BUDAYA LITERASI
Pendidikan literasi yang dilakukan di Indonesia, ditengarai belum mengembangkan kemampuan berpikir tinggi, atau HOTS (Higher Order Thinking Skills) yang meliputi kemampuan analitis, sintesis, evaluatif, kritis, imajinatif, dan kreatif. Hal ini tergambar bahwa di sekolah, terdapat dikotomi antara belajar membaca (learning to read) dan membaca untuk belajar (reading to learn). Kegiatan membaca belum mendapatkan perhatian yang mendalam, terutama di mata pelajaran non-bahasa. Ketika mempelajari konten mata pelajaran normatif, adaptif dan produktif, guru kurang menggunakan teks materi pelajaran untuk mengembangkan kemampuan berpikir tinggi tersebut.
Siswa SMK yang terlahir di era teknologi informasi (digital natives) membaca dan menulis dilakukan dengan cara yang berbeda dari generasi sebelum mereka. Kecakapan ini harus terakomodasi di ruang kelas maupun di lingkungan SMK, sehingga harus dimanfaatkan secara maksimal untuk meningkatkan kecakapan kognitif, sosial, bahasa, visual, dan spiritual.
LITERASI DI SMK
Mengutip dari Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah (GLS), melalui panduan ini disajikan berbagai kegiatan dalam pelaksanaan GLS di SMK Krian 1. Dalam mengimplementasikan Gerakan Literasi Sekolah (GLS), dilakukan berbagai intervensi dan pembiasaan. Intervensi dilakukan dengan pemberlakuan Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, dilakukan melalui berbagai pelatihan dan seminar; sedangkan pembiasaan dilakukan dengan pendemonstrasian berbagai contoh teladan dari kepala sekolah, guru, dan warga sekolah lainnya sebagai langkah awal pembiasaan. GLS di SMK Krian 1 yang meliputi berbagai kegiatan yang praktis dan dapat diimplementasikan di SMK, sebagai berikut ini :
1. Gerakan membaca
Gerakan membaca adalah suatu gerakan yang bertujuan untuk pembiasaan membaca bagi semua warga sekolah. Peserta didik dibimbing, didampingi dan diarahkan untuk melakukan kegiatan membaca mandiri, yaitu membaca buku atau sumber lain nonpelajaran, melalui kegiatan-kegiatan berikut ini :
a. Membiasakan membaca dalam hati selama 35 menit sebelum kegiatan pembelajaran.
b. Membudayakan membaca bersama-sama bagi guru dan peserta didik (guru menjadi contoh).
c. Mendisiplinkan membaca karya sastra sampai selesai dengan membuat daftar buku yang sudah selesai dibaca (perlu ada program baca, misalnya dengan sustained silent reading yang sering disingkat SSR), dengan kaidah :
1) membudayakan membaca di setiap kesempatan
2) membiasakan untuk berdiskusi tentang buku yang sudah dibaca, menuliskan kembali/membuat resensi, dan presentasi; dan
3) membuat karya atau menuliskan kesan atau rangkuman setelah selesai membaca (hasilnya digunakan untuk gelar karya).
d. Membudayakan meramaikan mading dan atau buletin/majalah peserta didik di setiap sekolah.
e. Mewajibkan setiap guru bidang studi untuk menerapkan metode diskusi dan presentasi pada beberapa kegiatan pembelajaran.
f. Menyediakan sudut buku kelas.
g. Mendokumentasikan karya peserta didik (cerpen, puisi, dll.) ke dalam bentuk buku.
h. Memberikan penghargaan non-akademik terhadap kebiasaan membaca.
i. Mengadakan perayaan literasi sepanjang tahun dan pameran.
Agar Gerakan membaca pada tahap pembiasaan di SMK Krian 1 dapat berlangsung dengan baik dan lancar, bebarapa konsep dasar tentang membaca perlu dipahami terlebih dahulu oleh para guru dan manajemen, diantaranya :
a. Konsep Membaca Mandiri
Dalam pembelajaran bahasa, kegiatan membaca mandiri dikenal dengan banyak istilah, misalnya Sustained Silent Reading (SSR), Drop Everything and Read (DEAR), dan Free Voluntary Reading. Adapun tujuan kegiatan membaca mandiri adalah :
1) meningkatkan kemampuan pemahaman membaca;
2) meningkatkan rasa cinta baca;
3) meningkatkan waktu membaca untuk kesenangan di luar jam pelajaran sekolah
4) meningkatkan penilaian diri sendiri sebagai pembaca yang baik;
5) menumbuhkan penggunaan berbagai sumber bacaan. Membaca mandiri bukanlah program pembelajaran membaca yang menjadi bagian dari kurikulum pembelajaran bahasa. Meskipun begitu, penyediaan buku bacaan dapat didesain untuk mendukung tema-tema yang dibahas dalam pembelajaran formal.
Dengan demikian, membaca mandiri dapat berfungsi sebagai sarana memberikan pengetahuan dasar tambahan kepada peserta didik. Tujuan membaca mandiri adalah untuk mengembangkan rasa cinta membaca dan merangsang tumbuhnya kegiatan membaca di luar sekolah. Program ini dinilai efektif untuk pembaca awal, bukan bagi yang sudah terbiasa membaca. Berdasarkan frekuensi pelaksanaan, membaca dalam waktu singkat namun sering (35 menit/hari) akan lebih efektif daripada waktu yang panjang namun dengan frekuensi yang lebih jarang (1 jam/1 minggu).
Dalam membaca mandiri, tiap peserta didik dapat membaca buku apapun sesuai minat mereka (buku yang baik yang berterima secara etika dan moral). Peserta didik yang mengikuti program membaca bebas diharapkan akan terus membaca saat program sudah berakhir.
b. Kaidah Membaca Mandiri
Pelaksanakan membaca mandiri sebaiknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi di sekolah, termasuk budaya yang melingkupinya. Ada delapan aspek penting yang perlu diperhatikan supaya membaca mandiri berhasil. Janice Pilgreen (2000) memberikan panduan untuk keberhasilan membaca mandiri. Berdasarkan pengalamannya melaksanakan membaca mandiri atau SSR selama bertahun-tahun dan hasil dari berbagai penelitian, Pilgreen merumuskan 8 aspek yang perlu hadir untuk menjamin keberhasilan program, yakni sebagai berikut :
1) Akses terhadap buku Akses terhadap buku dimaknai penyediaan berbagai jenis buku komersial, majalah, komik, koran, dan materi bacaan lain di ruang kelas. Untuk itu, diperlukan adanya sudut baca di setiap kelas yang dapat dipergunakan untuk memajang dan menyimpan materi bacaan dimaksud.
2) Daya Tarik buku Buku yang tersedia harus menarik, terdiri dari berbagai jenis tema, topik, dan genre, sesuai dengan minat peserta didik. Selain itu, tingkat keterbacaan juga harus disesuaikan dengan kemampuan dan usia peserta didik. Untuk itu, peserta didik perlu dilibatkan dalam pemilihan genre buku yang disediakan di ruang baca. Dalam pelaksanaan kegiatan membaca, peserta didik bebas memilih sendiri buku yang disukai.
3) Lingkungan yang kondusif Kegiatan membaca dalam hati memerlukan lingkungan kelas yang menyenangkan, santai, tidak kaku, dan tenang. Lingkungan yang kondusif bisa dibangun dengan memasang poster-poster tentang pentingnya membaca, pengaturan tempat duduk dan/atau sudut baca.
4) Dorongan untuk membaca Peserta didik akan lebih bersemangat untuk membaca bila guru dan staf di sekolah juga menjadi contoh yang baik. Untuk itu, diperlukan peran aktif guru sebagai model. Guru harus ikut membaca pada saat kegiatan membaca mandiri berlangsung. Bentuk dorongan lain adalah fungsi pustakawan atau staf pendukung dalam memberikan saran kepada peserta didik dalam hal pemilihan buku bacaan yang sesuai dengan minat.
5) Waktu tertentu untuk membaca Perlu ada waktu tertentu yang ditetapkan sebagai waktu membaca, misalnya 15 menit setiap hari, sesuai dengan Permendikbud Nomor 23 tahun 2015. Kegiatan membaca dalam waktu, namun sering dan berkala terbukti lebih efektif daripada satu waktu yang panjang namun jarang (misalnya 1 jam/ minggu pada hari tertentu). Kunci keberhasilan program membaca mandiri ini bukan pada jumlah jam dan menit membaca, namun keajegan dan frekuensi kegiatan. Hal ini penting untuk membangun kebiasaan membaca.
6) Tidak ada tagihan tugas Kegiatan membaca dalam hati diarahkan untuk membaca menyenangkan. Bentuk tugas seperti mengisi lembar catatan buku yang dibaca dan tanggapan personal tentang buku yang dibaca juga dibuat sebagai pilihan (tidak diwajibkan). Pemberian tugas seperti membuat ringkasan cerita akan menghilangkan sifat kegiatan membaca menyenangkan. Pertanyaan yang sering muncul dari guru-guru di sekolah-sekolah yang sudah mempraktikkan membaca mandiri di Indonesia adalah: “bagaimana mengukur peningkatan kemampuan membaca peserta didik bila tidak ada tugas atau tagihannya?” Perlu dipahami bahwa mandiri berbeda dengan program literasi lain seperti yang disebutkan di atas. Membaca mandiri, bukanlah kegiatan kelas untuk memberikan asesmen pada peserta didik. Tujuannya murni untuk memberikan kesempatan pada peserta didik menikmati waktu membaca buku apapun yang mereka sukai, bukan untuk dinilai oleh guru. Itulah sebabnya bentuk tagihan seperti membuat ringkasan atau reviu buku, kuis, dan latihan soal pemahaman wacana dihindari demi ‘kenikmatan’ membaca. Yang lebih penting lagi, guru juga ikut membaca pada saat yang sama. Sehingga, hal ini dianjurkan dilaksanakan pada Tahap Pembiasaan. Meskipun demikian, tugas-tugas yang terkait dengan kemampuan membaca perlu menjadi bagian dari kurikulum di pembelajaran bahasa memerlukan penanganan tersendiri dalam kegiatan akademik. Hal ini akan dilakukan pada tahap pembelajaran.
7) Kegiatan tindak lanjut Meskipun tidak boleh ada tugas, kegiatan tindak lanjut dianjurkan untuk dilaksanakan di kelas secara berkala, misalnya seminggu atau dua minggu sekali. Bentuk kegiatan tindak lanjut bisa berupa berbagi cerita tentang buku yang sudah dibaca dan diskusi singkat dengan teman tentang buku masingmasing.
8) Pelatihan staf Kegiatan membaca dalam hati memang sederhana dan tidak memerlukan banyak biaya. Meskipun begitu, guru dan staf sekolah perlu memiliki pemahaman yang selaras tentang tujuan dan metodologi kegiatan ini. Staf sekolah perlu mengetahui kajian-kajian ilmiah yang pernah dilakukan untuk memperkuat pelaksanaan kegiatan ini. Dengan begitu, kegiatan membaca dalam hati bisa berjalan dengan baik dan didukung oleh partisipasi aktif warga sekolah.
2. Festival/Lomba Literasi
a. Lomba penulisan karya ilmiah, sastra, dan atau resensi buku.
b. Lomba membaca puisi, menulis puisi/cerpen.
c. Lomba menulis/mengarang di Blog bagi guru dan peserta didik SMK.
d. Kompetisi pembuatan desain poster, slogan, karikatur, komik untuk konten tertentu (misalnya: kesehatan dan keselamatan kerja, menghormati guru, saling menghormati warga sekolah, sambutan kepada peserta didik baru).
e. Lomba membuat film pendek/video: dokumenter, iklan layanan masyarakat, profil sekolah, trailer sekolah, dll.
3. Pembudayaan e-learning
a. Mendorong pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
b. Mendorong guru memproduksi materi PJJ.
4. Pembudayaan e-mail dan/atau Blog warga SMK
a. Semua guru dan peserta didik SMK memiliki e-mail dan atau Blog.
b. Membudayakan Guru SMK menyajikan materi ajar melalui Blog.
c. Membiasakan guru SMK membuat tagihan tugas melalui e-mail
5. Penyedian Sarana e-literasi
a. Penyediaan akses internet sehat bagi SMK.
b. Penyediaan e-sabak/sabak digital (tablet)/buku sekolah elektronik bagi SMK.
6. Penyediaan Materi Ajar Elekronik
a. Melaksanakan kegiatan penyusun-an materi ajar.
b. Mengunggah materi ajar ke laman sekolah dan laman Direktorat Pembinaan SMK.
7. Penguatan/Pemahaman/Apresiasi Budaya dalam Kegiatan Seni dan Budaya
a. Teater, tari, seni tradisional.
b. Nonton bersama, menikmati budaya.
c. Mengundang budayawan, seniman, kreator, tokoh agama/masyarakat.
No comments:
Post a Comment