Wednesday, December 5, 2012

MAKALAH DAN STUDI HADITS TENTANG LARANGAN PEREMPUAN MENJADI PEMIMPIN


STUDI HADIST
(Studi Analisis Hadist tentang Larangan Perempuan Menjadi Pemimpin)

A.    Pendahuluan
Peranan  wanita  dalam  masyarakat  merupakan pokok persoalan. Dimana  kecenderungan  penilaian bahwa normativitas Islam menghambat ruang gerak wanita  dalam masyarakat.  Hal  ini  didukung  oleh  pemahaman  bahwa tempat  terbaik bagi wanita adalah di rumah,  sedangkan di luar rumah banyak terjadi  kemudharatan. 
Pandangan yang paling  umum adalah bahwa keluarnya  wanita  dari rumah untuk  maksud tertentu dihukumi  dengan  subhat, antara diperbolehkan  dan tidak.  Dalam  bahasan  fiqh ibadah, jika subhat lebih baik ditinggalkan.  Sedangkan dalam  fiqh muamallah bisa dijalankan  dengan  rukhshah darurat. Akan tetapi menurut pandangan Qardhawy, bahwa keluarnya wanita dari rumah untuk  keperluan  tertentu adalah diperbolehkan. Bahkan menahan wanita  di  dalam rumah hanyalah bentuk perkecualian dalam jangka  waktutertentu sebagai bentuk penghukuman.
1
 
Meski banyak pendapat yang mengatakan hadis larangan kepempimpinan politik perempuan dinilai sahih, ternyata masih dapat didiskusikan. Di kalangan ulama ada yang tidak sepakat terhadap pemakaian hadis tersebut bertalian dengan masalah perempuan dan politik. Tetapi banyak juga yang menggunakan hadis tersebut sebagai argumen untuk menggusur perempuan dari proses. pengambilan keputusan. Benarkah demikian, dari pembahasan makalah ini akan kami sebutkan beberapa hadist yang berkaitan dengan hal tersebut sebagaiman yang akan diuraikan dalam makalah ini.

B.     Pembahasan
1.      Hadist Pertama
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ أَيَّامَ الْجَمَلِ لَمَّا بَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ فَارِسًا مَلَّكُوا ابْنَةَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً (رواه البخاري)
Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Utsman bin Al Haitsam] telah menceritakan kepada kami ['Auf] dari [Al Hasan] dari [Abu Bakrah] mengatakan; Dikala berlangsung hari-hari perang jamal, aku telah memperoleh pelajaran dari pesan baginda Nabi, tepatnya ketika beliau Shallallahu'alaihiwasallam tahu kerajaan Persia mengangkat anak perempuan Kisra sebagai raja, beliau langsung bersabda: "Tak akan baik keadaan sebuah kaum yang mengangkat wanita sebagai pemimpin urusan mereka."  HR. Bukhari)

Sanad hadist, bermula dari Abu Bakrah yang mendengar lansung dari Nabi, kemudian Al-Hasan, “Auf serta Utsman bin Al Haitsam dan diriwayatkan oleh imam al-Bukhari. Abu bakrah adalah sahabat Nabi, kemudian al-Hasan sendiri dari kalangan Tabi’in sebagai thobaqot yang meriwayatkan hadist dari sejumlah Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta “Auf adalah golongan Tabi’ut Tabi’in kemudian diikuti oleh  Utsman bin Al Haitsam dan diriwayatkan oleh imam al-Bukhari.
Al-Bukhari lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal Imam Bukhari seorang ahli hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits. Berdasarkan analisis singkat para perawi atau sanad hadist tersebut dapat dikategorikan bahwa sanad hadist tersebut shahih dimungkinkan adanya keteesambungan ganerasi anatara perawi. Berikut skema sanad hadist tersebut:



 



‘Auf
 




 








2.      Hadist Kedua
حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْمَرْوَزِيُّ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنَا سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ َنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَزَادَ اللَّيْثُ الَ يُونُسُ كَتَبَ رُزَيْقُ إِلَى ابْنِ شِهَابٍ وَأَنَا مَعَهُ يَوْمَئِذٍ بِوَادِي الْقُرَى هَلْ تَرَى أَنْ أُجَمِّعَ َرُزَيْقٌ عَامِلٌ عَلَى أَرْضٍ يَعْمَلُهَا وَفِيهَا جَمَاعَةٌ مِنْ السُّودَانِ وَغَيْرِهِمْ َرُزَيْقٌ يَوْمَئِذٍ عَلَى أَيْلَةَ فَكَتَبَ ابْنُ شِهَابٍ وَأَنَا أَسْمَعُ يَأْمُرُهُ أَنْ يُجَمِّعَ  ُخْبِرُهُ أَنَّ سَالِمًا حَدَّثَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ َنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا َالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ قَالَ وَحَسِبْتُ أَنْ قَدْ قَالَ َالرَّجُلُ رَاعٍ فِي مَالِ أَبِيهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (رواه البخاري)
Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Bisyr bin Muhammad Al Marwazi] berkata, telah mengabarkan kepada kami ['Abdullah] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Yunus] dari [Az Zuhri] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Salim bin 'Abdullah] dari [Ibnu 'Umar] radliallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin." [Al Laits] menambahkan; [Yunus] berkata; Ruzaiq bin Hukaim menulis surat kepada [Ibnu Syihab], dan pada saat itu aku bersamanya di Wadi Qura (pinggiran kota), "Apa pendapatmu jika aku mengumpulkan orang untuk shalat Jum'at?" -Saat itu Ruzaiq bertugas di suatu tempat dimana banyak jama'ah dari negeri Sudan dan yang lainnya, yaitu di negeri Ailah-. Maka Ibnu Syihab membalasnya dan aku mendengar dia memerintahkan (Ruzaiq) untuk mendirikan shalat Jum'at. Lalu mengabarkan bahwa [Salim] telah menceritakan kepadanya, bahwa ['Abdullah bin 'Umar] berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas keluarganya. Seorang isteri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rumah tangga tersebut. Seorang pembantu adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan tanggung jawabnya tersebut." Aku menduga Ibnu 'Umar menyebutkan: "Dan seorang laki-laki adalah pemimpin atas harta bapaknya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atasnya. Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya." (HR. Bukhari)

Sanad hadist yang kedua ini, dari Ibn Umar, Salim bin 'Abdullah, Az Zuhri seringkali meriwayatkan hadist dari Tabi’in, kemudian Yunus adalah tobaqhot kecil dari Tabi’in, 'Abdullah serta Bisyr bin Muhammad Al Marwazi dan hadist ini diriwatkan oleh Bukhari. Dalam analisis sanad Hadist kedua ini, penulis mengambil pendapat al-Bukhari yang mengatakan bahwa sanad hadist ini berkualitas shahih. Lebih jelasnya berikut skema sanad dari hadist yang kedua:










 














Kedua hadist yang dipaparkan diatas, dipahami sebagai isyarat bahwa perempuan tidak boleh dijadikan pemimpin dalam urusan pemerintahan atau politik serta rumah tangga. Oleh karenanya banyak ulama yang menyatakan seorang perempuan tidak sah menjadi khalifah/imam. Para ulama tersebut menanggapi hadis ini sebagai ketentuan yang bersifat baku-universal, tanpa melihat aspek-aspek yang terkait dengan hadis, seperti kapasitas diri Nabi SAW ketika mengucapkan hadis, suasana yang melatarbelakangi munculnya hadis, setting sosial yang melingkupi sebuah hadis. Padahal, segi-segi yang berkaitan dengan diri Nabi SAW dan suasana yang melatarbelakangi atau menyebabkan terjadinya hadis mempunyai kedudukan penting dalam pemahaman hadis secara utuh.

3.      Kritik Matan
Dari kalangan ulama’ atas masalah yang berkaitan dengan hadist kedua diatas, meskipun dari segi sanad dinilai shahih. Akan tetapi sebagian banyak yang mangkritisi matan atau isi dari hadist tersebut, seperti yang akan penulis paparkan dibawah ini:
a.       Hadist pertama
Hadist pertama, jumhur ulama’ memahami hadist tersebut secara tektual. Mereka berpendapat berdasarkan hadist tersebut perempuan dilarang memegang jabatan menjadi kepala Negara, hakin dan lain-lain. Akan tetapi perempuan hanya diberi tangung jawab untuk menjaga harta suaminya.
Kemudian sebagian pendapat ulama’ mengatakan bahwa hadist tersebut semestinya dipahami secara kontekstual yaitu dengan cara memahami bagaimana hadist tersebut keluar. Antara lain memahami kondisi masyarakat dan system politik pada waktu itu. Sehingga hadist tersebut dapat diterapkan pada situasi yang diinginkan Nabi Muhammad dan ditinggalkan pada kondisi yang berbeda.
Maksudnya dengan metode ini atau pendekatan kontekstual adalah memahami hadits berdasarkan dengan peristiwa-peristiwa situasi ketika hadits itu disampaikan, dan kepada siapa pula ditujukan. Dengan lain perkataan, bahwa dengan metode kontekstual itu diperlukan sabab al-wurud al-hadits.
Jika dipahami secara tekstual, maka akan timbul kesan diskriminasi antara antara hak laki-laki dan perrempuan, secara konteks saat itu, secara sosiologis wanita kurang dihargai dan memperoleh hak-haknya, bahkan tertindas akibat warisan-warisan jahiliyah atas tradisi yang melekat dari bangsa Arab saat itu.
Dari paparan di atas, hingga saat ini beberapa pemikir juga tetap
banyak yang mengaplikasikannya. Seperti Muhammad al-Ghazali dalam
kitabnya. Selanjutnya
dalam menganalisis hadist ini, penulis mengadopsi pendapat imam al-Ghazali, ketika Nabi mengucapkan hadist tersebut pasukan Persia telah dipaksa mundur dan luas wilayahnya makin menyempit. Dari pernyataan al-Ghazali tersebut, memberikan isyarat bahwa perempuan tidak diserahi tugas sebagai pemimpin oleh Nabi adalah perempuan yang tidak memenuhi syarat kepemimpinan, baik dilihat dari segi kepakaran maupun dari segi budaya setempat. Jadi hadist pertama tidak bisa dijadikan alasan penolakan untuk menjadikan perempuan sebagai pemimpin.

b.      Hadist kedua,
hadist ini terdapat dalam lima kitab hadist dengan enam belas jalur sanad. terhadap hadist ini al-Ghazali sepakat dengan Muhadditsin bahwa dari segi sanad maupun matan hadist ini berkualitas shahih. Namun al-Ghazali dalam hadist ini lebih memfokuskan pada matan hadist bahwa ia hanya focus menyoroti kata “perempuan adalah pemimpin dalam urusan rumah tangga suaminya”.
Akan tetapi, menurut al-Ghazali perempuan boleh mengerjakan pekerjaan diluar rumah, namun tetap diingatkan bahwa tugas utama perempuan adalah dalam rumah tangganya dan apat melaksanakan kewajiban tersebut terlabih dahulu dan diliputi rasa ketaqwaan.
C.    Penutup
Berkaitan dengan hadis kepemimpinan perempuan di atas, dapat dikatakan bahwa Nabi SAW saat menyampaikan hadis tersebut bukan dalam kapasitas sebagai nabi dan rasul yang pembicaraannya pasti mengandung kebenaran dan dibimbing wahyu, tetapi harus dipahami bahwa pendapat Nabi SAW yang demikian itu disabdakan dalam kapasitas beliau sebagai manusia. biasa (pribadi) yang mengungkap realitas sosial keberadaan masyarakat (bayan al-waqi') pada saat hadis tersebut disabdakan dalam rangka mengantisipasi kemungkinan buruk yang terjadi di kemudian hari andai pemimpin itu diserahkan pada perempuan yang secara sosial tidak mendapat legitimasi dari masyarakat.
Dengan demikian, hadis tentang pernyataan Nabi SAW dalam kepemimpinan perempuan tersebut sama sekali tidak terkait dengan wacana persyaratan syar’i kepala negara; namun hanya merupakan informasi mengenai pendapat pribadi Nabi SAW yang memberikan peluang adanya 2 (dua) kemungkinan. Pertama, boleh jadi sabda Nabi SAW tersebut merupakan do'a agar pemimpin sukses dan sebagaimana sikap dan tindakan yang pernah beliau tunjukkan pula pada saat menerima kabar tentang dirobeknya surat Nabi SAW oleh Kisra Persia. Kedua, boleh jadi hal tersebut merupakan pendapat Nabi SAW yang didasarkan pada fakta realitas tradisi masyarakat yang pada saat itu.













Daftar Bacaan:

Azami, M. M. . Memahami Ilmu Hadist ( Tela’ah Metodologi & Literatur Hadist) Jakarta: Lentera, 1997.

Bustamin, M. Isa H. A. Salam. Metodologi Kritik Hadist. Jakarta Raja Grafindo Persada, 2004.

Ismail, M. Syahudi. Metodologi Penelitian Hadist Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Majid Khon, Abdul. Ulumul Hadist. Ed. Achmad Zirzis, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008.

Suparta, Munzier. Ilmu Hadist. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Wahyudi, Ari. Thabaqat Para Rawi Hadits.  www.muslim.or.id, diakses tanggal 25 Nopember 2010.