Wednesday, December 5, 2012

MAKALAH HADITS TENTANG AZAB DALAM KUBUR


STUDI HADIST
(Studi Hadist tentang Adzab Kubur)

A.    Pendahuluan
Adapun adzab kubur, dalil-dalil dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dan dari para sahabat telah menunjukkan kebenarannya secara pasti dan kita wajib mengimaninya karena merupakan tuntutan keimanan kita kepada hari kiamat yang merupakan rukun iman keenam dimana tidak sah iman seseorang kecuali harus beriman kepada semua rukun iman yang enam.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melalui dua kuburan lantas berkata, "Kedua penghuni kubur itu di adzab, dan dia diadzab bukan karena dosa besar, tapi hakekatnya juga besar. Salah satunya tidak membersihkan diri atau tidak bertabir dari kencing, sedangkan yang satunya lagi biasa kian kemari menghambur fitnah". Kemudian beliau mengambil dua pelepah kurma yang masih basah kemudian membelahnya menjadi dua, lalu menancapkannya pada masing-masing kuburan itu seraya bersabda : "Semoga bisa meringankan adzab yang menimpa kedua orang itu selama pelepah itu belum kering". Ini merupakan satu dalil bahwa adzab kubur itu bisa diringankan, yang menjadi pertanyaan, apa kaifiatnya antara dua pelepah kurma itu dengan diringankannya adzab atas kedua penghuni kubur itu ?.
1
 
 
Ada yang memberikan alasan bahwa karena kedua pelepah kurma itu selalu bertasbih selama belum kering, dan tasbih itu bisa meringankan siksaan yang menimpa mayit. Berpijak dari sini ada yang mengambil alasan akan sunnahnya berziarah kubur dan bertasbih di situ untuk meringankan adzab yang menimpa si mayit.
Artinya, waktu permohonan beliau itu tidak lama, hanya sebatas basahnya pelepah kurma. Ini dimaksudkan sebagai ancaman terhadap siapa saja yang melakukan perbuatan seperti kedua mayit yang diadzab itu. Karena sebenarnya dosa yang diperbuat itu termasuk besar. Berdasarkan riwayat dan kajian ini, penulis dalam makalah ini akan membahas tentang Adzab Kubur.

B.     Pembahasan
1.      Hadist Pertama
و حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ فِيمَا قُرِئَ عَلَيْهِ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ طَاوُسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُعَلِّمُهُمْ هَذَا الدُّعَاءَ كَمَا يُعَلِّمُهُمْ السُّورَةَ مِنْ الْقُرْآنِ يَقُولُ قُولُوا اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ قَالَ مُسْلِم بْن الْحَجَّاج بَلَغَنِي أَنَّ طَاوُسًا قَالَ لِابْنِهِ أَدَعَوْتَ بِهَا فِي صَلَاتِكَ قَالَ لَا قَالَ أَعِدْ صَلَاتَكَ لِأَنَّ طَاوُسًا رَوَاهُ عَنْ ثَلَاثَةٍ أَوْ أَرْبَعَةٍ أَوْ كَمَا قَالَ (رواه مسلم)

Artinya: Dan Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah bin Sa'id] dari [Malik bin Anas], dari apa yang telah dibacakan dihadapannya dari [Abu Zubair] dari [Thawus] dari [Ibn Abbas], bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajari para sahabat doa ini sebagaimana mengajari mereka salah satu surat dalam Al Qur`an. Beliau bersabda: "Ucapkanlah Allaahuma Innaa Na'uudzu Bika Min 'Adzaabi Jahannama Wa A'uudzu Bika Min 'Adzaabil Qabri Wa A'uudzu Bika Min Fitnatil Masiihid Dajjaal, Wa A'uudzubika Min Fitnatil Mahyaa Wal MAMAAT" (Ya Allah saya berlindung kepada-Mu dari siksa jahnanam, dan saya berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dan saya berlindung kepada-Mu dari fitnah Al Masih Dajjal, dan saya berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian)." Muslim bin Hajjaj mengatakan; "Telah sampai berita kepadaku bahwa Thawus bertanya kepada anaknya; "Apakah kamu berdoa dengan do'a tersebut dalam shalatmu?" Jawabnya; "Tidak." Thawus berkata; "Ulangi shalatmu, sebab Thawus (maksudnya dirinya) telah meriwayatkan dari tiga atau empat orang, atau sebagaimana yang ia katakan." (HR. Muslim)

Sanad dari hadist ini meliputi, Ibn Abbas adalah perawi dari golongan sahabat, kemudian Thawus adalah perawi dari generasi Tabi’in dan menurut ibn Hibban Thawus adalah ulama’ yang menelusuri hadist dari iraq, dan Abu Zubair, juga Malik bin Anas ialah thobaqhot kibar Tabi’ut Tabi’in, serta Qutaibah bin Sa'id ia seorang ulama’ hadist yang tidak pernah bertemu dengan Tabi’in, akan tetapi Qutaibah mengambil hadist dari Tabi’ut Tabi’in. Kemudian hadist ini diriwayatkan oleh murid dari pada imam Bukhari yang juga menjadi salah satu periwayah hadist tekemuka diatarara perawi hadist yang berada pada Thabaqhat pertengahan sezaman dengan gurunya imam Bukhari.
Dengan riwayat singkat beberapa perawi tersebut, meskipun ada beberapa nama perawi yang menurut penulis kurang begitu masyhur dalam kalangan perawi. Akan tetapi, dalam seleksi imam muslim untuk meriwayatkan sebuah hadist tentunya harus melewati seleksi yang begitu ketat, termasuk dalam kriteria kesahihan sanad. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada skema sanad berikut ini:


 












2.      Hadist Kedua

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ حُمَيْدٍ أَخْبَرَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَائِطٍ لِبَنِي النَّجَّارِ فَسَمِعَ صَوْتًا مِنْ قَبْرٍ فَقَالَ مَتَى مَاتَ صَاحِبُ هَذَا الْقَبْرِ قَالُوا مَاتَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ لَوْلَا أَنْ لَا تَدَافَنُوا لَدَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُسْمِعَكُمْ عَذَابَ الْقَبْرِ(رواه احمد)
Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Sa'id] dari [Humaid] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Anas bin Malik] ia berkata; "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah melewati kebun bani Najjar lalu beliau mendengar suara dari kuburan, maka beliau pun bersabda: "Penghuni kuburan ini kapan meninggalnya?" para sahabat menjawab; "Ia meninggal di masa Jahilliyah, " beliau bersabda: "Sekiranya engkau tidak akan dikuburkan, sungguh aku akan memeohon agar Allah memperdengarkan kalian bagaimana suasana siksa kubur." (HR. Ahmad)

Sanad dari hadist ini meliputi, Anas bin Malik adalah pelayan (khadim) Nabi yang terpercaya. Anas dipersembahkan oleh ibunya Ummu Sulaim pada usia sepuluh tahun. Kepribadiaanya dikenal dikalangan sahabat adalah ketaqwaannya dan kewaraan. Hadist-hadist yang diterimanya, selain langsung dari Rosul juga dari sahabat lainya seperti Abu Bakar, Umar, Ustman, Fatima az-Zahra, Tsabit ibn Qais, Abdurrahman ibn Auf, Ibn Mas’ud, Ubay ibn Ka’ab, Mu’adz ibn Jabal dan banyak lagi sahabat lainya.
Sedangkan dari kalangan para Tabi’in yang banyak meriwayatkan hadistnya adalah Al-hasan Al-Bisyri, Sulaiman At-Tamimi, Abu Qilabah, Ishak ibn Abi Thalhah, Abdl Aziz ibn Suhaib, Qotadah, Humaid Al-Thawil, Muhammad ibnu Sirin. Dalam periwayatan Hadist dikalangan para sahabat, ia adalah salah satu dari para sahabat yang banyak meriwayatkan hadist. Silsilah sanad yang paling shahih, yang sampai kepadanya adalah malalui Malik ibn Anas dari Ibn Syihab Al-Zuhri. Sedangkan yang paling lemah melalui Daud ibn Muhabbir dari ayahnya dari Abban ibn Iyasy.
Kemudian Humaid dan Yahya bin Sa'id, barang kali nama Hamaid dalam periwayatan hadist tidak semasyhur nama Yahya ibn Said yang berada dalam kalangan Tabi’ut Tabi’in. Selanjutnya hadist ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, beliau adalah ulama’ hadist yang mengambil hadits dari Tabi'ut Taabi'in yang mereka tidak bertemu dengan tabi'in. Agar lebih jelas menganai sanad hadist ini, berikut skema sanadnya:
                                                                                    







 














3.      Kritik Matan
Dimaksud matan adalah sabda Nabi SAW. setelah disebutkan
sanadnya. Dalam ulum al-hadits terdapat tiga kemungkinan pembagian
tentang matan.
Pertama dari segi penyampainya, meliputi; al-hadits
al-Qudsi, al-marfu', al-mauquf, dan al-maqthu'. Kedua dari segi
ilmu-ilmu yang menjelaskan pada matan, meliputi; garib al-hadits,
asbab wurud al-hadits, nasikh al-hadits wa mansukhuh, mukhtalaf
al-hadits, dan muhkam al-hadits. Terakhir yang ketiga, ilmu-ilmu yang
berkembang dari aspek matan yang diriwayatkan dengan berbagai
periwayatan dan hadits-hadits lainnya.

Kaidah Minor Kritik Matan Hadits Terhindar dari syadz dan terhindar dari 'illah merupakan dua kaidah mayor untuk matan hadits. Untuk menjabarkan dua kaidah mayor tersebut dalam kritik minor hadits, sebagaimana dalam sanad di atas, nampaknya masih cukup kesulitan bagi para pemikir al-hadits. Namun sebagian pemikir dan pemerhati Hadits Nabi SAW. telah melakukannya dengan cara yang berbeda (secara sendiri) sebagai kesahihah suatu matan, sehingga tidak mengherankan jika tidak semua ulama dalam mengungkapkannya sama persis.
Beberapa yang dapat disebutkan antara lain; pendapat Al-Baghdadi (w. 463), al-Adlabi, dan terakhir dari jumhur 'ulama, sebagaimana disebutkan oleh as-Siba'i. Al-Baghdadi, menyebutkannya sebagai berikut; tidak bertentangan dengan akal sehat; tidak bertentangan dengan hukum Al-Qur'an yang muhkam; tidak bertentangan dengan hadits mutawatir ; tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama sebelumnya ; tidak bertentangan dengan dalil yang pasti dan ; tdk bertentrangan dgn hadits Ahad yg kualitas keshahihannya lebih kuat. Al-Adlabi mengemukakannya ada empat macam; tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur'an, tidak bertentangan dengan hadits yang kualitasnya lebih kuat, tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah, dan terakhir susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri kenabian.

Dengan maksud yang sama, jumhur 'ulama mengungkapkan, bahwa untuk meneliti kepalsuan suatu Hadits Nabi SAW. diantara tanda-tandanya sebagai berikut: Susunan bahasanya rancu; Isinya bertentangan dengan
akal sehat dan sangat sulit diinterpretasikan secara rasional; Isinya
bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam; Isinya beretentangan
dengan hukum alam atau sunnatullah; Isinya bertentangan dengan
sejarah; Isinya bertentangan dengan petunjuk Al-Qur'an atau Hadits
mutawatir; dan Isinya berada di luar kewajaran, dilihat dari petunjuk
umum ajaran Islam. Setidaknya, standar atau kaidah yang telah disebutkan itu, dapat dijadikan sebagai alternatif untuk dapat mengkritik Hadits Nabi SAW.
baik dari aspek sanad ataupun matannya.
Berdasarkan matan hadist tersebuit diatas, penulis dapat memaparkan dengan mengutip beberapa pandangan para ulama mu’tabar mengenai siksa kubur. Setidaknya ada dua pendapat mu’tabar di kalangan ulama ahlus sunnah wal jamaa’ah terhadap siksa kubur:
a.       Pendapat pertama menyatakan, bahwa hadits-hadits tentang siksa kubur mencapai derajat mutawatir bil makna. Sebab, jalur periwayatannya sangatlah banyak dan perawi-perawinya telah mencapai derajat pasti dikarenakan para perawinya tidak mungkin sepakat untuk dusta.
b.      Pendapat kedua menyatakan bahwa hadits-hadits yang bertutur tentang ketetapan-ketetapan akherat, semacam siksa kubur, ru’yatullah, dan lain-lain, tidak menghasilkan ilmu dlaruriy, tetapi, hanya menghasilkan ilmu tuma’ninah.
Demikian pendapat ulama’ ahlus sunnah wal jama’ah, disini penulis juga memaparkan ayat Al-Qur’an tentang adanya alam kubur. Yaitu QS. Al-Mu’minun.100, yang berbunyi:
þÌj?yès9 ã@yJôãr& $[sÎ=»|¹ $yJŠÏù àMø.ts? 4 Hxx. 4 $yg¯RÎ) îpyJÎ=x. uqèd $ygè=ͬ!$s% ( `ÏBur NÎgͬ!#uur îˆyöt/ 4n<Î) ÏQöqtƒ tbqèWyèö7ムÇÊÉÉÈ    
Artinya: Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah Perkataan yang diucapkannya saja. dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan. ( Maksudnya: mereka sekarang telah menghadapi suatu kehidupan baru, Yaitu kehidupan dalam kubur, yang membatasi antara dunia dan akhirat. )

Bedasarkan ayat ini dijelaskan bahwa orang meninggal itu rohnya itu berada di suatu tempat dimana ada dinding yang menghalanginya bahwa roh itu tidak bisa kembali ke jasadnya di bumi dan tidak bisa menuju kehidupan berikutnya sampai hari mereka dibangkitkan. Dengan demikian diri manusia itu berada di alam barzakh atau orang menyebutkan di alam kubur. Tetapi bukan kubur dalam arti sebenarnya secara fisik.
Barangkali ayat tersebut dapat dijadikan pendukung hadist-hadist diatas akan adanya alam kubur, sedangkan siksa kubur sendiri dalam banyak riwayat rasul seringkali menyuruh untuk berdo’a dari adzab atau siksa kubur. Memang ditinjau dari segi akal agaknya kurang begitu rasional, akan tetapi dalil al-Qur’an dan Hadist menunjukkan indikator adanya alam kubur dan adzab didalam kubur.
C.    Catatan Penutup
Hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur hanya menghasilkan ilmu tuma’ninah, dan tidak menghasilkan ilmu dlaruriy yang menjadi syarat itsbat ‘aqidah. Kaum Mukmin yang mengikuti pandanngan dan pendapat di atas, tidak diperkenankan menjadikan hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur, al-haudl, dan lain sebagainya sebagai bagian dari ‘aqidah Islam. Hanya saja, hadits-hadits seperti ini wajib dijadikan sebagai ketetapan hati (ilmu tuma’ninah), dan seseorang tidak diperkenankan mengingkarinya. Pasalnya, hadits-hadits yang berbicara tentang ketetapan-ketetapan akherat diriwayatkan oleh perawi-perawi yang berkualitas ksahihanya, sehingga menghasilkan ketenangan jiwa dan ketentraman hati.







Daftar Bacaan:
                                    
Bustamin, M. Isa H. A. Salam. Metodologi Kritik Hadist. Jakarta Raja Grafindo Persada, 2004.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta:Proyek Pengadaan Ktab Suci Al-Qur’an Dep. Agama RI Pelita III, 1982.

Ismail, M. Syahudi. Metodologi Penelitian Hadist Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Khaeruman, Badri. Orientasi Hadist (Studi Kritis Atas Kajian Hadist Konteporer. Peng. Endang Soetarti, Bandung: Remaja Roesda Karya, 2004.

Majid Khon, Abdul. Ulumul Hadist. Ed. Achmad Zirzis, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008.

Suparta, Munzier. Ilmu Hadist. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Taufiqulloh, Afif Muhammad, Kitab Jinayah dalam Terj. Assbab Wurud al-Hadist Au Al Luma’ fi Asbab al-Hadist. Bandung: PUSTAKA. 1984.

Wahyudi, Ari. Thabaqat Para Rawi Hadits.  www.muslim.or.id, diakses tanggal 25 Nopember  2010.

2 comments: