaga keshalehan dan keshohehan Isnad penukilan
sehinggadapat menjaga apa yang di ambil.
b. Priode Tadwin (pembukuan)
Pada Priode
ini para sahabat atau tabiin mencatat dan menghimpun penukilannya yang sudah
dianggap shaheh setelah diadakan penelitian, sehingga himpunan tersebut
membentuk ilmu sendiri. Sekalipun aliran ini mempunyai banyak kelebihan seperti
penafsiran yang mendekati obyektivitas yang didasarkan atas ayat-ayat al-quran
dan hadis nabi Muhammad SAW. Tetapi ia juga mempunyai kelemahan, misalnya
adanya cerita Israiliyat yang dianggapsebagai hadits dan hal itu menyesatkan
umat, munculnya hadits palsu.[8]
Dengan kata
lain, yang dimaksud dari tafsir al matsur adalah tafsir Al Qur’an dengan Al
Qur’an, Al Qur’an dengan As-Sunah atau penafsiran Al Qur’an menurut atsar yang
timbul dari kalangan sahabat.[9]
Contoh Tafsir Al Qur’an dengan Al Qur’an ; Q.S (5) : 1 yang menjelaskan tentang
binatang ternak yang halal. Kemudian dijelaskan lagi dalam ayat berikutnya, Q.S
Al Maidah (5) :3 tentang hal-hal yang diharamkan untuk dimakan, termasuk
didalamnya binatang ternak yang haram. Contoh tafsir Al Qur’an dengan Sunah,
Q.S Al Baqarah (2) : 238, yang menegaskan tentang shalat Wustha, Rasul
menjelaskan pengertian tersebut dengan Shalat Ashar.
Dari
berbagi pendapat bahwa tafsir bil ma’tsur betul-betul di telusuri
keoutentisitasannya ayat, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Azzarqani
atas pernyataannya terhadap keengganan beliau memasukkan penafsiran
tabi’in kedalam Al-ma’tsur karena dilatar belakangi oleh : Banyak diantara
tabi’in itu terlalu terpengaruh oleh riwayat-riwayat isra’iliyat yang
berasal dari kaum Yahudi dan Ahli kitab yang masuk islam seperti kisah
para nabi dan kisah ash-habul kahfi, akan tetapi ada diantara tabiin membenarkannya.[10]
Sebagian
mufassirin meneliti terjadinya perbedaan yang dimaksud diatas akan memunculkan
terhadap beberapa kelemahan terhadap tafsir bilma’tsur, antara lain munculnya
periwayatan yang tanpa sanad walaupun sekecil mungkin. Berikut beberapa faktor
terjadinya kelemahan tafsir bilma’tsur :
a.
Campur baur antara yang shahih dan yang tidak shahih serta banyak
mengutib kata-kata yang dinisbatkan kepada shahabat atau tabiin tanpa memiliki
sandaran dan ketentuan, sehingga menimbulkan percampur adukkan antara hak dan
yang bathil.
b.
Riwayat-riwayat tersebut ada yang dipengaruhi oleh cerita-cerita israiliyat
dan khuffarat yang bertentangan dengan Aqidah islamiyah dan telah ada dalil
yang dan ahli kitab yang telah masuk islam
c.
Dikalangan sahabat ada golongan yang extrim mereka mengambil beberapa
pendapat dan membuat-buat kebatilan yang dinisbatkan kepada sebagian
sahabat, misalkan kelompok syi’ah yang fanatic kepada Ali, mereka sering
mengatakan hadisnya dari Ali akan tetapi setelah dilakukan penelusuran Ali sendiri
tidak pernah mengetahuinya.
d.
Musuh-musuh islam dari orang sindik berusaha mengecoh sahabat dan tabi’in
sebagaimana mereka pernah mengecoh Nabi SAW. Hal ini dimaksudkan untuk
menghancurkan agama islam dengan jalan menghasud dan membuat hadis.[11]
Dengan demikian metode
penafsiran Al-Qur’an secara tekstual adalah pendekatan pemahaman ayat-ayat
Al-Qura’an terfokus pada shohihul manqul (riwayat yang shohih) dengan
menggunakan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, penafsiran al-Qur’an dengan
sunnah, penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para sahabat dan penafsiran
al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in. Yang mana sangat teliti dalam
menafsirkan ayat sesuai dengan riwayat yang ada.
2. Pendekatan
Konstektual
Al-Qur’an adalah Kitab suci yang salih li kulli zaman wa makan. Selama
empat belas abad Al-Qur’an tetap bertahan sebagai penerang dalam memecahkan
berbagai masalah. Prof. Dr. Amin Abdullah memaparkan ada dua ranah keprihatinan
umat islam dewasa ini dalam memahami Al-Qur’an.pertama , bagaimana dapat
memahami ajaran Al-Qur’an yang bersifat universal(rahmatan li al-alamin) secara
tepat, setelah terjadi proses modernisasi, globalisasi, dan informasi yang
membawa perubahan sosial yang begitu cepat.kedua, bagaimana sebenarnya konsepsi
dasar AL-Qur’an dalam menaggulangi ekses-ekses negatif dari deru roda perubahan
sosial pada era modernitas seperti saat ini.[12]
Kata
“kontekstual” berasal dari “konteks” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengandung dua arti: 1) bagian sesuatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung
atau menambah kejelasan makna; 2) situasi yang ada hubungan dengan suatu
kejadian.[13] Kedua arti ini dapat
digunakan karena tidak terlepas istilah dalam kajian pemahaman tafsir
kontekstual.
Dari sini pemahaman
kontekstual atas Al-Qur’an, adalah memahami makna ayat-ayat Al-Qur’an dengan
memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang
melatarbelakangi turunnya ayat-ayat tersebut, atau dengan kata lain, dengan
memperhatikan dan mengkaji konteksnya. Dengan demikian asbab nuzul dalam
kajian kontekstual dimaksud merupakan bagian yang paling penting. Tetapi kajian
yang lebih luas tentang pemahaman kontekstual tidak hanya terbatas pada asbabnuzul
dalam arti khusus seperti yang biasa dipahami, tetapi lebih luas dari itu
meliputi: konteks sosio-historis di mana asbab nuzul merupakan bagian
darinya. Dengan demikian, pemahaman kontekstual atas ayat-ayat
Al-Qur’an, berarti memahami Al-Qur’an berdasarkan kaitannya dengan
peristiwa-peristiwa dan situasi ketika ayat-ayat diturunkan, dan kepada siapa
serta tujuannya apa ayat tersebut diturunkan.
Untuk itulah Al-Qur’an berusaha di dialogkan dengan realita zaman sekarang,
memalui studi kontekstualitas Al-Qur’an. Sedangkan makna yang labih luas lagi,
studi tentang kontekstual Al-Qur’an adalah studi tentang peradaban yang didasarkan
pada pendekatan Sosio-Historis. Adapaun pemahaman sosio-historis dalam
pendekatan Kontekstual adalah pendekatan yang menekankan pentignya memahami
kondisi-kondisi aktual ketika Al-Qur’an diturunkan, dalam rangka menafsirkan pernyataan
legal dan sosial ekonominya. Atau dengan kata lain, memahami Al-Qur’an dalam
konteks kesejarahan dan harfiyah, lalu memproyeksikannya kepada situasi masa
kini kemudian membawa fenomena-fenomena sosial ke dalam naungan-naungan tujuan
Al-Qur’an.
Aplikasi pendekatan kesejarahan ini menekankan pentingya perbedaan antar
tujuan atau”ideal moral” Al-Qur’an dengan ketentuan legal spesifiknya. Idela
moral yang dituju Al-Qur’an lebih pantas diterapkan ketimbang ketentuan legal
spesifiknya. Jadi dalam kasus seperti perbudakan yang di tuju Al-Qur’an adalah
emansipasi budak. Sementara penerimaan Al-Qur’an terhadap pranata tersebut
secara leagl, dikarenakan kemustahiilan untuk menghapuskan seketika.[14]
Pendekatan sejarah tersebut tidak bisa lepas dari asbab al-nuzul ayat
Al-Qur’an yang biasanya-walau tidak seluruhnya-bersumber dari sunah, atsar
ataupun dari tabi’in. Jadi, secara metodologis tekhnik ini termasuk kedalam
metode tafsir bi al-ma’tsur.[15] Hubungan teks dan
konteks bersifat dialektis; teks menciptakan konteks, persis sebagaimana
konteks menciptakan teks; sedangkan makna timbul dari keduanya.[16] Upaya ke arah penafsiran kontekstual terhadap teks-teks
Al-Qur-an pertama-tama harus dimulai dengan menempatkan prinsip ketuhanan
Tauhid. Di sinilah, maka ayat-ayat al Qur-an yang bermakna pesan-pesan yang
bersifat universal ini harus menjadi
dasar bagi seluruh cara pandang penafsiran kita terhadap teks-teks atau
ayat-ayat Al-Qur’an.
C.
Kesimpulan
Berdasarkan
paparan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pedakatan dalam rangka menafsirkan Al-Qur’an diperlukan beberapa pendekatan
diantaranya adalah pendekatan Tekstual pendekatan pemahaman ayat-ayat
Al-al-Qur’an dengan al-Qur’an, penafsiran al-Qur’an dengan sunnah, penafsiran
al-Qur’an dengan perkataan para sahabat dan tabi’an. Sedangkan pendekatan Konstektual studi yang didasarkan pada pendekatan
Sosio-Historis. Adapaun pemahaman sosio-historis dalam pendekatan Kontekstual
adalah pendekatan yang menekankan pentignya memahami kondisi-kondisi aktual
ketika Al-Qur’an diturunkan, dalam rangka menafsirkan pernyataan legal dan
sosial yang terjadi pada masa lampau sampai sekarang.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an Karim
Alal al-Din As-Suyuti. lmu al-Tafsir Manqul Min Kitab Itmam al-Diroyah. Semarang: Karya Toha Putra,____.
Baidan, Nasruddin. Metode Penafsiran Al-Qura. Yogyakarta,
Pustaka Pelajar,2002.
Mohammad, Ash-Shabuni. Ali.
Penerj. Amnuddin, Attibyan fii ulumi
quran. (Studi Ulumul Alquran).
Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998.
Muhaimin, dkk. Kawasan
Dan Wawasan Studi Islam (Jakarta, Prenada Media, 2005.
Suryadilaga,
M. Fatih, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras,
2005.
Syamsudin,
Sahiron, dkk. Hermeneurika Al-Qur’an
Mazhab. Yogya, Yogya Islamika,.2003.
Syihab,
Quraisyi. Tafsir al-Misbah.
Tangerang: Lentera Hati, 2005
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka 1989.
[1] Syihab
Quraisyi., Tafsir al-Misbah (.Tangerang: Lentera Hati, 2005),
[2] Qur’an, 25,33.
[3] Syamsudin, Sahiron dkk.
Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab (Yogya: Penerbit Islamika), 2003.
[4] Jalal al-Din As-Suyuti , lmu
al-Tafsir Manqul Min Kitab Itmam al-Diroyah .(Semarang: Karya Toha Putra,___), 1.
[6] M. Fatih Suryadilaga,dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta, Teras, 2005), 84
[7] Tafsir dengan metode Riwayat (matsur) adalah
rangkaian keterangan yang terdapat dalam Al Qur’an, sunah, atau kata-kata
sahabat sebagai penjelasan maksud dari firman Allah, yaitu penafsiran Al Qur’an
dengan sunah nabawiyah.
[8]
Muhaimin, dkk. Kawasan Dan Wawasan Studi
Islam (Jakarta, Prenada
Media, 2005), 111
[9] Muhammad Ali Ash-Shabuuniy, Studi Ilmu Al Qur’an,
alih Bahasan, Amiudin, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), 248.
[10]
Nasruddin Baidan, Metode Penafsiran
Al-Quran, (Yogyakarta, Pustaka
Pelajar,2002), 42-43.
[11] Mohammad, Ash-Shabuni. Ali. Penerj. Amnuddin,
Attibyan fii ulumi quran,(Studi Ulumul Alquran), Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), 257.
[12] Sahiron Syamsudin ,dkk ,Hermeneurika Al-Qur’an Mazhab (Yogya,
Yogya Islamika,.2003), xvi
[13] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka 1989),
458.
[14] M. Fatih Suryadilaga,dkk, Metodologi
Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005),
138-142.
[15] M. Fatih Suryadilaga,dkk, Metodologi
Ilmu Tafsir, 88.
[16] Sahiron Syamsudin ,dkk ,Hermeneurika
Al-Qur’an Mazhab, 91.
No comments:
Post a Comment