Thursday, December 6, 2012

MAKALAH DAN STUDI HADITS URRANIYYIN


S T U D I   H A D I T S
(Studi analisis sanad dan  kritik matan hadist al-‘Uraniyyin riwayat al-Bukhori)
OLEH : ARIFFUDIN


A.    Pendahuluan
Secara global banyak yang mengkritik hadist dan mengambil kesimpulan yang melenceng dari pernyataan para tokoh muslim tentang hadits, termasuk di dalamnya hadits yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari. Akan tetapi, kritikannya tidak meliputi semua aspek, hanya mengeritik sisi sanad (jalur transmisi) hadits tanpa matan (teks)-nya, begitu juga sebaliknya.
Seperti Dr. Robert Morey[1] melihat hadits layaknya sebuah buku karangan Nabi Muhammad, sehingga menyayangkan bahwa dalam hadits tidak ada selayang pandang dari penulisnya, yaitu Nabi Saw. Morey dalam hadis yang akan dibahas dibawah ini hanya mengeritik matannya saja, memang dalam hadist ini Nabi menganjurkan meminum kencing onta kapada golongan Ukl/Uranyyin[2].
Dalam upaya menyudutkan Hadits Morey berusaha memanipulasi makna dari hadits-hadits yang ingin dibenturkan dengan sensitifitas masyarakat modern seperti masalah rasial dan hal-hal yang dianggap jijik. Untuk mendukung pendapatnya tersebut ia mengutarakan sebuah dialog perihal urin onta yang menurutnya dianjurkan oleh Rasulullah layaknya iklan Coca Cola. Dengan harapan bahwa sesnsitivitas modern akan menolak hal-hal yang bersifat menjijikkan, sehingga umat muslim dianggap mengalami dilema untuk menerima hadits tersebut.

Dalam hal ini, Morey tidak berani menyebutkan matan (materi) haditsnya, apalagi mengkomparasikan dengan riwayat-riwayat lain yang mengungkap masalah senada. Kemudian Morey menyatakan hanya mengambil dari kitab hadits Imam Bukhari saja, tentu saja cara pengkajian hadits semacam ini sangat parsial dan tidak layak dalam dunia keilmuan Islam.[3]
Dalam ilmu hadits, kritik ditujukan kepada dua aspek, yaitu: sanad dan matan hadits.[4] Krtik sanad (naqd sanad/naqd ar-Rijal) diperlukan untuk mengetahui apakah rawi-rawi itu jujur, taqwa, kuat hapalannya, dan apakah sanad itu bersambung atau tidak. Sedang kritik matan (naqd al-matan) diperlukan untuk mengetahui apakah hadits itu mempunyai cacat (illat) atau janggal (syadz). Dari sini, kemudian timbul istilah ahli hadits “hadza al-hadîts shahîh al-isnad” (hadits ini shahih sanadnya), dan “hadza shahîh al-matan” (hadits ini shahih matannya).
Maka kami mencoba memakai kitab Hadits Imam Bukhari dalam menjawab masalah ini dan mengkomparasikan dengan riwayat dari perawi lain. Berikut ini kami ketengahkan beberapa hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari menyangkut masalah ini.

B.     Analisis Sanad dan Kritik Matan Hadist al-‘Uronyyin
1.      Hadis al-‘Uranyyin
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ فَاجْتَوَوْا الْمَدِينَةَ فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلِقَاحٍ وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا فَانْطَلَقُوا فَلَمَّا صَحُّوا قَتَلُوا رَاعِيَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاسْتَاقُوا النَّعَمَ فَجَاءَ الْخَبَرُ فِي أَوَّلِ النَّهَارِ فَبَعَثَ فِي آثَارِهِمْ فَلَمَّا ارْتَفَعَ النَّهَارُ جِيءَ بِهِمْ فَأَمَرَ فَقَطَعَ أَيْدِيَهُمْ وَأَرْجُلَهُمْ وَسُمِرَتْ أَعْيُنُهُمْ وَأُلْقُوا فِي الْحَرَّةِ يَسْتَسْقُونَ فَلَا يُسْقَوْنَ قَالَ أَبُو قِلَابَةَ فَهَؤُلَاءِ سَرَقُوا وَقَتَلُوا وَكَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ وَحَارَبُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ )رواه البخارى)
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb berkata, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Abu Qilabah dari Anas bin Malik berkata, Beberapa orang dari 'Ukl atau 'Urainah datang ke Madinah, namun mereka tidak tahan dengan iklim Madinah hingga mereka pun sakit. Beliau lalu memerintahkan mereka untuk mendatangi unta dan meminum air seni dan susunya. Maka mereka pun berangkat menuju kandang unta (zakat), ketika telah sembuh, mereka membunuh pengembala unta Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan membawa unta-untanya. Kemudian berita itu pun sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjelang siang. Maka beliau mengutus rombongan untuk mengikuti jejak mereka, ketika matahari telah tinggi, utusan beliau datang dengan membawa mereka. Beliau lalu memerintahkan agar mereka dihukum, maka tangan dan kaki mereka dipotong, mata mereka dicongkel, lalu mereka dibuang ke pada pasir yang panas. Mereka minta minum namun tidak diberi. Abu Qilabah mengatakan, Mereka semua telah mencuri, membunuh, murtad setelah keimanan dan memerangi Allah dan rasul-Nya. (HR. Bukhori).
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَهْطًا مِنْ عُكْلٍ أَوْ قَالَ عُرَيْنَةَ وَلَا أَعْلَمُهُ إِلَّا قَالَ مِنْ عُكْلٍ قَدِمُوا الْمَدِينَةَ فَأَمَرَ لَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلِقَاحٍ وَأَمَرَهُمْ أَنْ يَخْرُجُوا فَيَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا فَشَرِبُوا حَتَّى إِذَا بَرِئُوا قَتَلُوا الرَّاعِيَ وَاسْتَاقُوا النَّعَمَ فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غُدْوَةً فَبَعَثَ الطَّلَبَ فِي إِثْرِهِمْ فَمَا ارْتَفَعَ النَّهَارُ حَتَّى جِيءَ بِهِمْ فَأَمَرَ بِهِمْ فَقَطَعَ أَيْدِيَهُمْ وَأَرْجُلَهُمْ وَسَمَرَ أَعْيُنَهُمْ فَأُلْقُوا بِالْحَرَّةِ يَسْتَسْقُونَ فَلَا يُسْقَوْنَ قَالَ أَبُو قِلَابَةَ هَؤُلَاءِ قَوْمٌ سَرَقُوا وَقَتَلُوا وَكَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ وَحَارَبُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ  (رواه البخارى)

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Qataibah ibnu Said, telah menceritakan kepada kami Hammadun dari Ayub dari Abi Qilabah, dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, “Bahwa sekelompok orang dari `Ukl atau `Urainah dan aku tidak tahu kecuali dia berkata dari ‘Ukl mendatangi Madinah namun cuaca Madinah tidak cocok untuk mereka. Nabi shallallahu alaihi wasallam menyuruh mereka untuk pergi ke kandang unta dan menyuruh mereka untuk keluar lalu meminum air seninya dan susunya. Lalu mereka meminumnya, (tetapi) begitu mereka sembuh tiba-tiba mereka mereka membunuh penggembala unta Nabi saw dan mencuri unta-untanya. Keesokan paginya berita tersebut sampai kepada Nabi saw dan beliau mengutus beberapa orang untuk menangkap mereka dan mereka tertangkap di waktu belum siang. Beliau lalu memerintahkan untuk memotong tangan dan kaki mereka dan mencungkil mata mereka. Mereka dibiarkan di daerah al-Harrah, ketika mereka meminta air, tidak ada yang memberikan mereka air. Abu Qilabah berkata, “Mereka adalah kaum yang telah membunuh dan mencuri, kafir setelah beriman, dan memerangi Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhori).

Dalam pandangan ulama’ hadist, kedua hadist diatas dinamakan dengan hadist al-‘Uronyyin yang diambi dari nama golongan atau suku yang terdapat dalam matan hadist tersebut. Menurut Irena Handono dalam buku Islam Dihujjat, al-Bukhori mengeluarkan 13 hadist dalam masalah ini. Dalam bab zakat 1 hadist, bab jihad wa as sair 1 hadist, bab al-Maghazi 2 hadist, bab tafsir Al-Qur’an 1 hadist, bab wudlu 1 hadist, bab at-Thibb 2 hadist, bab al-Hudud 4 hadist, serta bab ad-dyat 1 hadist.[5]
2.      Analisis Sanad
Menurut bahasa, kata  (ﺴﻨﺪ ) / Sanad mengandung kesamaan arti kata ( ﻄﺮﻴﻖ ) / Thariq yaitu jalan atau sandaran. Sedangkan menurut istilah hadist, sanad ialah jalan yang menyampaikan kita pada matan hadist.[6] Adapun kriteria kesahihan Sanad menurut Muhammad Al-Ghazali adalah:
a.       Setiap perawi dalam sanad suatu hadis haruslah orang yang dikenal sebagai penghafal yang cerdas, teliti dan benar-benar memahami apa yang didengarnya. Kemudian setelah ia meriwayatkannya, tepat seperti aslinya. Pada konteks ini perawi disebut Dhabit.
b.      Disamping kecerdasan yang dimiliki, ia harus mantap kepribadiannya, bertaqwa kepada Allah, serta menolak dengan tegas segala pemalsuaan dan penyimpangan. Pada konteks ini disebut Adil.
Selain itu, menurut ulama’ Muhadditsin menambahkan, ketersambungan sanad mutlak adanya,[7] dan keterhindaran Syaz (Kejanggalan) dan Illat (Cacat)[8] sebagai suatu syarat kesahihan sanad Hadist.[9] Setelah dijelaskan mengenai kriteria kesahihan Sanad hadist, selanjutnya masuk pada analisis Sanad hadist tersebut diatas. Aapaun Sanadnya adalah Anas r.a. sebagai rawi pertama, kepada Abu Qilabah. Kemudian, Abu Qilabah sebagai rawi kedua menyampaikan kepada Ayyub sebagai rawi ketiga menyampaikan kepada Hammad ibn Zaid, kemudian Hammad ibn Zaid menyaimpaikan kepada Sulaiman ibn Harb, hingga sampai kepada Al-Bukhari
Berawal dari Anas bin Malik ibn Al-Nadhar ibn Dhamdham ibn Zaid ibn Haram ibn Jundub ibn Amir ibn Ghanam ibn Addi ibn Al-Najar Al-Anshari. Ia dikenal dengan sebutan Abu Hamzah, Anas ibn Malik hidup pada tahun 10 sebelum Hijriyah dan wafat pada tahun 93 H di Basrah (612-912).[10]
Anas bin Malik, hidup dengan Rosululloh sebagai pelayan (khadim) yang terpercaya. Anas dipersembahkan oleh ibunya Ummu Sulaim pada usia sepuluh tahun. Kepribadiaanya dikenal dikalangan sahabat adalah ketaqwaannya dan kewaraan. Hadist-hadist yang diterimanya, selain langsung dari Rosul juga dari sahabat lainya seperti Abu Bakar, Umar, Ustman, Fatima az-Zahra, Tsabit ibn Qais, Abdurrahman ibn Auf, Ibn Mas’ud, Ubay ibn Ka’ab, Mu’adz ibn Jabal dan banyak lagi sahabat lainya.[11]
Sedangkan dari kalangan para Tabi’in yang banyak meriwayatkan hadistnya adalah Al-hasan Al-Bisyri, Sulaiman At-Tamimi, Abu Qilabah, Ishak ibn Abi Thalhah, Abdl Aziz ibn Suhaib, Qotadah, Humaid Al-Thawil, Muhammad ibnu Sirin.[12] Dalam periwayatan Hadist dikalangan para sahabat, ia adalah salah satu dari para sahabat yang banyak meriwayatkan hadist.
Silsilah sanad yang paling shahih, yang sampai kepadanya adalah malalui Malik ibn Anas[13] dari Ibn Syihab Al-Zuhri[14]. Sedangkan yang paling lemah melalui Daud ibn Muhabbir dari ayahnya dari Abban ibn Iyasy.[15] Kemudian diantara tabi’in yang meriwayatkan hadistnya adalah Abu Qilabah.[16]
Nama lengkap Qilabah adalah Abdullah bin Zaid Al-Jarmi salah seorang dari para ahli ibadah dan ahli zuhud yang berasal dari Al-Bashroh. Beliau meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik dan sahabat Malik bin Al-Huwairits. Beliau wafat di negeri Syam pada tahun 104 Hijriah pada masa kekuasaan Yazid bin Abdilmalik.
Abu Qilabah dari golongan tabi’in, bukanlah satu nama yang asing karena sering sekali ia disebutkan dalam isnad-isnad hadits, terutama karena ia adalah seorang perawi yang meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik yang merupakan salah seorang dari tujuh sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu nama Abu Qilabah sering berulang-ulang seiring dengan sering diulangnya nama Anas bin Malik dalam kitabnya Ats-Tsiqoot .[17] Kemudian dalam buku Islam Dihujjat karya Irena Handono, Abu Qilabah menurut beberapa ahli hadist dinilai tidak kredibel karena dinilai suka menambah-nambah cerita (Katsir al-Itsal).[18] Akan tetapi, dugaan ini tidak disertai analisis atau alasan tertulis dibuku tersebut, yang menunjukkan ketidak kridibelnya Abu Qilabah.
Nama ayyub dalam periwayatan/sanad hadist ini tidak disebutkan dengan lengkap, akan tetapi kemungkinan yang dimaksud adalah Ayyub As Sikhtiyani. Ia adalah periwayat dari golongan Tabi’in, dimungkinkan ia hidup sezaman dengan Abu Qilabah.[19] Karena Ayyub As Sikhtiyani dalam beberapa riwayat beberapa kali menerima hadist dari Abu Qilabah. Akan tetapi jika dalam hadist tersebut yang dimaksud adalah Muhammad bin Ayyub, maka orang ini kerapkali dituduh meriwayatkan hadist-hadist palsu.[20]
Sedangkan Hammad ibn Zayd, adalah ulama’ hadist dan seorang imam yang terpandang, dan termasuk juga orang yang tsiqoh.[21] Ia adalah guru dari Isma’îl bin Ibrâhîm al-Ju’fî ayah dari Imam Bukhori, dan hadist diriwayatkan oleh Sulaiman bin Harb.[22] Sedangkan Qutaibah bin Said[23], adalah guru-guru Bukhori yang tidak bertemu dengan tabi’in, namun mengambilnya dari tabi’ut ‘tabi’in. Menurut Badri, Qutaibah ibn Said adalah salah satu ulama’ hadist dari sekian banyak ulama’ hadist yang dikunjungi oleh imam Bukhori di Balka untuk mendapatkan periwayatan hadist.[24]
Didalam salah satu pertemuan Qutaibah bin Sa'id mengatakan, "Aku telah duduk bersama para ahli fikih, ahli zuhud, dan ahli ibadah. Aku belum pernah melihat semenjak aku bisa berpikir ada seorang manusia yang seperti Muhammad bin Isma'il. Dia di masanya seperti halnya Umar di kalangan para sahabat.[25]
Yang dimaksud Qutaibah adalah Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn Al-Mughirah ibn Badibzah (Bukhori), adalah ulama’ hadist yang sangat Masyhur lahir di Bukhara. Bapaknya Ismail adalah seorang ulama’ hadist dibawah bimbingan Malik ibn Anas, Hammad ibn Zayd dan Ibn Mubarok. Pada usia 10 tahun Bukhori sudah mempunyai perhatian pada ilmu Hadist. Ketika beliau pergi ke Bagdad para ulama’ hadist Bagdad bersepakat mengujinya dalam masalah Hadist, karena beliau dinilai ulama’ muda yang mulai menanjak namanya dikalangan Ulama’ Hadist.[26]
Menurut Al-Dzahabi, untuk memperoleh periwayatan hadist Bukhori melakukan pengembaraannya keberbagai negeri. Termasuk di Balka, Bukhori menerima hadist dari beberapa tokoh perawi diantaranya adalah Makki ibn Ibarahim, Yahya ibn Basyar al-Zahid, Qutaibah, dan beberapa ulama’ lainya.[27]
Dengan beberapa penjelasan tersebut diatas, menunjukkan adanya kesinambungan sanad pada hadist tersebut diatas. Dari Anas bin Malik, beliau adalah sahabat Nabi, menurut beberapa sumber hadistnya telah diriwayatkan oleh beberapa perawi diantaranya adalah Abu Qilabah yang hidup pada masa Tabi’in. Sedangkan Hammad bin Zaid adalah guru Hadist dari ayah imam Bukhari, kemudian Sulaiman bin Harb dan Qutaibah bin Said adalah guru yang pernah ditemui imam Bukhori dan diambil hadistnya.
Berangkat dari penjelasan singkat tentang para sanad dalam hadist tersebut, dapat dijelaskan dan disimpulkan bahwa kedua hadist tersebut diatas dari segi sanad tergolong hadist yang shahih. Hal ini didukung dengan pernyataan Mahmud Thahhan dalam buku Ulumul Hadis, Ia berbendapat bahwa hadist shahih karena beberapa hal yaitu, Sanadnya bersambung, sebab setiap perawinya telah mendengar dari gurunya, adapau periwayatan dengan kata “AN” Ayyub[28] dan Abu Qilabah serta Anas masih tergolong bersambung.[29] Meskipun dalam menerima hadist tidak menggunakan kata-kata penghubung yang berkualitas tinggi dan disepakati oleh ulama’, seperti kata Al-Asma’, sebab dimungkinkan diantara mereka hidup se-zaman dari Anas generasi sahabat dan diikuti Abu Qilabah serta Ayyub yang termasuk dalam generasi Tabi’in. Kemudian hammad bin Zaid adalah generasi Tabi’ut tabi’in dilanjutkan Sulaiman ibn Harb dan Qitaibah ibn Said dimana meraka berdua termasuk sabagian dari Ulama’ hadist yang pernah didatangi pleh Bukhari.
Akan tetapi sebaliknya, jika merujuk pada nama-nama Abu Qilabah dan Muhammad ibn Ayyub yang dimaksud dalam hadist tersebut. Dalam beberapa pendapat disebutkan bahwa mereka berdua (Abu Qilabah dan Muhammad ibn Ayyub) dituduh pernah melakukan kesalahan. Seperti Abu Qilabah yang suka menambah cerita dan Muhmaad ibn Ayyub sendiri pernah dituduh meriwayatkan hadist-hadist palsu. Berdasarkan analisis dan alasan ini, berarti hadist ini masuk dalam kategori Hadist Matruk.[30] Karena dalam sanad hadist tersebut ada nama-nama perawi yang dituduh melakukan pernah melakukan kesalahan.

Berdasarkan hasil kajian riwayat dan sejarah para perawi tersebut diatas, keshahihan sanad dalam hadist ini lebih beralasan. Daripada adanya tuduhan salah satu dari perawi hadist tersebut pernah malakukan kesalahan, sehingga mengakibatkan dan menggolongkan hadist ini termasuk dalam kategori hadist al-Matruk.
3.      Kritik Matan
Menurut bahasa kata Matan berasal dari bahasa Arab ( ﻤﺘﻦ ) artinya punggung jalan (muka jalan), tanah yang tinggi dan keras.[31] Sedangkan matan menurut ilmu Hadist adalah penghujung sanad, yakni sabda Nabi Muhammad SAW, yang disebut sesudah habis disebutkan sanad. Matan adalah isi Hadist, dan matan hadist dibagi menjadi tiga, yaitu ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad SAW.[32]
Kesahihan matan nampaknya menurut muhadditsin mengalami banyak perbedaan, hal itu mungkin terjadi karena perbedaan latar belakang, keahlian alat bantu, persoalan masyarakat yang dihadapi oleh mereka. Akan tetapi, ada versi kesahihan matan hadist menurut Al-Khatib Al-Bagdadi, suatu hadist dapat dikatakan Maqbul apabila memenuhi kriteria sebagai berikut;
a.       Tidak bertentangan dengan akal sehat
b.      Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an yang muhkam
c.       Tidak bertentangan dengan hadist mutawattir.
d.      Tidak bertentangan dengan amalan yang menjadi kesepakatan ulama’ masa lalu.
e.       Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti.
f.       Tidak bertentangan dengan hadist ahad yang kualitas kesahihannya lebih kuat.
Sedangkan Salah Al-Din Al-Adabi, mempunyai pendapat yang sedarhana dalam menentukan kriteria matan Sahih, adapun kriterianya sebagai berikut:
a.       Tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an.
b.      Tidak bertentangan denagn hadist yang lebih kuat.
c.       Tidak bertentangan dengan akal sehat, indra dan sejarah.
d.      Susunan pernyataanya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.[33]
Dari beberapa indikator tersebut, kalau disimpulkan. Kriteria kesahihan matan hadist adalah tidak bertentangan dengan hadist mutawattir dan hadist ahad yang kuat kesahihannya, tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an, sejalan dengan alur akal sehat dan tidak bertentangan dengan sejarah, kemudian susunan pernyataan menunjukkan ciri-ciri kenabian.
Setelah memahami krieria kesahihan matan hadist, selanjutnya kritik atas matan hadist tersebuta diatas, pada 2 matan hadist tersebut diatas tampak jelas adanya perbedaan lafazd akan tetapi maksud dalam matan tersebut sama. Hadist tersebut diatas menunjukkan kepada kita bahwa hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang Tsiqah pun dapat terjadi perbedaan lafaz matan hadist yang diriwayatkannya. Perbedaan lafadz hadist yang dapat ditoleran, hanya hadist yang diriwayatkan oleh periwayat Tsiqah, sedangkan hadist yang diriwayatkan oleh periwayat yang tidak Tsiqah termasuk hadist yang tidak dapat diltoleran.[34]
Bebagai macam kesahihan sanad menurut para ulama’ hadist, termasuk yang penulis paparkan tersebut. Seiring dengan itu, banyak pula matan atau isi hadist yang bertentangan dengan indikator-indikator yang menjadi ukuran kesahihan matan hadist, termasuk matan hadist tersebut diatas yang sebagian matannya menyebutkan bahwa Nabi menyuruh minum air kencing onta.
Tentunya hal ini sangat bertentangan dengan akal sehat, disamping itu juga menurut penulis betentangan dengan  ayat al-Qur’an. Seperti firman Allah:
Artinya: ..... dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk..... (QS. Al-‘Araf:157).[35]
Dengan demikian matan kedua hadist tersebut kurang memenuhi kriteria kesahihan matan hadist, karena dalam matan hadist tersebut terdapat kalimat yang tidak masuk akal dan bertentangan dengan ayat Al-Qur’an. Dimana Nabi menganjurkan kepada golongan Ukl/Urainah untuk meminum air kencing onta. Karena tidak mungkin Nabi menganjurkan bahkan menyuruh meminum air kencing onta yang akal kita air kencing adalah sesuatu yang menjijikkan.
Disamping masalah urin onta yang menjijikkan dalam matan hadist tersebut juga diriwayatkan tentang hukuman yang diterima oleh para penjarah/perampok tersebut. Dimana penjarah/perampok tersebut dipotong tangannya, kakinya dan yang lebih tragis dicungkil kedua matanya kemudian diabiarkan sampai mati. Memang hal itu sangat kejam dan tidak masuk akal seorang rasul melakukan hal seperti itu.
Akan tetapi yang perlu diingat, ketika kejadian itu belum ada ayat al-Qur’an yang mengatur tentang hudud, kemungkinan aturan hukuman yang dipakai adalah adat masyarakat Arab pada waktu itu.[36] Hal ini diperkuat pendapat ahli tafsir dalam kitab Tafsir al-Maraghi, yang mengatakan”dari peristiwa ini, kemudian turun QS al-Maidah ayat 33 yang mangatur masalah hudud.
Artinya : Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,  (QS.al-Maidah :33).[37]

  Dengan adanya pernyataan bahwa belum turunya ayat al-Qur’an masalah hudud, kemungkinan peristiwa hukuman itu dapat dimaklumi, kemudian menururt Irena, pada abad 7 keadaaan dan kondisi aturan hukum yang diterapkan Nabi belum memadai.[38] Akan tetapi yang yang menjadi persolalan, apakah benar Nabi menyuruh sahabat melakukan atau menerapakan hukuman sekejam itu.
Kemudian dari matan kedua hadist tersebut terdapat tambahan perkataan dari perawi, dalam permasalahan seperti ini hadist tergolong Hadist al-Mudraj[39] karena pada matan hadistnya terdapat perkataan Abu Qilabah. Akan tetapi hal ini tidak mengurangi kashahihan matan hadisnya.
Dari beberapa kalimat atau matan hadist tersebut, jika diukur dari indikator kashahihan matan menururt al-Bagdadi dan al-Adabi, dalam matan hadist tersebut terdapat pernyataan yang bertentangan dengan al-Qur’an dan akal sehat. Terutama pada kalimat “rosul menyarankan golongan Ukl/Urainah untuk meminum urin onta. Jadi menurut kriteria ksahhihan matan hadist ini dinilai kurang memenuhi kriteria ksahihan matan. Dalam buku Metodologi Penelitian Hadist Nabi yang dituli oleh Syahudi Ismail, dikategorikan termasuk hadist shahih dari segi sanad, tetapi dhoif dari segi matan.[40]

C.    Catatan Penutup
Berdasarkan hasil analisis sanad dan kritik matan tentang hadist al-Uranyyin yang diriwayatkan oleh Bukhari, dapat dipahami bahwa dari segi sanad hadist tersebut dapat dikatakan sahih. Akan tetapi, ada dua asumsi dalam sanad hadist. Pertama, hadist tersebut shahih matannya karena ketersambungan atau pernah hidup se-zaman dianatara para sanadnya. Kedua, dari beberapa pendapat mengenai salah-satu perawi yang dituduh pernah melakukan kesalahan seperti Abu Qilabah dan Muhammd ibn Ayyub. Sehingga hadist ini dapat dikategorikan hadist matruk (yang ditinggalkan).
Kemudian dari segi matan hadist tersebut  kurang memenuhi kriteria kesahihan matan hadist, karena didalam matan hadist tersebut terdapat kalimat yang bertentangan dengan al-Qur’an dan akal sehat Demikian pemaparan singkat tentang hadist al-Uranyyin, yang sangat jauh dari sempurna. Sehingga penulis menghasilkan sebuah kesimpulan yang kurang berkualitas, apalagi pembahasan ini hadist yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari, sehingga untuk menela’ah kualitas hadistnya dibutuhkan sebuah pemikiran dan keilmuan yang cukup

Daftar Kepustakaan

Anwar, Moh. Ilmu Mushthalah Hadits. Surabaya: Al-Ikhlas, 1981.

Azami, M. M. . Memahami Ilmu Hadist ( Tela’ah Metodologi & Literatur Hadist) Jakarta: Lentera, 1997.

Bustamin, M. Isa H. A. Salam. Metodologi Kritik Hadist. Jakarta Raja Grafindo Persada, 2004.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta:Proyek Pengadaan Ktab Suci Al-Qur’an Dep. Agama RI Pelita III, 1982.

Handono, Irena et, al. . Islam Dihujjat (Menjawab Buku the Islamic Invasion). Kudus: Bima Rodheta, 2004.
Ismail, M. Syahudi. Metodologi Penelitian Hadist Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.


Khaeruman, Badri. Orientasi Hadist (Studi Kritis Atas Kajian Hadist Konteporer. Peng. Endang Soetarti, Bandung: Remaja Roesda Karya, 2004.

M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadist (Ijtihad Al-hakim dalam Menentukan Status Hadist. Jakarta, Paramadina, 1999.

Majid Khon, Abdul. Ulumul Hadist. Ed. Achmad Zirzis, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008.

Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist. Semarang: Pustaka Rizki Puttra, 2005.

Suparta, Munzier. Ilmu Hadist. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Thahhan, Mahmud. Ulumul Hadist (Studi Kompleksitas Hadist Nabi). Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999.

Wahyudi, Ari. Thabaqat Para Rawi Hadits.  www.muslim.or.id, diakses tanggal 25 Oktober 2010.

Zain,  http://m.cybermq.com diakses tanggal 21 Oktober 2010.

_ _ _ _ _ _, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist 2. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.



[1] Robert Morey adalah Direktur ekskutif dari yayasan penelitian dan pendidikan, yang menkaji topik yang mengkaji topik tentang pengeruh nilai Budaya dan Nilai Barat dan mengarang beberapa buku termasuk buku yang berjudul “The Islamic Invation-Confronting the Word’s Fastest Growing Religion”. Lihat Irena Handono, et, al. , Islam Dihujjat (Menjawab Buku the Islamic Invasion), (Kudus: Bima Rodheta, 2004), 6.
[2] ‘Uranyyin menurut beberapa riwayat dalam hadist Bukhori adalah golongan atau suku. Juga dalam sebuah riwayat dikatakan 8 orang dari Ukl, yang mendatangi Nabi di Madinah. Lihat Irena Handono, et, al. , Islam Dihujjat (Menjawab Buku the Islamic Invasion), 2004, 282.
[3] Ibid. 279-280.
[4] Bustamin, M. Isa H. A. Salam. Metodologi Kritik Hadist. (Jakarta Raja Grafindo Persada, 2004), 4.
[5] Irena Handono, et, al. , Islam Dihujjat (Menjawab Buku the Islamic Invasion), 2004, 279-280.
[6]Bustamin, M. Isa H. A. Salam. Metodologi Kritik Hadist. (Jakarta Raja Grafindo Persada, 2004), 5.
[7] Kriteria kesinambungan sanad, Pertama periwayat hadist harus berkualitas siqat (adil dan dhabit), Kedua  masing-masing periwayat harus menggunakan kata-kata penghubung yang berkualitas tinggi yang sudah disepakati ulama’ (al-Sama’) yang menunjukkan adanya pertemuan antara guru dan murid, kata yang biasanya dipakai untuk cara al-Sama’ antara lain ﺤﺪﺜﻨﺎ, ﺴﻤﻌﺖ, ﺬﻜﺮﻠﻨﺎ, ﻘﺎﻞﻠﺎ, ﺤﺪﺜﻨﻰ dll. Ketiga adanya indikasi kuat perjumpaan mereka. (Lihat Bustamin & M. Isa, Metodologi Kritik Hadist, 2004, 55).
[8] Untuk mengetahui Syaz atau Illat pada sanad hadist diperlukan penelitian yang mendalam, kemudian hasil penelitian tersebut dibanding-bandingkan Bustamin, M. Isa H. A. Salam. Metodologi Kritik Hadist, 56.
[9] Ibid. , 102-103.
[10] Munzier Suparta, Ilmu Hadist (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 217.
[11] Ibid. , 217.
[12] Ibid. , 218.
[13] Malik ibn Anas ( 93 H-179 H ), Ia adalah Imam Dar Al-Hijrah dan seorang faqih pemuka Mazdhab Malikiyah. Beliau mengambiol hadist secara Qira;ah dari Nafi ibn Nu;aim, Al-Zuhry, Nafi pelayan Ibn Umar dan lain sebagianya, Lihat, Munzier Suparta, Ilmu Hadist, 228-229.
[14] Al-Zuhri (50 H-125 H), Ia hidup di zaman Khalifah Umar Ibn Abd Al-Aziz dan mendapat kepercayaan untuk mengumpulkan hadist-hadist. Hasil karayanya menurut ulama’ dinilai lebih lengkap.sedangkan silsilah sanad yang paling tinggi yang sampai kepadanya menurut al-Nasa’i adalah Ali ibn Al-Husain dari ayahny (Husain) dari kakeknya (Ali), Lihat, Munzier Suparta, Ilmu Hadist, 226-227.
[15] Munzier Suparta, Ilmu Hadist,  2002, 219.
[16] Lihat, Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist (Semarang: Pustaka Rizki Puttra, 2005), 258.
[17] Zain,  http://m.cybermq.com diakses tanggal 21 Oktober 2010.
[18] Irena Handono, et, al. , Islam Dihujjat (Menjawab Buku the Islamic Invasion), 2004, 282..
[19] Ari Wahyudi, Thabaqat Para Rawi Hadits , www.muslim.or.id, diakses tanggal 25 Oktober 2010.
[20] Moh. Anwar, Ilmu Mushthalah Hadits (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981), 137
[21] Ibid. , 143.
[22] Ibid. , 182.
[23] Qitaibah ibn Sa’id termasuk periwayat hadist yang dijadikan guru oleh imam al-Tirmidzi. Lihat, Badri Khaeruman, Orientasi Hadist (Studi Kritis Atas Kajian Hadist Konteporer), 2004, 231.
[24] Ibid. , 196.
[26] Munzier Suparta, Ilmu Hadist, 2010, 237-238.
[27]Badri Khaeruman, Orientasi Hadist (Studi Kritis Atas Kajian Hadist Konteporer), Peng. Endang Soetarti (Bandung: Remaja Roesda Karya, 2004), 196.
[28] Yang dimaksud penulis adalah Ayyub As Sikhtiyani
[29] Mahmud Thahhan, Ulumul Hadist (Studi Kompleksitas Hadist Nabi), (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999), 45.
[30] Al-matruk (yang ditinggalkan) sedangkan Hadist Matruk adalah hadist yang diriwayatkan oleh seseorang yang dituduh berdusta (baik tuduhan itu dalam bidang periwayatan hadist atau yang lainya) atau hadist yang diriwayatkan seseorang yang tertuduh banyak melakukan kekeliruan atau kelalaian ataupun tertuduh mengerjakan pekerjaan yang maksiat. Lihat Moh. Anwar, Ilmu Mushthalah Hadits, 1981, 137.
[31] Bustamin, M. Isa H. A. Salam. Metodologi Kritik Hadist, 2004, 59.
[32] Ibid. , 59.
[33] Ibid. , 59.
[34] Bustamin, M. Isa H. A. Salam. Metodologi Kritik Hadist, 2004, 67-68.
[35] Al-Qur’an: 7, 157.
[36] Irena Handono, et, al. , Islam Dihujjat (Menjawab Buku the Islamic Invasion), 2004, 284..
[37] Qur’an, 5. , 33.
[38]Lihat,  Irena Handono, et, al. , Islam Dihujjat (Menjawab Buku the Islamic Invasion), 2004, 284..
[39] Hadist al-Mudraj adalah hadist yang sanad atau matannya bercampur dengan yang lain yang semestinya tidak termasuk dalam sanat atau matan itu. Lahat Moh. Anwar, Ilmu Mushthalah Hadits, 1981, 143.
[40] Lihat  M. Syahudi Ismail. Metodologi Penelitian Hadist Nabi. (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 150-151.